
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ
دَرَجَتُهُ فِي الْجَنَّةِ. فَيَقُولُ: أَنَّى هَذَا؟ فَيُقَالُ: بِاسْتِغْفَارِ
وَلَدِكَ لَكَ
Dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi ﷺ bersabda, "Sungguh seorang manusia akan ditinggikan
derajatnya di surga (kelak) sampai ia bertanya, "Bagaimana (aku bisa
mencapai) semua ini?" Maka dikatakan padanya, "(Ini semua) disebabkan
istighfar (permohonan ampun kepada Allah yang selalu diucapkan oleh) anakmu
untukmu."[1]
Pernikahan adalah fitrah bagi manusia. Dari pernikahan itu, manusia melestarikan keturunannya dan membangun tatanan masyarakat bergenerasi untuk memakmurkan bumi. Keluarga menjadi lingkungan pedidikan yang kelak akan menjadi investasi amal sholeh yang terus mengalir kepada orang tua dan juga bagi negeri, dan Islam.
Karnanya, pernikahan menjadi sunnah dari Rasulullah ﷺ kepada umat Islam karna di dalamnya banyak keutamaan-keutamaan yang diraih oleh suami dan istri dan anak-anaknya. Tiada contoh terbaik dari hal membangun pernikahan ini, kecuali dari pernikahannya Rasulullah ﷺ dan istri-istrinya. Banyak yang dapat kita ambil suri tauladannya dan pahala dari menerapkannya. Terlebih pada saat diawal pernikanan sebelum adanya pernikahan itu sendiri.
Di awal akad pernikahan, adalah hal yang perlu juga kita kaji, terutama perihal mahar. Sebab, mahar merupakan menjadi hak bagi calon istri dari calon suami yang diatur oleh syara’ secara jelas didalam Al Qur’an dan Al Hadist.
Mahar diberikan oleh calon suami untuk menunjukan kemuliaan akan pentingnya akad perkawinan dan penetapan mahar bukan merupakan sebuah timbal balik, kewajiban menyerahkan mahar bukan berarti calon istri dengan pemberian mahar sepenuhnya telah dimiliki suaminya, yang seenaknya suami memperlakukan istri.[2]
Pernikahan adalah fitrah bagi manusia. Dari pernikahan itu, manusia melestarikan keturunannya dan membangun tatanan masyarakat bergenerasi untuk memakmurkan bumi. Keluarga menjadi lingkungan pedidikan yang kelak akan menjadi investasi amal sholeh yang terus mengalir kepada orang tua dan juga bagi negeri, dan Islam.
Karnanya, pernikahan menjadi sunnah dari Rasulullah ﷺ kepada umat Islam karna di dalamnya banyak keutamaan-keutamaan yang diraih oleh suami dan istri dan anak-anaknya. Tiada contoh terbaik dari hal membangun pernikahan ini, kecuali dari pernikahannya Rasulullah ﷺ dan istri-istrinya. Banyak yang dapat kita ambil suri tauladannya dan pahala dari menerapkannya. Terlebih pada saat diawal pernikanan sebelum adanya pernikahan itu sendiri.
Di awal akad pernikahan, adalah hal yang perlu juga kita kaji, terutama perihal mahar. Sebab, mahar merupakan menjadi hak bagi calon istri dari calon suami yang diatur oleh syara’ secara jelas didalam Al Qur’an dan Al Hadist.
Mahar diberikan oleh calon suami untuk menunjukan kemuliaan akan pentingnya akad perkawinan dan penetapan mahar bukan merupakan sebuah timbal balik, kewajiban menyerahkan mahar bukan berarti calon istri dengan pemberian mahar sepenuhnya telah dimiliki suaminya, yang seenaknya suami memperlakukan istri.[2]
|
A. Pengertian
Mahar
Secara etimologi (bahasa), mahar (صداق) artinya maskawin.[3] Dan di dalam Kamus Kontemporer Arab Indonesia, mahar atau maskawin disamakan dengan kata . َصداق, ِصداق,مهر.[4] Sedangkan menurut Hamka, kata shidaq atau shaduqat dari rumpun kata shidiq, shadaq, bercabang juga dengan kata shadaqah yang terkenal. Dalam maknanya terkandung perasaan jujur, putih hati. Jadi artinya harta yang diberikan dengan putih hati, hati suci, muka jernih kepada mempelai perempuan ketika akan menikah. Arti yang mendalam dari makna mahar itu ialah laksana cap atau stempel, bahwa nikah itu telah dimateraikan.[5]
Wahbah Zuhaili dalam buku Fiqh Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar mempunyai sepuluh nama lain, yaitu: maskawin, ṣadāq, nihlah, farīah, haba, ajr, ‘uqr, ‘alāiq, thaul, dan nikah. Kata shadaq, nihlah, farihah, dan ajr disebutkan dalam al-Quran, sedangkan kata mahar, aliqah, dan uqr ada dalam as-Sunnah. Shadaq berasal dari kata shidq (jujur; kesungguhan). Sebagai isyarat keinginan menikah yang sungguh-sungguh.[6]
Mahar (maskawin) secara terminologi menurut Imam Taqiyuddin Abu Bakar adalah harta yang diberikan kepada perempuan dari seorang laki-laki ketika menikah atau bersetubuh (wathi’).[7] Menurut H.S.A al-Hamdani, mahar atau maskawin adalah pemberian seorang suami kepada istrinya sebelum, sesudah atau pada waktu berlangsungnya akad nikah sebagai pemberian wajib yang tidak dapat diganti dengan yang lainnya.[8] Menurut Abdurrahman Al-Jaziri, mahar atau maskawin adalah nama suatu benda yang wajib diberikan oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang disebutkan dalam akad nikah sebagai pernyataan persetujuan antara pria dan wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri.[9]
Ulama fiqih mazhab memberikan definisi dengan rumusan yang tidak berbeda secara substansialnya. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1.
Mazhab Hanafi (sebagiannya) mendefinisikan,
bahwa mahar itu adalah: المال يجب في عقد النكاح علي الزوج في مقابلة
البضع هو
“Harta
yang diwajibkan atas suami ketika berlangsungnya akad nikah sebagai imbalan
dari kenikmatan seksual yang diterimanya”.[10]
2.
Mazhab Maliki mendefinisikan: “mahar adalah
sebagai sesuatu yang menjadikan istri halal untuk digauli”. Menurut mazhab
tersebut, istri diperbolehkan menolak untuk digauli kembali sebelum menerima
maharnya itu, walaupun telah pernah terjadi persetubuhan sebelumnya.
3.
Mazhab Hambali mengemukakan, bahwa mahar adalah
“sebagai imbalan suatu perkawinan, baik disebutkan secara jelas dalam akad
nikah, ditentukan
setelah akad dengan persetujuan kedua belah pihak, maupun ditentukan oleh
hakim”.
4.
Mazhab Syafi‟i mendefinisikan mahar sebagai
sesuatu yang wajib dibayarkan disebabkan akad nikah atau senggama.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, mahar didefinisikan sebagai pemberian dari mempelai pria kepada mempelai wanita, baik bentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.[11] Dan di dalam Pasal 32 Kompilasi Hukun Islam mengemukakan bahwa ”Mahar diberikan langsung kepada mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya”.[12]
Pada dasarnya mahar tidaklah merupakan syarat dari akad nikah, tetapi merupakan suatu pemberian yang berifat semi mengikat, yang harus diberikan suami kepada istri sebelum terjadi hubungan suami istri, walaupun dalam keadaan belum sepenuhnya mahar yang disepakati itu diserahkan.
Dengan kata lain, mahar merupakan tanda simbolis atas kesiapan suami untuk memberi nafkah kepada istri dan anaknya, oleh karnanya mahar tidak harus banyak dan bukan sebagai harga dari seorang perempuan dan akad jual beli perempuan.[13] Dan tentunya mahar mempunyai dasar hukum syariatnya dalam pembahasan selanjutnya.
B. Dasar Hukum Mahar
Mahar sebagai sebuah kewajiban dalam perkawinan Islam, maka kehadirannya tentu memiliki landasan hukum yang menjadi dasar yang kuat sebagai pegangan calon suami sebagai pihak yang mempunyai kewajiban membayar mahar kepada calon istri.
a.
Dasar Hukum Mahar dari Al
Qur’an
Sebagai
landasan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan tentang mahar yaitu QS. An-Nisa: 4, 9, 21 dan Qs. Al
Baqarah: 237. Secara eksplisit diungkap dalam Al Quran seperti yang terdapat dalam surat An-Nisa’
Berikut surat An-Nisa ayat 4
yang bunyinya:
وَءَاتُواْ
ٱلنِّسَآءَ صَدُقَٰتِهِنَّ نِحۡلَةٗۚ فَإِن طِبۡنَ لَكُمۡ عَن شَيۡءٖ مِّنۡهُ
نَفۡسٗا فَكُلُوهُ هَنِيٓٔٗا مَّرِيٓٔٗا
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”
Maksud dari ayat ini
adalah seorang lelaki diwajibkan membayar mahar kepada calon istrinya sebagai suatu keharusan.
Hendaknya hal tersebut dilakukannya dengan senang hati. Sebagaimana seseorang
memberikan hadiahnya secara suka rela, maka seseorang diharuskan memberikan mahar kepada istrinya secara senang hati pula. Jika
pihak istri dengan suka hati sesudah penyebutan mahar
mengembalikan sebagian dari maskawin itu kepadanya, maka pihak suami boleh
memakannya dengan senang hati dan halal.[14]
Pada dasarnya Islam tidak membolehkan seorang laki-laki meminta kembali mahar yang telah diberikan kepada isterinya. Karena, Allah Swt telah berfirman di dalam surah An-Nisa, Allah SWT berfirman:
وَإِنۡ أَرَدتُّمُ ٱسۡتِبۡدَالَ زَوۡجٖ مَّكَانَ
زَوۡجٖ وَءَاتَيۡتُمۡ إِحۡدَىٰهُنَّ قِنطَارٗا فَلَا تَأۡخُذُواْ مِنۡهُ شَيًۡٔاۚ
أَتَأۡخُذُونَهُۥ بُهۡتَٰنٗا وَإِثۡمٗا مُّبِينٗا
“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain
, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang
banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun.
Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan
dengan (menanggung) dosa yang nyata.” (QS. An Nisa: 20).
Maksudnya, jika seseorang di antara kalian ingin menceraikan seorang istri dan menggantikannya dengan istri yang lain, maka janganlah ia mengambil darinya maskawin/mahar yang pernah ia berikan kepadanya di masa lalu barang sedikit pun, sekalipun apa yang telah ia berikan kepadanya berupa harta yang banyak.[15] Pada saat bercerai saja tidak diperkenankan untuk mengambil kembali, apalagi masih dalam pernikahan, terkecuali pemberian sukarela dari istri.
b.
Dasar Hukum Mahar dari Al
Hadist
Selain al-Qur’an,
Rasulullah juga pernah bersabda tentang pentingnya membayar mahar, di dalam Al
Hadist berikut ini.
1)
Hadist yang
berasal dai Sahal bin Sa’ad al-Sa’idi.
حَدَّثـَنَا يحَيَح
حَدَّثـَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ اَبيِ حَازِمٍ بْنِدينار عَنْ سَهْلِ
بْنِ سَعْدٍ اَنَّ
النبي صَلَّي االلهُ
عَلَيْهِوسَلَّمَ قال لرجل تجوج ولو بخٍ اَتمٍَ مِنْ حَدِيدٍ
Artinya: Telah berkata
Yahya, telah berkata Waqi’ dari Sufyan dari Abi Hazim bin Dinar dari Sahal bin
Said as-Sa’idi bahwa Nabi ﷺ berkata:
”hendaklah seorang menikah meskipun (hanya dengan mahar)
sebuah cincin yang terbuat dari besi. (HR Bukhari).[16]
Hadits di atas menunjukkan bahwa mahar
sangat penting, maka setiap mempelai laki-laki wajib memberi mahar sebatas
kemampuannya. Hadits ini juga menjadi indikasi bahwa agama Islam sangat memberi
kemudahan dan tidak bersifat memberatkan.
2)
Hadist yang
diriwayatkan Ibnu Abbas, yang berbunyi:
وَعَنْ ابْن عَبَاس
رَضِيَاالله عَنْهُ قَالَ رَسُوْاالله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَمَ خَيـْرُ
النِسَاء اُخْسَنـُهُنَ وَجُوْهًا وَاَرْخَصُهُنَ مُهُوْرًا
Artinya: Dari Ibnu Abbas
r.a ia berkata telah bersabda Rasulullah ﷺ,
“sebaik-baiknya wanita (istri adalah yang tercantik wajahnya dan termurah maharnya).”
(HR Baihaqi).[17]
c.
Menurut ketetapan dalil
dari Ijma’ menyatakan bahwa: para ulama telah bersepakat bahwa mahar wajib hukumnya tanpa adanya perselisihan (khilaf),
ketetapan itu di sepakati oleh para ulama, baik ulama generasi pertama Islam
hingga masa sekarang.[18]
Seperti yang disebutkan dalam kitab yang berjudul “Maqashid Al A’mmah Al Syari’ah Al-Islami” berikut:[19]
اختلف العلماء في النكاح الذي شرط فیھ عدم المھر بعد اتفاقھم علیھ جوازالصحة العقد بدون ذكره
“Para ulama telah
berbeda pendapat pada pernikahan yang mensyaratkan tidak ada mahar di dalamnya
setelah mereka sepakat atas kebolehan sahnya ‘aqad dengan tidak menyebutkan
mahar”.
Dilihat dari kutipan di
atas, dapat dipahami bahwa ada perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha’,
yaitu pada tiadanya mahar pada perkawinan. Tetapi, semua sepakat tentang
kebolehan mahar, berdasar QS. Al Baqarah: 236.
C. Syarat-Syarat Mahar
Mahar mempunyai syarat yang harus terpenuhi oleh calon suami yang diberikan kepada calon istri yakni sebagai berikut:
Mahar mempunyai syarat yang harus terpenuhi oleh calon suami yang diberikan kepada calon istri yakni sebagai berikut:
1.
Harta atau bendanya berharga. Tidak sah mahar
dengan harta atau benda yang tidak berharga, walaupun tidak ada ketentuan
banyak atau sedikitnya mahar.[20]
Akan tetapi apabila mahar sedikit tapi bernilai maka tetap sah nikahnya.
Abu Dawud meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah ra. bahwa
Rasulullah ﷺ bersabda:
عن جابر بن عبد الله -رضي
الله عنهما- أن النبي -صلى الله عليه وسلم- قال: «من أعطى في صَداق امرأة مِلءَ
كَفَّيْهِ سَوِيقَا أو تمرا فقد استَحَلَّ[رواه أبو داود وأحمد]
“Barangsiapa yang memberi tepung gandum atau kurma sepenuh
dua telapak tangannya untuk mahar
seorang wanita, maka halal baginya untuk menggaulinya.”
(HR. Abu Dawud).[21]
Pada umumnya mahar itu dalam bentuk uang atau juga menggunakan barang berharga lainnya. Namun bukan berarti bentuk maskawin itu harus selalu berupa barang. Akan tetapi maskawin juga bisa menggunakan jasa sebagaimana yang telah di jelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Sebab, Islam mensyari’atkan untuk meringankan mahar adalah dengan tujuan untuk tidak memberatkan calon suami, yang sesuai dengan keadaan calon suami dan tidak memberatkan.
Contoh
maskawin/mahar berupa jasa dalam Al-Qur’an adalah pada hadist berikut
ini:
إنطلق، لقد زوجتكها فعلمها من القرآن
Nabi ﷺ bersabda, “Pergilah,
sungguh aku telah menikahkan kamu dengannya,
maka ajarilah dia dengan Al-Qur’an”. (HR. Muslim).
Hadits tersebut memberikan gambaran bahwa mahar itu hanya berupa uang dan barang saja. Akan
tetapi juga bisa menggunakan jasa yang berupa
hafalan seperti
contoh dalam hadits tersebut.
2. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Maka
tidak boleh memberikan mahar dengan khamar, babi dan darah serta
bangkai, karena itu tidak mempunyai nilai menurut pandangan syari’at Islam. Itu adalah haram dan tidak berharga.
3. Milik sendiri bukan milik orang lain, bukan barang ghosob. Ghosob
artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak
bermaksud untuk memilikinya karena akan dikembalikannya
kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghosob
tidak sah. Harus diganti dengan mahar mitsil, tetapi akad nikahnya tetap
sah.
D. Macam-Macam Mahar
Para
Fuqaha telah membagi mahar
kepada dua macam, yakni Mahar Musamma dan Mahar Mitsil.
1.
Mahar Musamma
Merupakan mahar yang telah jelas dan
ditetapkan bentuk dan jumlahnya dalam shighat akad. Jenis
mahar ini dibedakan lagi menjadi dua yaitu: 1) Mahar Musamma Mu’ajjal, yakni mahar yang segera diberikan oleh calon
suami kepada calon isterinya. Menyegerakan pembayaran mahar termasuk perkara
yang sunnat dalam Islam. 2) Mahar Musamma
Ghair Mu’ajjal, yakni
mahar yang telah ditetapkan bentuk dan jumlahnya, akan tetapi ditangguhkan
pembayarannya.
Berkenaan dengan pembayaran mahar, maka wajib hukumnya apabila telah terjadi dukhul (berhubungan). Ulama sepakat bahwa membayar mahar menjadi wajib apabila telah berkhalwat (bersepi-sepian/berdua-duan) dan juga telah dukhul. Membayar mahar apabila telah terjadi dukhul adalah wajib, sehingga jika belum terbayarkan maka termasuk utang piutang.
Berkenaan dengan pembayaran mahar, maka wajib hukumnya apabila telah terjadi dukhul (berhubungan). Ulama sepakat bahwa membayar mahar menjadi wajib apabila telah berkhalwat (bersepi-sepian/berdua-duan) dan juga telah dukhul. Membayar mahar apabila telah terjadi dukhul adalah wajib, sehingga jika belum terbayarkan maka termasuk utang piutang.
2.
Mahar Mitsil.
Adalah mahar yang tidak disebutkan jenis jumlahnya pada waktu
akad, maka kewajibannya adalah membayar mahar sebesar mahar yang diterima oleh
perempuan lain dalam keluarganya.[23]
Maksudnya adalah mahar
yang diusahakan kepada mahar-mahar yang pernah diterima pendahulunya atau mahar
yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat,
agak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan memperhatikan status sosial,
kecantikan, dan sebagainya. Misal, mahar itu mengikuti maharnya saudara
perempuan pengantin wanita.
Madzhab Maliki dan Syafi’i menetapkan batasan mahar mitsil
yaitu, mahar kerabat perempuannya yang ashabah (paling dekat). Seperti,
saudara-saudara perempuan, para keponakan perempuan dari saudara laki-laki,
para bibi dari pihak bapak, jika dia tidak memiliki kerabat perempuan ashabah
maka yang dijadikan standar adalah perempuan yang memiliki hubungan paling
dekat dengannya yaitu ibunya dan bibinya dari pihak ibu.[24]
Menurut Madzhab Maliki yang menjadi ukuran bagi mahar mitsil
adalah kerabat perempuan calon istri, kondisi, kedudukan, harta dan
kecantikannya seperti mahar saudara perempuan sekandung atau sebapak. Selain
itu menjadi patokannya adalah persamaan dari segi agama, harta, kecantikan,
akal, etika, umur, keperawanan, janda, negara, nasab dan kehormatan.[25]
Madzhab hanbali berpendapat jika kebiasaan para
kerabatnya adalah meringankan mahar, maka diperhatikan peringanannya. Jika adat
mereka menyebutkan mahar yang banyak yang sebenarnya tidak ada, maka
keberadaannya sama dengan ketiadaannya. Jika adat mereka menangguhkan, maka
dibayarkan secara tangguh karena itu adalah kebiasaan mahar kerabat perempuannya.
Jika adat mereka tidak ditangguhkan, maka harus dibayar langsung karena mahar
ini adalah pengganti yang bisa hilang seperti harga barang-barang yang hilang.
Jika adat mereka berbeda dalam masalah pembayaran segera ditangguhkan, atau
berbeda ukuran banyak dan sedikitnya dalam mahar mereka, maka diambil yang
pertengahan darinya karena ini adalah suatu keadilan.[26]
Ulama Hanafiyah secara spesifik memberi
batasan mahar mitsil dengan mahar yang pernah diterima oleh saudaranya,
bibinya dan anak saudara pamannya yang sama dan sepadan umurnya, kecantikannya,
kekayaannya, tingkat kecerdasannya, tingkat keberagamaannya, negeri tempat
tinggalnya dan masanya dengan istri yang akan menerima mahar tersebut.
Mahar Mitsil diwajibkan
dalam tiga kemungkinan, yaitu: 1. Dalam keadaan suami tidak ada menyebutkan
sama sekali mahar atau jumlahnya. 2. Suami menyebutkan mahar musamma,
namun mahar tersebut tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau mahar tersebut
cacat seperti maharnya adalah minuman keras. 3. Suami ada menyebutkan mahar musamma,
namun kemudian suami istri berselisih dalam jumlah atau sifat mahar
tersebut dan tidak diselesaikan.[27]
E. Gugurnya
Hak Mahar
Diketahui
bahwa mahar adalah hak bagi perempuan yang wajib dibayar oleh suami, tetapi
apabila ada suatu sebab tertentu maka maskawin dapat gugur, dan suami tidak
wajib membayarnya.
Sebab-sebab yang menggugurkan maskawin/mahar itu ialah:
1.
Suami gugur dari kewajiban
membayar mahar seluruhnya jika perceraian sebelum terjadinya senggama (qobla
dukhul) datang dari pihak istri.
2.
Istri mengajukan fasakh
(pembatalan) karena suami miskin atau cacat.
3.
Suami itu mengajukan fasakh
karena istri itu cacat.
4.
Istri menghibahkan semua mahar untuk suami,
jika dia adalah orang yang mampu untuk melakukan sumbangan. Si suami menerima
hibah istrinya di dalam majelis, baik hibah tersebut dilakukan sebelum mahar
diterima maupun setelahnya[28]
Mengenai gugurnya mahar ini, suami bisa terlepas dari kewajibannya untuk mahar seluruhnya apabila peceraian sebelum persetubuhan datang dari pihak istri, misalnya istri keluar dari Islam, atau memfasakh karena suami miskin atau cacat, atau karena perempuan tersebut setelah dewasa menolak dinikahkan dengan suami yang dipilih oleh walinya. Bagi istri seperti ini, hak mahar gugur karena ia telah menolak sebelum suaminya menerima sesuatu darinya. Tetapi, apabila penceraian datangnya dari pihak suami sebelum persetubuhan dilaksanakan maka maharnya harus dibayar setengah dari jumlah yang sudah diikrarkan.[29] Selain itu juga, mahar gugur dengan penghibahan, menurut mazhab Maliki. Akan tetapi, mereka berpendapat, jika seorang perempuan menghibahkan semua maharnya kepada suaminya, kemudian dia diceraikan sebelum terjadi persetubuhan, maka si istri tidak memiliki kewajiban untuk mengembalikan sesuatu pun kepada suaminya.
F. Hikmah Mahar
Hikmah dibalik diwajibkannya mahar, menunjukkan pentingnya posisi akad ini, serta untuk menghormati dan
memuliakan perempuan. Adapun hikmah mahar adalah sebagai berikut:
1. Menunjukkan kemuliaan wanita, karena wanita
yang dicari laki-laki bukan laki-laki yang dicari wanita. Laki-laki yang
berusaha untuk mendapatkan wanita meskipun harus mengorbankan hartanya.
2. Menunjukkan cinta dan
kasih sayang seorang suami kepada isterinya, karena maskawin itu sifatnya
pemberian, hadiah, atau hibah yang oleh Al-Qur’an diistilahkan dengan nihlah
(pemberian dengan penuh kerelaan), bukan sebagai pembayar harga wanita.
3. Menunjukkan kesungguhan, karena nikah dan
berumah tangga bukanlah main-main dan perkara yang bisa dipermainkan.
4. Menunjukkan tanggung jawab
suami dalam kehidupan rumah tangga dengan memberikan nafkah, karenanya
laki-laki adalah pemimpin atas wanita dalam kehidupan rumah tangganya. Dan
untuk mendapatkan hak itu, wajar bila suami harus mengeluarkan hartanya
sehingga ia harus lebih bertanggung jawab dan tidak sewenang-wenang terhadap
isterinya.[30]
DAFTAR PUSTAKA
Al-Amin, Yusuf Hamid. 1994. Maqashid Al-A’mmah
Al-Syari’ah Al-Islami. Beirut
: Dar al-Kutub al-Alamiyah.
Al-Baihaqi, Ahmad Ibn Al-Hassan Ibn Ali. tt. Sunan
Al-Kubra Juz 3. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Bukhari, Hafidz Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismal. 1998.
Shahih Bukhari. Riyadh: Baitul
Afkar Addauliyah.
Al-Fauzan, Saleh. 2005. Fiqih Sehari-Hari.
Jakarta: Gema Insani Press.
Al-Hamdani, H.S.A. 1989. Risalah Nikah Hukum
Perkawinan Islam. Jakarta: Pustaka
Amani.
Al-Hussaini, Taqiyuddin Abu Bakar Ibn Muhammad. tt. Kifayah
Al- Akhyar Juz 2. Beirut:
Dar Al-Kutub al-Ilmiah.
Ali, Atabik dan Zuhdi Muhdlor. tt. Kamus Kontemporer
Arab Indonesia. Yogyakarta: Multi
Karya Grafika.
Al-Jaziri, Abdurrahman. 1990. Fiqh Ala al-Madazhib
al-Arba’ah Juz IV. Beirut: Dar Al-
kitab Al-Ilmiyah.
An Nawawi, Muhammad bin Umar. 2002. Menggapai
Keharmonisan Suami Istri: Judul Asli
Syarhu Uqud Al Lujjain fii bayani Huquq Az Zaujaini. Surabaya: Ampel Mulia.
Az-Zuhaili, Wahbah dan Abdul Hayyie al-Kattani, dkk
(penerjemah). 2011. Fiqh Islam Wa
Adillatuhu. Jakarta: Gema Insani.
Direktori Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam
Departemen Agama R.I. 2001. Kompilasi
Hukum Di Indonesia. Jakarta: Depag.
Ghazaly, Abdurrahman. 2003. Fiqih Munakahat: Seri Buku
Daras. Jakarta: Prenada
Media.
Hamka. 1999. Tafsir al-Azhar Juz IV. Jakarta: PT
Pustaka Panji Mas.
Ibnu Katsir. http://www.ibnukatsironline.com/2015/05/tafsir-surat-nisa-ayat-19- 22.html. Diakses pada 12 Oktober 2018.
Ibnu Katsir. http://www.ibnukatsironline.com/2015/05/tafsir-surat-nisa-ayat-2- 4.html. Diakses pada 12 Oktober
2018.
Kaharuddin. 2015. Nilai-Nilai Filosofi Perkawinan.
Jakarta: MitraWacana Media.
Shomad, Abdul Wahid. 2009. Fiqh Seksualitas.
Malang : Insan Madani.
Syarifuddin, Amir. 2009. Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia: Antara Fiqih Munahakat dan
Undang-undang Perkawinan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Syarifuddin, Arif. Hukum Perkawinan di Indonesia:
Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang
Perkawinan. tb. tt.
Tihami, M. Ahmad
dan Sohari Sahrani. 2009. Fiqih Munakahat: Kajian Fiqih Nikah Lengkap. Jakarta: Rajawali
Press.
Zuhaili, Wahbah. 2010. Fiqih Imam Syafi’I Jilid II.
Jakarta.
Zuhaily, Muhammad dan Mohammad Kholison (Penerjemah).
2013. Fiqih Munakahat Kajian Fiqih
Pernikahan dalam Perspektif Madzhab Syafi'I. Surabaya: CV. Imtiyaz.
[14] Lihat
tafisr Ibnu Katsir dalam http://www.ibnukatsironline.com/2015/05/tafsir-surat-nisa-ayat-2-4.html,
yang dikases pada 12 Oktober 2018. Sebab pemberian dari harta istri kepada
suami yang sedang sakit, merupakan obat. Sebagaimana atsar sahabat berikut:
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad
ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari
Sufyan, dari As-Saddi, dari Ya'qub ibnul Mugirah ibnu Syu'bah, dari Ali yang
mengatakan, "Apabila seseorang di antara kalian sakit, hendaklah ia
meminta uang sebanyak tiga dirham kepada istrinya atau yang senilai dengan itu,
lalu uang itu hendaklah ia belikan madu. Sesudah itu hendaklah ia mengambil air
hujan, lalu dicampurkan sebagai minuman yang sedap lagi baik akibatnya, sebagai
obat yang diberkati."
[21] HR. Muslim (no. 1405) kitab an-Nikaah; Abu Dawud (no. 2110)
kitab an-Nikaah dan ini redaksi darinya, Ahmad (no. 14410).
0 komentar: