Oleh : KH. Hafidz Abdurrahman
Soal:
Bagaimana hukum menikahi dan
menikahkan wanita yang hamil di luar nikah?
Jawab:
Menikah dengan wanita hamil ada
dua kemungkinan. Pertama: wanita tersebut adalah pasangan zina pria yang hendak
menikahi dirinya. Kedua: wanita tersebut bukan pasangannya, atau hamil karena
berhubungan badan dengan orang lain.
Bagi wanita yang hamil karena
zina, baik zina dengan pasangan yang hendak menikahinya, atau zina dengan orang
lain, maka hukum menikahinya ada tiga pendapat.
Pertama: haram dinikahi. Ini
merupakan pendapat mazhab Maliki, Abu Yusuf dan Zafar dari mazhab Hanafi;[1]
termasuk Ibn Taimiyah dan muridnya, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah.
Kedua: boleh dinikahi tanpa
syarat. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan Muhammad dari mazhab Hanafi, dan
mazhab Syafii.[2]
Ketiga: boleh dinikahi dengan
syarat: (1) kehamilannya telah berakhir atau habis masa ‘iddah-nya; (2)
bertobat dengan tobatan nashuha. Ini merupakan pendapat mazhab Hanbali.[3]
1. Dalil Kelompok Pertama:
Pertama: firman Allah SWT:
ٱلزَّانِي لَا يَنكِحُ
إِلَّا زَانِيَةً أَوۡ مُشۡرِكَةٗ وَٱلزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَآ إِلَّا زَانٍ
أَوۡ مُشۡرِكٞۚ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٣
"Laki-laki pezina
tidak mengawini melainkan perempuan pezina, atau perempuan musyrik; dan
perempuan pezina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki pezina atau laki-laki
musyrik. Yang demikian diharamkan atas orang-orang Mukmin." (QS an-Nur
[24]: 3).
Syaikh al-Islam, Ibn Taimiyah
berkata, “Mengenai keharaman (menikahi) wanita perempuan yang berzina telah
dibahas oleh para fuqaha’, baik dari kalangan pengikut Imam Ahmad maupun yang
lain. Dalam hal ini, terdapat riwayat dari para generasi terdahulu. Sekalipun
para fuqaha’ memperselisihkannya, bagi yang membolehkannya, tidak ada satu pun
yang bisa dijadikan pijakan.”
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah
berkata, “Hukum menikahi wanita pezina telah dinyatakan keharamannya oleh Allah
dengan tegas dalam surat an-Nur. Allah memberitahukan, bahwa siapa saja yang
menikahinya, bisa jadi sama-sama pezina atau musyrik. Adakalanya orang terikat
dengan hukum-Nya serta mengimani kewajiban-Nya kepada dirinya atau tidak. Jika
tidak terikat dan tidak mengimaninya, maka dia musyrik. Jika terikat dan
mengimani kewajiban-Nya, tetapi menyalahinya, maka dia disebut pezina. Kemudian
Allah dengan tegas menyatakan keharamannya: Yang demikian diharamkan atas
orang-orang Mukmin (QS an-Nur [24]: 3).”
Kedua: Hadis Nabi saw. yang
menyatakan:
لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى
تَضَعَ
"Wanita hamil tidak boleh
disetubuhi hingga dia melahirkan (bayinya)." (HR Abu Dawud dan al-Hakim. Hadis
ini disahihkan oleh al-Hakim)
Ketiga: riwayat Said bin
al-Musayyib yang menyatakan bahwa:pernah ada seorang pria menikahi wanita.
Ketika dia menjumpai wanita itu telah hamil maka dia mengadukannya kepada Nabi
saw. Baginda pun menceraikan keduanya.”[4]
Keempat: sabda Nabi saw. yang
menyatakan:
لاَ يَحِلُّ
لاِمْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ يُسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ
غَيْرِهِ
"Tidaklah halal bagi
seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk menumpahkan air
maninya ke dalam tanaman (air mani) orang lain." (HR Abu Dawud).
Selain itu, kelompok ini
berpendapat bahwa pernikahan itu merupakan perkara suci. Di antara kesuciannya
adalah agar kesucian tersebut tidak dituangkan ke dalam ma’ saffah (air zina)
sehingga bercampur yang halal dengan haram. Dengan begitu, air kehinaan bercampur
aduk dengan air kemuliaan.[5]
Mazhab Maliki juga beragumen
dengan pendapat Ibn Mas’ud ra. yang menyatakan, “Jika seorang pria berzina
dengan seorang wanita, kemudian setelah itu dia menikahinya, maka keduanya telah
berzina selama-lamanya.”[6]
2. Dalil Kelompok Kedua:
Pertama: Firman Allah SWT:
ۚ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُمۡ
أَن تَبۡتَغُواْ بِأَمۡوَٰلِكُم مُّحۡصِنِينَ غَيۡرَ مُسَٰفِحِينَۚ ٢٤
"Telah dihalalkan
bagi kalian yang demikian, (yaitu) mencari istri-istri dengan harta kalian
untuk dikawini, bukan untuk berzina." (QS an-Nisa’ [4]: 24).
Kedua: Hadis penuturan Aisyah ra.
yang menyatakan:
لاَ يُحَرِّمُ
الْحَرَامُ الْحَلاَلَ
"Perkara yang
haram tidak bisa mengharamkan yang halal."
Ketiga: Ijmak Sahabat. Telah
diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, Ibn Umar, Ibn ‘Abbas dan
Jabir ra., bahwa Abu Bakar berkata, “Jika seorang pria berzina dengan wanita,
maka tidak haram bagi dirinya untuk menikahinya.”
Demikian juga telah diriwayatkan
dari ‘Umar, “Seorang pria telah menikahi wanita. Wanita itu mempunyai anak
laki-laki dan perempuan yang berbeda ayah. Anak laki-lakinya melakukan maksiat
dengan anak perempuannya, kemudian tampak hamil. Ketika ‘Umar datang ke Makkah,
kasus itu disampaikan kepadanya. ‘Umar pun menanyai keduanya, dan keduanya
mengakui. ‘Umar mencambuk keduanya dengan sanksi cambuk, lalu menawarkan
keduanya untuk hidup bersama, namun anak laki-laki tersebut menolaknya.”[7]
3. Dalil Kelompok Ketiga.
Pertama: firman Allah SWT:
ٱلزَّانِي لَا يَنكِحُ
إِلَّا زَانِيَةً أَوۡ مُشۡرِكَةٗ وَٱلزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَآ إِلَّا زَانٍ
أَوۡ مُشۡرِكٞۚ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٣
"Laki-laki pezina tidak
mengawini melainkan perempuan pezina, atau perempuan yang musyrik; dan
perempuan pezina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki pezina atau laki-laki
musyrik. Yang demikian diharamkan atas orang-orang Mukmin." (QS an-Nur
[24]: 3).
Alasannya, keharaman menikahi
wanita pezina di dalam ayat tersebut berlaku bagi yang belum bertobat, namun
setelah bertobat larangan tersebut hilang. Sebabnya, ada Hadis Nabi saw. yang
menyatakan:
التَّائِبُ مِنَ
الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَه
"Orang yang bertobat dari
dosa, statusnya sama dengan orang yang tidak mempunyai dosa." (Dikeluarkan
oleh Ibn Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni).[8]
Kedua: Hadis penuturan Abi Said
al-Khudri yang statusnya marfu’. Dalam hadis tersebut dinyatakan:
لاَ تُوْطَأُ
حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ
"Wanita hamil tidak boleh
disetubuhi hingga dia melahirkan (bayinya)." (HR Abu Dawud dan al-Hakim.
Hadis ini disahihkan oleh al-Hakim)
Dari ketiga pendapat di atas,
menurut pendapat kami, pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang dikemukakan
oleh mazhab Hanbali, yang menyatakan, bahwa hukum menikahi wanita hamil
dibolehkan dengan syarat:
1. Kehamilannya telah berakhir,
atau masa ‘iddah-nya habis.
2. Bertobat dengan tobat nashuha.
Adapun yang menikahinya, boleh
saja pasangan zinanya, atau bukan. Tentu setelah wanita tersebut bertobat,
karena tobatnya telah menghapuskan kesalahan yang telah dilakukannya. Dengan
catatan, jika tobatnya dilakukan dengan tobat nashuha.
Sebab, pernikahan adalah ikatan
suci yang membawa konsekuensi:
Pertama, nasab. Orang yang
menikahi wanita, kemudian dari wanita itu lahir anak, maka pernikahan yang sah
tersebut menjamin keabsahan nasabnya.
Kedua, perwalian. Anak mempunyai
hak perwalian, baik terhadap harta maupun dirinya.
Ketiga, waris. Dengan adanya
nasab, status hukum waris menjadi jelas. Karena itu, syarat istibra’ (bersihnya
rahim wanita) setelah masa ‘iddah, merupakan kunci. Jika tidak, maka status
janin yang ada di dalamnya tidak akan diketahui. WalLahu a’lam. []
[1]
Ibn al-Humam, Syarh Fath al-Qadir, III/241 dan 242; Ibn ‘Abidin,Hasyiyah Radd
al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar, II/52 dan 53; Ibn al-Maudud, Al-Ikhtiyar,
III/87.
[2]
Ibid.
[3]
Ad-Dardir, As-Syarh ash-Shaghir, II/410; al-Bahuti, Kassafu al-Qana’,V/83; Ibn
Qudamah, Al-Mughni ‘ala Syarh Mukhtashar al-Khiraqi,VI/604; Ibn Taimiyyah,
Majmu’ al-Fatawa, XXXII/110.
[4]
Ibn Qudamah, Al-Mughni ‘ala Mukhtashar al-Khiraqi, al-Marja’ al-Akbar, t.t.,
IX/514.
[5]
Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, XII/170; ad-Dardir, Asy-Syarh
ash-Shaghir, II/410 dan 717.
[6]
Yahya ‘Abdurrahman al-Khathib, Ahkam al-Mar’ah al-Hamilah fi as-Syari’ah
al-Islamiyyah, Dar al-Bayariq, Beirut, cet. I, 1999, hlm. 80.
[7]
Al-Mawardi, al-Hawi, IX/189.
[8]
Ibn Qudamah, Al-Mughni ‘ala Mukhtashar al-Khiraqi, al-Marja’ al-Akbar, t.t.,
IX/514
Oleh : KH. Hafidz Abdurrahman
Bagi wanita yang hamil karena zina, baik zina dengan pasangan yang hendak menikahinya, atau zina dengan orang lain, maka hukum menikahinya ada tiga pendapat.
"Laki-laki pezina
tidak mengawini melainkan perempuan pezina, atau perempuan musyrik; dan
perempuan pezina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki pezina atau laki-laki
musyrik. Yang demikian diharamkan atas orang-orang Mukmin." (QS an-Nur
[24]: 3).
"Wanita hamil tidak boleh
disetubuhi hingga dia melahirkan (bayinya)." (HR Abu Dawud dan al-Hakim. Hadis
ini disahihkan oleh al-Hakim)
"Tidaklah halal bagi
seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk menumpahkan air
maninya ke dalam tanaman (air mani) orang lain." (HR Abu Dawud).
"Telah dihalalkan
bagi kalian yang demikian, (yaitu) mencari istri-istri dengan harta kalian
untuk dikawini, bukan untuk berzina." (QS an-Nisa’ [4]: 24).
"Perkara yang
haram tidak bisa mengharamkan yang halal."
"Laki-laki pezina tidak
mengawini melainkan perempuan pezina, atau perempuan yang musyrik; dan
perempuan pezina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki pezina atau laki-laki
musyrik. Yang demikian diharamkan atas orang-orang Mukmin." (QS an-Nur
[24]: 3).
"Wanita hamil tidak boleh
disetubuhi hingga dia melahirkan (bayinya)." (HR Abu Dawud dan al-Hakim.
Hadis ini disahihkan oleh al-Hakim)
[1]
Ibn al-Humam, Syarh Fath al-Qadir, III/241 dan 242; Ibn ‘Abidin,Hasyiyah Radd
al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar, II/52 dan 53; Ibn al-Maudud, Al-Ikhtiyar,
III/87.
[2]
Ibid.
[3]
Ad-Dardir, As-Syarh ash-Shaghir, II/410; al-Bahuti, Kassafu al-Qana’,V/83; Ibn
Qudamah, Al-Mughni ‘ala Syarh Mukhtashar al-Khiraqi,VI/604; Ibn Taimiyyah,
Majmu’ al-Fatawa, XXXII/110.
[4]
Ibn Qudamah, Al-Mughni ‘ala Mukhtashar al-Khiraqi, al-Marja’ al-Akbar, t.t.,
IX/514.
[5]
Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, XII/170; ad-Dardir, Asy-Syarh
ash-Shaghir, II/410 dan 717.
[6]
Yahya ‘Abdurrahman al-Khathib, Ahkam al-Mar’ah al-Hamilah fi as-Syari’ah
al-Islamiyyah, Dar al-Bayariq, Beirut, cet. I, 1999, hlm. 80.
[7]
Al-Mawardi, al-Hawi, IX/189.
[8]
Ibn Qudamah, Al-Mughni ‘ala Mukhtashar al-Khiraqi, al-Marja’ al-Akbar, t.t.,
IX/514
0 komentar: