BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Syahwat pria dewasa terhadap
wanita untuk mencintai dan memiliki adalah hal yang fitrah, yaitu hal yang
alamiah yang telah ditetapkan adanya oleh Allah kepada manusia. Sebagaimana di
dalam Al Qur’an, QS Ali Imran [3] : 14.
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ
وَٱلۡبَنِينَ وَٱلۡقَنَٰطِيرِ ٱلۡمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلۡفِضَّةِ وَٱلۡخَيۡلِ
ٱلۡمُسَوَّمَةِ وَٱلۡأَنۡعَٰمِ وَٱلۡحَرۡثِۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ
وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسۡنُ ٱلۡمََٔابِ ١٤
14.
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang
diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,
perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik
(surga).
Tetapi
manusia harus memperhatikan dan
berhati-hati perihal cara dia
menyalurkan nafsu seksual itu. Sebab manusia diberi pilihan berupa dua jalan
oleh Allah SWT, yaitu jalan yang halal dan jalan yang haram.
وَهَدَيۡنَٰهُ
ٱلنَّجۡدَيۡنِ ١٠
10. Dan Kami telah
menunjukkan kepadanya dua jalan. (QS Al Balad [90] : 10)
Melalui pernikahanlah satu-satunya
jalan yang sah menurut syariah Islam dan diridhai Allah SWT bagi seorang
laki-laki untuk menyalurkan nafsu seksualnya kepada seorang perempuan. Dalam
soal pernikahan, Islam tidak membebani umatnya dengan syarat yang berat, Islam
sangat menganjurkan pernikahan.[1]
Menikah akan membantu menahan pandangan serta menjaga diri dari ke maksiatan.
Rasulullah bersabda, ”Jika salah seorang
dari kamu melihat kecantikan seorang wanita, datangilah istrimu. Apa yang
dimiliki wanita itu sama dengan apa yang dimiliki istrimu.” (H.R Muslim).[2]
Sebaliknya jalan yang
haram adalah dengan berzina, yang mana termasuk di dalamnya adalah melakukan
pernikahan akan tetapi bathil dalam
segi akad dan perbuatannya.[3]
Yaitu nikah kontrak atau nikah mut’ah yang
berlangsung dalam jangka waktu tertentu, misalnya sehari, dua hari, seminggu,
dan sebagainya dengan imbalan sejumlah uang bagi pihak perempuan.
Adapula yang melakukannya
dengan siri (diam-diam), akan tetapi pernikahan
siri ini dianggap perbuatan ilegal,
sehingga pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi penjara atau denda.[4]
Lantas, bagaimana
pandangan Islam terhadap nikah siri? Bolehkah orang yang melakukan nikah siri
dipidanakan? Benarkah orang yang melakukan pernikahan siri tidak memiliki
hubungan pewarisan? Dan Apa dan bagaimanakah kawin kontrak itu? Bagaimanakah
kawin kontrak itu dalam pandangan hukum Islam? Inilah tema yang akan dibahas
dalam makalah singkat kali ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang tersebut, rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1.
Apa definisi kawin
kontrak (mut’ah) dan pandangan Islam
terhadapnya?
2.
Apa definisi nikah siri
dan kedudukan dalam Islam terhadapnya?
C. Tujuan Pembahasan
1.
Mengetahui definisi kawin
kontrak (mut’ah) dan pandangan Islam
terhadapnya.
2.
Mengatahui definisi nikah
siri dan kedudukan dalam Islam terhadapnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kawin Mut’ah (Kontrak)
Kawin kontrak itu mirip dengan kontrak rumah.
Kalau seorang mengontrak rumah, jelas bukan untuk selama-lamanya, tapi hanya
untuk jangka waktu tertentu, misalnya satu tahun. Dan tentu ada bayaran
sejumlah uang tertentu yang harus dibayarkan kepada pemilik rumah, misalnya
Rp10 juta per tahun.
Seperti
itu pula yang disebut kawin kontrak. Perkawinan yang disebut kawin kontrak ini
hanya berlangsung untuk waktu tertentu, misalnya sebulan, dua bulan, setahun,
dan seterusnya. Dan untuk dapat melakukan kawin kontrak itu, ada sejumlah uang
yang harus dibayarkan pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Pembayaran ini
utamanya adalah berupa mahar (maskawin), misalnya Rp 50 juta. Termasuk juga biaya-biaya hidup
lainnya, seperti biaya makan sehari-hari, tempat tinggal, dan sebagainya. Jadi,
yang namanya kawin kontrak adalah perkawinan yang hanya berlangsung sementara
dalam jangka waktu tertentu, dengan imbalan sejumlah uang yang diterima oleh
pihak perempuan.
Di
Indonesia akhir-akhir ini kawin kontrak seperti itu cukup marak. Beberapa
daerah yang kawin kontraknya cukup marak adalah di daerah Cianjur (Jawa Barat),
Singkawang (Kalimantan Barat), dan Jepara (Jawa Tengah). Namun fenomena kawin
kontrak juga terjadi di luar negeri, seperti yang terjadi kalangan tenaga kerja
wanita (TKW) dari Indonesia di Malaysia.[5]
Di
Cianjur, misalnya, kawin kontrak banyak terjadi di kawasan Cipanas dan Puncak,
yang termasuk wilayah Kabupaten Bogor. Kebanyakan pelakunya adalah turis
laki-laki dari negeri-negeri Arab, seperti Arab Saudi, Kuwait, Irak, juga dari
Turki. Pihak perempuannya berasal dari pelosok-pelosok kampung di wilayah
Kabupaten Bogor, seperti kelurahan Cisarua, Desa Tugu Selatan, Tugu Utara, di
Kecamatan Cisarua. Para perempuan ini pada umumnya tidak mencari pasangan laki-lakinya sendiri, melainkan ada semacam
calo/makelar atau mak comblang yang menghubungkan mereka dengan turis laki-laki
dari Arab.[6]
Wanita
yang disiapkan untuk kawin kontrak umumnya dipilih dari keluarga yang tingkat
prekonomiannya rendah. Dengan iming-iming mulai dari Rp 5 juta-Rp 20 juta yang
ditawarkan makelar, para orangtua rela melepas anak perempuannya untuk dikawini
oleh para turis asing itu, meski hanya dalam waktu antara dua-tiga bulan saja,
atau selama para turis itu berlibur di Indonesia pada musim liburan, yaitu
bulan Mei dan Juni yang dikenal oleh penduduk dengan sebutan “musim Arab.”
Tak
hanya di dalam negeri, kawin kontrak juga terjadi di luar negeri. Di Malaysia,
misalnya kasus kawin kontrak di kalangan TKW dari Indonesia biasanya terjadi
dengan suami yang yang bukan berasal dari Indonesia. Calon suami ini juga
bekerja sebagai tenaga kerja kontrak di Malaysia. Akad nikahnya dilaksanakan di
masjid-masjid dengan imam atau penghulu dari Indonesia. Maskawinnya disepakati
oleh kedua belah pihak sebelumnya, sesuai dengan kemampuan ekonomi calon suami.
Kawin kontrak ini berakhir jika salah satu dari suami atau istri pulang ke
negara asal karena visa dan izin kerja di Malaysia sudah berakhir.
(birokrasi.kompasiana.com)
Proses
kawin kontrak itu mirip seperti akad nikah pada umumnya. Ada saksi dan ada
penghulu, juga ada ijab dan kabul, termasuk mahar yang disiapkan pada saat ijab
kabul. Inilah yang membedakan kawin kontrak dengan prostitusi (pelacuran),
karena pada prostitusi tidak ada upacara seperti umumnya akad nikah, misalnya
saksi, penghulu, dan sebagainya. Namun kawin kontrak memiliki perbedaan yang
jelas dengan perkawinan yang biasa, yaitu kawin kontrak hanya berlangsung dalam
jangka waktu tertentu, misalnya sebulan. Jika waktu sebulan ini habis, maka
otomatis pasangan kawin kontrak akan bercerai. Sedangkan dalam perkawinan
biasa, jangka waktunya tidak ditentukan tapi berlangsung untuk selama-lamanya.
Mengapa
kawin kontrak marak terjadi di Indonesia? Tentu banyak faktor penyebabnya.
Selain faktor materi (uang) dan faktor syahwat, juga ada faktor longgarnya
sistem hukum di Indonesia. Menurut hukum yang berlaku di Indonesia, pelaku
kawin kontrak tidak dianggap melanggar hukum, karena pasangan kawin kontrak
dianggap melakukan akad nikah beneran secara sadar dan atas dasar suka sama
suka. Biasanya yang dilaporkan kepada polisi bukan kasus kawin kontraknya itu
sendiri, tapi hal-hal lain yang terjadi dalam kawin kontrak. Misalnya, ketika
ada kasus suami memukul isteri, atau isteri menuntut karena bayaran yang dijanjikan
suami kurang, dan sebagainya.
B. Kawin Kontrak dalam Tinjauan Fikih Islam
Kawin
kontrak dalam Islam disebut dengan istilah nikah mut’ah. Hukumnya adalah haram dan akad nikahnya tidak sah alias
batal. Hal ini sama saja dengan orang sholat tanpa berwudhu, maka sholatnya
tidak sah alias batal. Tidak diterima oleh Allah SWT sebagai ibadah. Demikian
pula orang yang melakukan kawin kontrak akad nikahnya tidak sah alias batal,
dan tidak diterima Allah SWT sebagai amal ibadah.
Mengapa
kawin kontrak tidak sah? Sebab nash-nash
dalam Al Qur’an maupun Al Hadits tentang pernikahan tidak mengkaitkan
pernikahan dengan jangka waktu tertentu. Pernikahan dalam Al Qur’an dan Al
Hadits ditinjau dari segi waktu adalah bersifat mutlak, yaitu maksudnya untuk
jangka waktu selamanya, bukan untuk jangka waktu sementara. Maka dari itu,
melakukan kawin kontrak yang hanya berlangsung untuk jangka waktu tertentu
hukumnya tidak sah, karena bertentangan ayat Al Qur’an dan Al Hadits yang sama
sekali tidak menyinggung batasan waktu.[7]
Perlu
diketahui ada hukum-hukum Islam yang dikaitkan dengan jangka waktu, misalnya
masa pelunasan utang piutang (QS Al Baqarah : 282); juga masa iddah, yaitu masa tunggu wanita yang
dicerai (QS Al Baqarah : 231). Hukum-hukum Islam yang terkait waktu ini,
otomatis pelaksanaannya akan berakhir jika jangka waktunya selesai.
Namun
hukum Islam tentang nikah, tidak dikaitkan dengan jangka waktu sama sekali.
Kita bisa membuktikannya dengan membaca ayat-ayat yang membicarakan nikah,
seperti QS An Nisaa` : 3; QS An Nuur : 32; dan sebagainya. Ayat-ayat tentang
nikah seperti ini sama sekali tidak menyebutkan jangka waktu. Maka perkawinan
dalam Islam itu dari segi waktu adalah bersifat mutlak, yaitu tidak dilakukan
untuk sementara waktu tetapi untuk selamanya (abadi).
Selain
ayat-ayat Al Qur’an tersebut, keharaman kawin kontrak juga didasarkan
hadits-hadits yang mengharamkan kawin kontrak (nikah mut’ah). Memang kawin kontrak pernah dibolehkan untuk sementara
waktu pada masa awal Islam, tapi kebolehan ini kemudian di-nasakh (dihapus) oleh Rasulullah SAW pada saat Perang Khaibar
sehingga kawin kontrak hukumnya sejak itu haram sampai Hari Kiamat nanti.
Rasulullah
SAW bersabda, ”Wahai manusia, dulu aku
pernah mengizinkan kalian untuk melakukan kawin kontrak (mut’ah). Dan
sesungguhnya Allah telah mengharamkannya hingga Hari Kiamat(HR. Muslim). Ali
bin Abi Thalib RA pernah berkata kepada Ibnu Abbas RA,” Pada saat perang
Khaibar, Rasulullah SAW melarang kawin kontrak (mut’ah) dan (juga melarang)
memakan daging himar (keledai) jinak.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Camkan
sabda Nabi Muhammad SAW, ”Yang paling
banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah dua lubang, yaitu mulut dan
kemaluan.” (HR Tirmidzi, no 2072, hadits shahih).
C. Definisi
dan Alasan Melakukan Pernikahan Siri
Dalam
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) menikah siri adalah pernikahan yang hanya
disaksikan oleh seorang modin atau pegawai masjid dan saksi, tidak melalui
Kantor Urusan Agama (KUA), namun sah menurut agama Islam. Secara etimologi,
kata siri berasal dari bahasa Arab, yaitu sirrun yang berarti rahasia, sunyi,
diam, tersembunyi sebagai lawan kata dari ’alaniyyah, yaitu terang-terangan.[8]
Melalui
akar kata ini nikah siri diartikan sebagai nikah yang dirahasiakan, berbeda
dengan nikah pada umumnya yang dilakukan secara terang-terangan Kata siri
kemudian digabung dengan kata nikah, menjadi nikah siri, sehingga dapat
dijelaskan bahwa pernikahan yang dilakukan secara diam-diam atau tersembunyi
lantaran sifatnya yang tertutup dan rahasia.
Pernikahan
siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan; Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan
secara rahasia (siri) dikarenakan
pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan
tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa
mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat;
Kedua, pernikahan yang sah secara agama
namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang
menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan
sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar
administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan
melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain
sebagainya.
Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan
karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan
stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri;
atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan
pernikahannya.
Adapun hukum syariat atas ketiga fakta tersebut adalah
sebagai berikut.
1. Hukum
Pernikahan Tanpa Wali[9]
Adapun
mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah
melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan
pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya
Rasulullah SAW bersabda;
لا نكاح إلا بولي
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An
Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].
Berdasarkan
dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan
pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat
sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits
yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah SAW pernah bersabda:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل
, فنكاحها باطل
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya,
maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul
Authar VI: 230 hadits ke 2649].
Abu
Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw
bersabda:
لا تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي
تزوج نفسها
”Seorang
wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak
menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah
(seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul
Authar VI: 231 hadits ke 2649).
Berdasarkan
hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah
pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah SWT, dan
berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya
saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang
terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa
wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar
sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim
boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku
pernikahan tanpa wali.
2. Nikah
Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil[10]
Adapun
fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan
syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada
dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan
(2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara.
Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut
ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak
kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan
baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat,
ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan
”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan
kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau
meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.
Begitu
pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum
sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah
melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di
akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada
orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan
perbuatan mubah atau makruh.
Seseorang
baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut; pertama,
meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain
sebagainya; kedua, mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci
Rasul saw, dan lain sebagainya; ketiga, melanggar aturan-aturan administrasi
negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan,
dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.
Berdasarkan
keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga
pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga
pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan
yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh
Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2)
dua orang saksi, dan (3) ijab qabul (4) Saksi. Jika tiga hal ini telah
dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak
dicatatkan dalam pencatatan sipil.
3. Berkaitan
hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara.[11] Kasus ini dapat dirinci
sebagai berikut.
Pertama, pada dasarnya, fungsi
pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang
memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya
benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti
yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah
dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara.
Ketika pernikahan dicatatkan
pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen
resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan
majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun
sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak,
perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang
dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy.
Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan
pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’iy.
Negara
tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan
keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah
menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian
saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya.
Berdasarkan
penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap
memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir
dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri
pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’iy.
Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut
tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan
pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri
tersebut.
Kedua, pada era keemasan Islam, di mana
sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita
jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan
pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada
saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak
bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan
keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang.
Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa
hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga
memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis.
Nabi
saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat
bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para
shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis
(mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya
firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah Ayat 282.
Ketiga, dalam khazanah peradilan Islam, memang benar,
negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat[12] kepada orang yang
melakukan tindakan mukhalafat.
Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Khalifah
dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan
tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan
dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas,
pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya. Khalifah memiliki hak dan
berwenang mengatur urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya. Aturan
yang ditetapkan oleh khalifah atau qadliy dalam perkara-perkara semacam ini
wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Siapa saja yang melanggar ketetapan
khalifah dalam urusan-urusan tersebut, maka ia telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat
dan berhak mendapatkan sanksi mukhalafat. Misalnya, seorang khalifah
berhak menetapkan jarak halaman rumah dan jalan-jalan umum, dan melarang
masyarakat untuk membangun atau menanam di sampingnya pada jarak sekian meter.
Jika seseorang melanggar ketentuan tersebut, khalifah boleh memberi sanksi
kepadanya dengan denda, cambuk, penjara, dan lain sebagainya.
Dalam hal pengaturan urusan
pernikahan. Khalifah boleh saja menetapkan aturan-aturan administrasi tertentu
untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya, aturan yang mengharuskan
orang-orang yang menikah untuk mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan
resmi negara, dan lain sebagainya. Aturan semacam ini wajib ditaati dan
dilaksanakan oleh rakyat. Untuk itu, negara berhak memberikan sanksi bagi orang
yang tidak mencatatkan pernikahannya ke lembaga pencatatan negara. Pasalnya,
orang yang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan negara --
padahal negara telah menetapkan aturan tersebut—telah terjatuh pada tindakan mukhalafat.
Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada khalifah
dan orang yang diberinya kewenangan.
Keempat,
jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini
negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada
pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas
kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut,
bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang
tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara.
Kelima,
pada dasarnya, Nabi SAW telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan
dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan
walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat
menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi SAW bersabda;
حَدَّثَنَا أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Adakah
walimah walaupun dengan seekor kambing”. [HR. Imam Bukhari
dan Muslim]
Banyak hal-hal positif yang dapat
diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah ; (1) untuk
mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; (2) memudahkan
masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan
yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah
seseorang sudah menikah atau belum.
Hal semacam ini tentunya berbeda
dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri). Selain
akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri
hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap
perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika
dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen
resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus
menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat
menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di
lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan
bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.
BAB III
PENUTUP
Adapula yang melakukannya dengan siri (diam-diam), akan tetapi
pernikahan siri ini dianggap perbuatan ilegal, sehingga pelakunya akan
dipidanakan dengan sanksi penjara atau denda.
Proses kawin kontrak itu mirip seperti akad nikah pada umumnya. Ada
saksi dan ada penghulu, juga ada ijab dan kabul, termasuk mahar yang disiapkan
pada saat ijab kabul. Inilah yang membedakan kawin kontrak dengan prostitusi
(pelacuran), karena pada prostitusi tidak ada upacara seperti umumnya akad
nikah, misalnya saksi, penghulu, dan sebagainya. Namun kawin kontrak memiliki
perbedaan yang jelas dengan perkawinan yang biasa, yaitu kawin kontrak hanya
berlangsung dalam jangka waktu tertentu, misalnya sebulan. Jika waktu sebulan
ini habis, maka otomatis pasangan kawin kontrak akan bercerai. Sedangkan dalam
perkawinan biasa, jangka waktunya tidak ditentukan tapi berlangsung untuk
selama-lamanya.
Mengapa
kawin kontrak tidak sah? Sebab nash-nash dalam Al Qur’an maupun Al
Hadits tentang pernikahan tidak mengkaitkan pernikahan dengan jangka waktu
tertentu. Pernikahan dalam Al Qur’an dan Al Hadits ditinjau dari segi waktu
adalah bersifat mutlak, yaitu maksudnya untuk jangka waktu selamanya, bukan
untuk jangka waktu sementara. Maka dari itu, melakukan kawin kontrak yang hanya
berlangsung untuk jangka waktu tertentu hukumnya tidak sah, karena bertentangan
ayat Al Qur’an dan Al Hadits yang sama sekali tidak menyinggung batasan waktu.
Rasulullah
SAW bersabda, ”Wahai manusia, dulu aku pernah mengizinkan
kalian untuk melakukan kawin kontrak (mut’ah). Dan sesungguhnya Allah telah
mengharamkannya hingga Hari Kiamat(HR. Muslim). Ali bin Abi Thalib RA
pernah berkata kepada Ibnu Abbas RA,” Pada saat perang Khaibar, Rasulullah
SAW melarang kawin kontrak (mut’ah) dan (juga melarang) memakan daging
himar (keledai) jinak.” (HR. Bukhari dan Muslim).
kalian untuk melakukan kawin kontrak (mut’ah). Dan sesungguhnya Allah telah
mengharamkannya hingga Hari Kiamat(HR. Muslim). Ali bin Abi Thalib RA
pernah berkata kepada Ibnu Abbas RA,” Pada saat perang Khaibar, Rasulullah
SAW melarang kawin kontrak (mut’ah) dan (juga melarang) memakan daging
himar (keledai) jinak.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) menikah siri adalah pernikahan yang hanya
disaksikan oleh seorang modin atau pegawai masjid dan saksi, tidak melalui
Kantor Urusan Agama (KUA), namun sah menurut agama Islam. Secara etimologi,
kata siri berasal dari bahasa Arab, yaitu sirrun yang berarti
rahasia, sunyi, diam, tersembunyi sebagai lawan kata dari ’alaniyyah, yaitu terang-terangan.
rahasia, sunyi, diam, tersembunyi sebagai lawan kata dari ’alaniyyah, yaitu terang-terangan.
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum
dengan;
1. Pernikahan tanpa wali. Pernikahan ini bathil (tidak sah)
2. Pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam. Status pernikahannya sah, tapi dapat melanggar
hukum negara.
3. Pernikahan yang
dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut
mendapatkan stigma negatif dari masyarakat. Pernikahannya sah, tapi negera berhak untuk meberikan hukuman.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an Al Karim
Al Jawi, M. Siddiq. Kawin
Kontrak Menurut Hukum Islam. www.konsultasi.wordpress.com.
An Nawiy, Syamsuddin Ramadhan. 2009. Hukum Islam Tentang Nikah Siri. www.faridm.com.
ar-Rasytah, Atha’ bin Khalil Abu. 2018. Akad Nikah yang Batil dan Fasad. Majalah
Al Wa’ie: dalam laman: https://al-waie.id/fikih/akad-nikah-yang-batil-dan- fasad/
Astutiningrum, Ririn. 2018. Nikah Yes!. Depok: Kaysa Media
https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/ptdal2377/kawin-kontrak- jadi-bisnis-menggiurkan
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b7415136a2ee/ancaman-pidana- bagi-pelaku-nikah-siri/
https://www.jpnn.com/news/fenomena-kawin-kontrak-di-puncak-sewa-tiga-hari- plus-vila-bayar-main-selesai
Kurniawati, Vivi. 2019. Nikah Siri. Jakarta: Rumah Fiqih Publishing.
[3] Akad
yang batil dihapuskan sejak dari asalnya dan tidak ada pengaruhnya. Jika
terjadi senggama maka itu dihukumi zina. Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, Akad Nikah yang Batil dan Fasad, (Majalah
Al Wa’ie: dalam laman: https://al-waie.id/fikih/akad-nikah-yang-batil-dan-fasad/,
30 Mei 2018), diakses pada 30 November 2019.
[4]
RUU
Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan, Pasal 143 RUU tersebut
menyebutkan 'Setiap orang yang dengan
sengaja melangsungkan perkawinan tidak dihadapan Pejabat Pencatat Nikah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling
banyak Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6
(enam) bulan.'. Lihat laman: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b7415136a2ee/ancaman-pidana-bagi-pelaku-nikah-siri/
0 komentar: