
Oleh: Rendra Fahrurrozie
A.
Pendahuluan
Faktor terpenting dari seorang guru adalah adalah kepribadiannya.[1] Karena
dari kepribadian[2]
itulah, pendidik akan menjadi seorang yang mampu membawa peserta didik menjadi
generasi yang baik, yang diperoleh dari arahan, bimbingan, motivasi, teladan
yang kemudian menginspirasi dalam setiap kepribadiannya. Ini kunci keberhasilan
pendidikan sebenarnya, sebab menurut Zakiyah Darajat (1980), peserta didik pada
masa sekolah baik dasar maupun menengah sedang mengalami kegoncangan jiwa.
Kepribadian merupakan sebuah kompetensi, dari salah satu kompetensi
yang harus dimiliki oleh pendidik. Yaitu kompetensi profesional, kompetensi
pedagogi, kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian yang akan mempercakap
profesinya.[3]
Kompetensi adalah kemampuan yang menjadikan seseorang ahli dalam bidangnya,
terutama seorang guru yang menjadi teladan bagi peserta didik dalam menempuh
pendidikan. Kompetensi kepribadian definisinya terdapat dalam UU No. 14 Tahun
2005 pasal 10 ayat 1 mengenai Guru dan Dosen adalah:
“Yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan
kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi
teladan peserta didik.”[4]
Untuk mengetahui indikasi seorang guru mempunyai kompetensi kepribadian yang baik, dapat dilihat dari beberapa indikasi, 1) Berkepribadian yang mantap dan stabil, indikasi: berbuat sesuai norma (hukum, sosial) dan konsisten. 2) Pribadi yang dewasa. Indikasi: mandiri dan beretos kerja. 3) Pribadi arif, indikasi: bermanfaat bagi peserta didik dan berpikiran terbuka.
4) Berwibawa, indikasi: pengaruh positif dan disegani peserta
didik. 5) Akhlak mulia dan menjadi teladan, indikasi: berperilaku sesuai norma
agama dan diteladani peserta didik.[5]
Guru juga harus menjunjung kode etik sebagai seorang profesional yang menjadi
karakternya.[6]
Sehingga
dalam hal ini, sangat penting untuk diketahui proses tahapan dalam pengembangan
kepribadian guru/pendidik.
B.
Tahapan
Dalam Pengembangan Kepribadian Guru
Guru merupakan
insan yang mulia dalam pembentukan karekater peserta didik sebagai generasi
penerus negeri. Karnanya dalam tahapan pengembangan kepribadian guru, dimulai
terlebih dahulu dari pendidikan karakter yang harus diterima guru. Hal ini
diperoleh dari wawasan guru yang luas dan terpola sehingga dapat mempengaruhi
peserta didik dan kepribadiannya.
Wawasan ini diperoleh dari pendidikan dan pelatihan yang diikuti
pendidik dalam menambah kognitifnya sebagai pendidik untuk menghindari
penyampaian yang monoton dan tidak berkembang dalam mencari solusi atas masalah
peserta didik. Keterampilan kepribadian yang lahir dari karakter yang terdidik,
akan mempengaruhi peserta didik nanti. Selain itu guru akan terkonsep dirinya
agar menjadi positif dalam kepribadiannya. Konsep diri tersebut seperti: paham
kelebihan/kekurangan, berkeingin untuk berubah, menghargai dan menerima orang
lain apa adanya, terbuka atas kritikan, ketahanan diri yang kuat, dan mampu
mengontrol diri.[8]
Berikut proses tahapan kepribadian guru yang terskema dalam
tinjauan berikut ini:
1.
Pembiasaan
Pembiasaan
dimulai dari keluarga, karena memang keluarga adalah lingkup pertama yang
berpengaruh besar dalam pembentukan karakter[10].
Ini dapat diciptakan oleh pendidik sendiri dalam keluarganya, dengan
eksistensinya menjalankan keluarga berdasarkan norma-norma Islam (syariah).
Pembiasaan ini dilakukan dengan konsisten dan terus-menerus, sehingga menjadi
akhlak yang spontan dilakukan tanpa rekayasa.
Penanaman
nilai-nilai karakter yang hadir melalui pembiasaan akan tertanam kuat dan
membekas pada karakter yang terbentuk. Sehingga interaksi yang terjadi antara
pendidik dengan rekan guru sejawat, lingkungan sekolah dan peserta didik akan
terbentuk dan dinamis sehingga proses edukasi berjalan.
Cara
penerapan pembiasaan yang dapat dilakukan dengan: a) dimulai sejak kecil; b)
dilakukan secara kontinu, teratur, dan terjadwal; c) diawasi ketat, konsisten,
dan tegas; d) berawal dari mekanistis menjadi kebutuhan.[11]
Sehingga kebiasaan (folkways) mempunyai kekuatan mengikat pada seorang
pendidik yang berulang-ulang menjadi bukti bahwa pendidik itu menyukai
pekerjaannya dan terhindar dari pelanggaran norma dan perilaku menyimpang di
masyarakat.[12]
Dalam
tinjauan Islam, kebiasaan baik oleh pendidik merupakan perbuatan yang disukai
Allȃh subẖȃnahu wa ta’ȃla, sebagaimana
sabda Rasȗlullȃh ﷺ berikut:
وَاعْلَمُوا
أَنَّ أَحَبَّ الْعَمَلِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهُ
Artinya: “Dan ketahuilah
bahwa amal yang paling sukai Allȃh adalah yang
paling rutin meski sedikit.” (HR. Muslȋm, dalam Shȃẖiẖ
Muslȋm No.
5043)[13]
Pembiasaan
kepribadian baik oleh guru, menjadi berpahala dan akan dicontoh oleh peserta
didik yang efeknya adalah lahir pendidik yang berkarakter mulia yang diharapkan
oleh negara,lingkungan, dan keluarga peserta didik.
2.
Pemahaman, Penghayatan, dan Penerapan
Pemahaman,
penghayatan, dan penerapan adalah secara sadar berusaha untuk mempelajari dan
memahami (nilai-nilai, asas-asas, dan perilaku) yang dianggap baik dan
bermakna, kemudian berusaha mendalami dan menjiwainya, serta menerapkan dalam
kehidupan sehari-hari.[14]
Dari
proses kebiasaan (folkways), pendidik mengembangkan karakternya menjadi
sosok guru yang ideal bagi peserta didik, setidaknya terdapat 5 (lima) sosok
guru ideal itu:[15]
a.
Guru
memahami benar akan profesinya. Tugas mulianya itu menjadikan guru itu tulus,
dirindukan, dan wajahnya terpancar kebahagiaan.
b.
Guru
rajin membaca dan menulis. Ini untuk memperluas wawasan dan penajaman analisa
pendidik, sehingga dari cara bicara dan penyampaian kaya akan ilmu dan
pendalaman.
c.
Guru
yang kreatif dan inovatif. Merupakan usaha untuk terus mencoba hal baru, dan
tidak merasa cukup dengan ilmunya sehingga terus berkembang ilmunya yang dapat
ditularkan pada peserta didik. Ini dapat ditempuh dengan mengikuti pelatihan,
keorganisasian guru atau pengabdian pada masyarakat di sekitar tempat
tinggalnya.
d.
Guru
memiliki 5 (lima) kecerdasan. Yakni, kecerdasan intelektual, moral, sosial,
emosional, dan motorik. Yang masing-maing terpancar dalam karakternya saat
mengajar dan dalam kehidupan sehari-hari.
e.
Guru
menjadi panutan. Ilmunya yang dikuasai guru mampu disampaikan dengan mudah
dipahami serta dekat dengan peserta didik. Pendidik menjadi insan yang menjadi
inspirasi kebaikan merupakan guru yang sudah ideal dalam kepribadiannya.
Rasȗlullȃh ﷺ pernah bersabda mengenai sosok guru yang
ideal (rabbani) dalam riwayat Ibn ‘Abbas raḏiallȃhu ’anhu
berikut:
كُونُوا
رَبَّانِيِّيْنَ حُلَمَاءَ فُقَهَاءَ، وَيُقَالُ
الرَّبَّانِيُّ الَّذِي يُرَبِّي النَّاسَ بِصِغَارِ العِلْمِ قَبْلَ كِبَارِهِ
Artinya: “Jadilah
kalian pendidik yang lapang dada dan faqih. Disebut rabbani adalah orang yang
mendidik manusia dengan ilmu yang kecil-kecil sebelum yang besar-besar.” (HR.
Al-Bukhȃri)[16]
Sehingga
peserta didik dalam penyampaian ilmu dari pendidik, diterima dengan baik serta
dapat mengubah tingkahlaku baik kognitifnya, afektif dan psikomotorik. Dari
sosok guru yang paham akan pendidikan, dan pengembangan kemampuan
kepribadiannya.
3.
Peneladanan
Pendidik
harus dapat menampilkan dirinya sebagai teladan nyata bagi peserta didik.
Dengan berlatih melakukan hal berikut:[17]
a.
Berlatih
membiasakan diri berperilaku yang mencerminkan keimanan dan ketakwaan.
b.
Berlatih
membiasakan diri berperilaku santun.
c.
Berlatih
membiasakan diri berperilaku yang dapat diteladani oleh peserta didik
Teladan
ini sangat membantu peserta didik mengembangkan konsep dirinya, baik ideal
maupun aktual sebagai pencari ilmu. Proses menirukan model idola yang dikagumi
merupakan karakter bagi anak usia sekolah dasar maupun menengah dalam proses
pendidikannya.[18]
Sosok
pendidik yang paling ideal dan mempunyai teladan yang baik adalah Rasȗlullȃh ﷺ. Sebagaimana Allȃh sampaikan dalam firmannya.
لَّقَدۡ
كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ
وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا ٢١
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasȗlullȃh itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allȃh dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allȃh” (QS. Al-Aẖzȃb: 21)[19]
Pendidik
senantiasa meneladani Rasȗlullȃh ﷺ dalam perbuatannya,
yang menjadikan akidah Islam sebagai kepemimpinan berfikirnya. Inilah teladan
terbaik, yang hendaknya guru jadikan contoh dalam membina peserta didik menjadi
insan mulia.
4.
Ibadah
Ibadah
adalah perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah, yang didasari ketaatan
mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.[20]
Yang terbagi menjadi 2 (dua) yakni ibadah maẖḏah ( محضة
dari kata مَحْض
yang artinya murni,
bersih, tak bercampur, absolut, mutlak, sederhana, lurus ) dan ghair maẖḏah (غيرمحضة, yang artinya tidak murni).[21] Ibadah maẖḏah adalah
ibadah yang langsung kepada Allȃh, dan ibadah yang tidak langsung
kepada Allȃh disebut ibadah ghair maẖḏah.[22]
Yang termasuk didalam abadah maẖḏah adalah
salat, puasa ramaḏȃn, zakat, umrah, haji, membaca
Al-Qur’an, dan lain-lain. Adapun menjalankan pross-proses pendidikan masuk ke
dalam bagian muamalah yang tergolong ibadah ghair maẖḏah.
Karena itu, pendidik harus menyadari bahwa dirinya saat menjadi guru yang
profesional, berkepribadian baik dan dapat menginspirasi peserta didik adalah
amal saleh yang akan kelak mendapatkan balasan terbaik dari Allȃh subẖȃnahu
wa ta’ȃla. Dan sebaliknya, apabila seorang pendidik itu memberikan teladan
yang buruk serta mengabaikan proses-proses pendidikan yang selayaknya dipunyai
seorang pendidik, maka balasannya pun adalah keburukan dari Allȃh (neraka).
Oleh sebab itu, motivasi ibadah
adalah motivasi terbaik bagi insan pendidik. Tiada lain yang dapat diharapkan
selain ilmu yang bermanfaat serta amal jariah yang terus mengalir. Sebagaimana
sabda Nabi ﷺ berikut ini.
إِذَا مَاتَ
الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ
وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Artinya: “Jika seseorang meninggal dunia, maka
terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang
dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim No. 1631)
Inilah motivasi terbaik sebagai landasan ibadah bagi pendidik dalam
mengembangkan kepribadian dan kemampuannya sebagai pencetak generasi terbaik,
ibadah kepada Allȃh.
C.
Kesimpulan
Kompentensi kepribadian adalah salah satu kemampuan yang penting dan
harus dimiliki oleh pendidik. Sehingga dalam hal ini pendidik mengembangkan
kompetensi ini agar dapat diterapkan dalam proses-proses pengajaran di lembaga
pendidikan.
Terdapat proses-proses tahapan dalam pengembagan kepribadian
pendidik. Yaitu: 1) pembiasaan; 2) pemahaman, penghayatan, dan penerapan; 3)
peneladanan; dan 4) ibadah.
D.
Daftar Pustaka
An-Naisaburi, Muslim bin al Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz
al-Qusyairi, Shahih Muslim, Shahih Muslim (da’wahrights, 2010)
<https://imnasution.files.wordpress.com/2013/11/shahih-muslim.pdf>
Arti Kata Ibadah - Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) Online’ <https://kbbi.web.id/ibadah> [diakses
pada 20 Maret 2020]
Desi, Desi, ‘Kompetensi Kepribadian
Guru Akidah Akhlak Dalam Pembinaan Akhlak Peserta Didik Di Man 1 Bandar
Lampung’, Masters Thesis (UIN Raden Intan Lampung, 2017)
<http://repository.radenintan.ac.id/id/eprint/1740>
Herriyan, Argi, ‘Kompetensi
Kepribadian Guru Pendidikan Agama Islam Dalam Membina Akhlak Peserta Didik Di
Mas Proyek Univa Medan’ (Universitas Islam Negeri Sumatera Utara., 2017)
Khoiriyah, Hidayatin, ‘Metode
Pembiasaan Dalam Pendidikan Agama Pada Anak Usia 6-12 Tahun: Studi Pemikiran
Prof. Dr. Zakiah Daradjat’, 2016
Mafazah, Tatu, ‘Pelaksanaan Ibadah
Mahdhah Di Desa Majir Kec. Kutoarjo Kab. Purworejo Skripsi’ (Institut Agama
Islam Negeri (Iain) Salatiga, 2018)
Nursyamsi, Nursyamsi, ‘Pengembangan
Kepribadian Guru’, Al-Ta’Lim, 21.1 (2014), 32
<https://doi.org/10.15548/jt.v21i1.70>
Republik Indonesia, ‘Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen’, Sekretariat Negara, 2005
RI, Departemen Agama, Al Qur’an
Dan Terjemahnya, ke 10 (Bandung: CV. Penerbit Diponogoro, 2007)
Rini, Darlina Kartika, Materi
Kuliah Pengembangan Kepribadian Guru (Bogor, 2020)
Rochman, Chaerul, and Heri Gunawan,
Pengembangan Kompetensi Kepribadian Guru, ed. by Irwan Kurniawan, cet.
ke 3 (Bandung: Penerbit Nuansa, 2016)
Sitompul, Hafsah, ‘Metode
Keteladanan Dan Pembiasaan Dalam Penanaman Nilai-Nilai Dan Pembentukan Sikap
Pada Anak’, Jurnal Darul ’Ilmi, 04.01 (2016), 54–62
Tafsir, Ahmad, Hadis Tarbawi,
cet. ke 3 (Bandung: Tarbiyah Press IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2003)
Terjemahan Dan Arti Kata محضة Dalam Bahasa Indonesia, Kamus Istilah
Bahasa Indonesia Bahasa Arab Halaman’
<https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/محضة/?c=Semua>
[diakses pada 20 Maret 2020]
[1] Chaerul Rochman dan Heri Gunawan, Pengembangan Kompetensi Kepribadian Guru, ed. by Irwan Kurniawan,
cet. ke 3 (Bandung: Penerbit Nuansa, 2016), hlm. 17.
[2] Kepribadian
adalah kebiasaan-kebiasaan yang mempengaruhi orang lain, yang orang lain
pikirkan terhadap seseorang, serta kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Darlina Kartika Rini, Materi Kuliah Pengembangan Kepribadian Guru (Bogor, 2020), Pada
hari Jumat 17 Januari 2020.
[3] Argi Herriyan, ‘Kompetensi Kepribadian Guru Pendidikan
Agama Islam Dalam Membina Akhlak Peserta Didik Di MAS Proyek Univa Medan’, Master
Thesis (Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, 2017), hlm. 3. Lihat juga Permendiknas No. 16
Tahun 2007 mengenai Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
[4] Republik Indonesia, ‘Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005
Tentang Guru Dan Dosen’, Sekretariat
Negara, 2005.
[5] Desi Desi, ‘Kompetensi Kepribadian Guru Akidah Akhlak
Dalam Pembinaan Akhlak Peserta Didik Di Man 1 Bandar Lampung’, Masters Thesis (UIN Raden Intan Lampung,
2017) <http://repository.radenintan.ac.id/id/eprint/1740>, hlm. 23-24.
[6] Darlina Kartika Rini, Materi Kuliah Pengembangan Kepribadian Guru., pada hari Jumat, 21 Februari 2020 15.22 WIB.
[7] Ibid.,
pada hari Jumat, 7 Februari 2020.
[8] Ibid.
[9] Ibid.,
pada hari Jumat, 31 Januari 2020.
[10] Hafsah Sitompul, ‘Metode Keteladanan Dan Pembiasaan
Dalam Penanaman Nilai-Nilai Dan Pembentukan Sikap Pada Anak’, Jurnal Darul ’Ilmi, 04.01 (2016), 54–62,
hlm. 55-56.
[11] Hidayatin Khoiriyah, ‘Metode Pembiasaan Dalam
Pendidikan Agama Pada Anak Usia 6-12 Tahun: Studi Pemikiran Prof. Dr. Zakiah
Daradjat’, 2016, hlm. 33.
[12] Chaerul Rochman dan Heri Gunawan, Pengembangan Kompetensi Kepribadian Guru., hlm. 84.
[13] Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz
al-Qusyairi Al-Naisaburi, Shahih Muslim,
Shahih Muslim (da’wahrights, 2010)
<https://imnasution.files.wordpress.com/2013/11/shahih-muslim.pdf>, hlm.
2720.
[14] Darlina
Kartika Rini, Materi Kuliah Pengembangan Kepribadian Guru., pada hari
Jumat, 31 Januari 2020.
[15] Ibid., pada
hari Jumat, 28 Februari 2020.
[16] Ahmad Tafsir, Hadis
Tarbawi, cet. ke 3 (Bandung: Tarbiyah Press IAIN Sunan Gunung Djati
Bandung, 2003), hlm. 14.
[17] Nursyamsi Nursyamsi, ‘Pengembangan Kepribadian Guru’, Al-Ta’Lim, 21.1 (2014), 32
<https://doi.org/10.15548/jt.v21i1.70>, hlm. 40.
[18] Hafsah Sitompul, ‘Metode Keteladanan Dan Pembiasaan.,
hlm. 59.
[19] Departemen Agama RI, Al Qur’an Dan Terjemahnya, ke 10 (Bandung: CV. Penerbit Diponogoro,
2007), hlm. 420.
[20] Arti Kata Ibadah - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Online’ <https://kbbi.web.id/ibadah> [diakses pada 20 Maret 2020].
[21] Terjemahan Dan Arti Kata محضة Dalam Bahasa Indonesia, Kamus Istilah
Bahasa Indonesia Bahasa Arab Halaman’
<https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/محضة/?c=Semua> [diakses pada 20 Maret 2020].
[22] Tatu Mafazah, ‘Pelaksanaan Ibadah Mahdhah Di Desa
Majir Kec. Kutoarjo Kab. Purworejo Skripsi’ (Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Salatiga, 2018), hlm. 3.
0 komentar: