![]() |
Syuf’ah, secara harfiah, adalah
menggabungkan, seperti “Syafa’tu
ar-rak’ata” [Aku menggabungkan rakaat, dari ganjil menjadi genap].
Dalam Q.s. al-Fajr: 3, “Demi
shalat yang genap dan ganjil.” Shalat Syaf’i [genap], lawannya Shalat Watr
[ganjil].
Dalam konteks Fiqih Mu’amalah,
istilah syuf’ah digunakan untuk sesuatu yang dijual, yang diperoleh oleh mitra
kerja sama [syarik], atau tetangga, dengan paksa, dengan harga yang telah
digunakan untuk membeli/menjualnya [al-‘Allamah Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah
Jie, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Juz II/1166].
Syuf’ah ini disyariatkan
berdasarkan hadits Nabi Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama, “Rasulullah
Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama telah memutuskan terjadinya syuf’ah terhadap
apa saja yang belum dibagi. Jika batasan sudah terjadi, dan jalan telah
alihkan, maka tak ada syuf’ah.” [HR Bukhari]
Syuf’ah terjadi, karena dua
sebab. Pertama, kepemilikan bersama, karena adanya syarikah, baik karena
syarikah amlak maupun ‘uqud, atau kepemilikan bersama atas kepemilikan umum,
atau hak menahan agunan. Kedua, hubungan pertetanggaan berdasarkan hadits di
atas. Karena memang syuf’ah disyariatkan untuk menghindari terjadinya mudharat,
baik dari maupun terhadap tetangga.
Karena itu, syuf’ah ini bisa
berlaku untuk tanah, rumah, sumur, penggilingan, hewan, dan lain-lain selama
belum dibagi. Syuf’ah juga bisa berlaku untuk jalan, saluran air, tempat minum
bersama, begitu juga tempat-tempat umum, seperti hutan, padang gembalaan, dan
lain-lain.
Dalam syuf’ah ini ada empat hal
yang harus diperhatikan: pertama, masyfu’ fih, yaitu properti yang ingin
dimiliki oleh syafi’. Kedua, masyfu’ bih, yaitu properti yang dengannya, syafi’
berhak meminta hak syuf’ah-nya. Ketiga, masyfu’ ‘alaih, yaitu orang yang
kepemilikannya atas masyfu’ fihi, berpindah darinya, melalui pembelian dan
sejenisnya. Keempat, syafi’, pihak yang meminta haknya, atas masyfu’ fih
sebagai bentuk pengembalian haknya.
Orang yang mempunyai hak syuf’ah,
berhak menuntut haknya, jika mitranya menjual barang yang di situ ada haknya.
Dengan syarat, tuntutan tersebut harus segera dilakukan, begitu mengetahui
penjualan barang tersebut. Tetapi, jika mitranya tersebut berada di wilayah
lain yang jauh, maka wajib memberikan kesaksian bahwa dia menuntut haknya atas
kepemilikan tersebut, setelah itu dia bisa memberitahukan kepada penjualnya,
bahwa dia menuntut hak Syuf’ah-nya dengan segera, tanpa ditunda lagi.
Orang yang berhak menuntut hak
syuf’ah adalah orang yang mempunyai hak kepemilikan atas barang yang dijual
mitranya. Barang yang dijual, sebagai milik bersama, itu bisa berupa barang
bergerak [manqulat] dan tidak bergerak [ghair manqulat]. Hanya saja, untuk
barang yang bergerak, disyaratkan kepemilikannya berdasarkan syarikah, bukan
karena pertetanggaan.
Syarat-Syarat Mengambil Syuf’ah
Dalam syuf’ah ini ada empat hal
yang harus diperhatikan: Pertama, masyfu’ fih, yaitu properti yang ingin
dimiliki oleh syafi’. Kedua, masyfu’ bih, yaitu properti yang dengannya, syafi’
berhak meminta hak syuf’ah-nya. Ketiga, masyfu’ ‘alaih, yaitu orang yang
kepemilikannya atas masyfu’ fihi, berpindah darinya, melalui pembelian dan
sejenisnya. Keempat, syafi’, pihak yang meminta haknya, atas masyfu’ fih
sebagai bentuk pengembalian haknya.
Syarat dalam mengambil syuf’ah
itu:
Masyfu’ fih (properti yang ingin
dimiliki oleh syafi’) berupa kepemilikan, atau bergerak.
Masyfu’ fih (properti yang ingin
dimiliki oleh syafi’) lepas dari kepemilikan pemiliknya dengan disertai
kompensasi (mu’awadhah), tidak gratis. Adanya kompensasi dalam perukaran ini
mengeluarkan hak pada warisan, wasiat, hibah, wakaf, atau mahar, pengganti
khulu’, atau diyat.
Lepasnya kepemilikan penjual atas
barang yang dijual, atau hilangnya hak dirinya atas barang itu. Jika khiyar
(pilihan antara membatalkan dan melanjutkan akad) berlaku bagi kedua pihak,
atau salah satunya, maka tidak ada syuf’ah, hingga khiyar tersebut berakhir.
Karena, akad yang disertai khiyar tidak bersifat lazim (mengikat), dan ada
kemungkinan masih bisa dibatalkan. Maka, dia harus memberitahukan keinginannya
dalam syuf’ah. Begitu juga, jika akad tersebut rusak.
Hendaknya syafi’ (pemilik masyfu’
bih) pada waktu jual-beli, untuk tujuan pemutusan, mempunyai hak atas
syuf’ah-nya.
Hendaknya syafi’ (pemilik masyfu’
bih) pada waktu jual-beli menunjukkan ketidakrelaan terhadap jual-beli
tersebut. Karena itu, dia berhak mendapatkan hak atas syuf’ah-nya. Jika dia
rela, maka tidak berhak menuntut hak atas syuf’ah-nya.
Memang ada beberapa kondisi:
Ketika syafi’ (pemilik masyfu’
bih) merelakan hak atas syuf’ah-nya, karena berharap yang membeli adalah orang
yang baik, dan sebagaimana yang dimaksud. Tetapi, di kemudian hari akhirnya
terbukti bukan, atau orang lain, maka saat itu, syafi’ (pemilik masyfu’ bih)
berhak atas hak syuf’ah-nya, dan boleh menuntut haknya, dan tuntutan tersebut
harus dipenuhi.
Ketika syafi’ (pemilik masyfu’
bih) telah membayarkan harga atas hak atas syuf’ah temannya, dengan harga yang
tingga. Di kemudian hari akhirnya terbukti, harganya lebih rendah, maka saat
itu, syafi’ (pemilik masyfu’ bih) berhak atas hak syuf’ah-nya, dan boleh
menuntut haknya, dan tuntutan tersebut harus dipenuhi.
Ketika ada syafi’ (pemilik
masyfu’ bih) mendaptakn informasi, bahwa yang dijual itu adalah separuh
rumahnya, sehingga dia menerika hak atas syuf’ah-nya, ternyata kemudian dia
tahu, yang dijual itu seluruh rumah, maka saat itu, syafi’ (pemilik masyfu’
bih) berhak atas hak syuf’ah-nya, dan boleh menuntut haknya, dan tuntutan
tersebut harus dipenuhi.
Syafi’ (pemilik masyfu’ bih)
harus menuntut harga atas hak syuf’ah-nya sesegera mungkin, tidak ditunda-tunda,
sebagaimana dinyatakan dalam hadits, “Syuf’ah itu milik orang yang segera
menyambarnya.” Artinya, begitu dia tahu, harus segera menuntut hak syuf’ah-nya,
dan tuntutan tersebut harus dipenuhi.
Syafi’ (pemilik masyfu’ bih)
harus menyatakan di hadapan saksi, mengenai keinginannya menuntut harga atas
hak syuf’ah-nya di hadapan penjualnya, jika masih di tangan dia. atau
kemungkinan kedua, dinyatakan di hadapan pembelinya, jika barang itu sudah di
tangan pembeli. jika, dia posisinya jauh, atau tidak berada di TKP, maka dia
bisa menyatakan di hadapan saksi sendiri, dan mengirimkan surat kesaksian, atau
utusan, kepada syafi’ yang lain. jika tidak, maka dia tidak berhak atas hak
syuf’ah-
Dia juga harus menyatakan
tuntutannya di hadapan pengadilan, untuk diputuskan berhak atas hak
syuf’ah-nya, jika memang diperlukan.
Inilah ketentuan umum tentang
syuf’ah, dan bagaimana klaim atasnya bisa ditunaikan. Dengan begitu, diharapkan
tidak ada lagi konflik di antara para syafi’, atas hak syuf’ah-nya. Karena
tujuan asal muamalah adalah menghilangkan perselisihan. Wallahu a’lam. []
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi
250
0 komentar: