
Imam an-Nasa’i adalah salah
seorang ulama hadis terkemuka. Menurut Imam adz-Dzahabi dalam At Tadzkirah,
nama lengkap Imam an-Nasa’i adalah Abu Abdurrahman Ahmad bin Ali bin Syuaib bin
Ali bin Sinan bin Bahar al-Khurasani al-Qadhi. Nama an-Nasa’i dinisbatkan pada
tempat kelahirannya di daerah Nasa’, Khurasan (Iran sekarang, pen.) pada tahun
214 H atau 215 H menurut sebagian riwayat (Abu Syuhbah, Kutubussittah, hlm.
91).
Menurut Imam adz-Dzahabi pula,
Imam an-Nasa’i berwajah tampan meski ketika sudah memasuki usia senja. Wajahnya
selalu segar dan berseri-seri. Ia sering mengenakan baju tebal. Ia banyak
bersenang-senang. Ia memiliki empat istri. Ia pun tidak pernah tidak memiliki
budak perempuan. Ia banyak makan daging ayam. Ayam-ayam itu ia beli dan ia
pelihara sendiri (Adz-Dzahabi, Siyar A’lâm an-Nubalâ’, 11/80).
Dalam Kitab Al-Bâ’its al-Hasîs
disebutkan, Imam an-Nasa’i sejak dini menghapalkan al-Quran dan mempelajari
ilmu-ilmu dasar Islam dari guru-guru madrasah di negerinya. Sebelum berusia 15
tahun ia sudah mulai mengembara untuk belajar hadis ke berbagai negeri Muslim.
Wajar jika kemudian ia pada
akhirnya menjadi ulama terkemuka, khususnya di bidang hadis. Selain ahli hadis,
Imam an-Nasa’i juga seorang ulama ahli fikih. Ibnu Asir al-Jazairi menerangkan
dalam mukadimah Jâmi’ al-Ushûl bahwa Imam an-Nasa’i bermazhab Syafii. Ia
seorang yang wara’ sekaligus hati-hati dan sangat teliti (Adz-Dzahabi, 11/81).
Imam an-Nasa’i adalah lautan
ilmu. Ia amat paham agama. Hapalannya
sangat kuat. Ia pun sangat kritis
sekaligus penulis kitab yang baik. Ia banyak berkeliling mencari ilmu di Khurasan,
Hijaz, Mesir, Irak, Jazirah Arab, Syam dan banyak negeri lain. Ia kemudian
tinggal di Mesir. Banyak para penghapal hadis yang berguru kepadanya. Tidak ada
seorang pun yang bisa menandingi kedudukannya yang tinggi pada masanya
(Adz-Dzahabi, 11/80).
Banyak pujian para ulama kepada
Imam an-Nasa’i. Tentang Imam an-Nasa’i, Al-Hakim, misalnya, berkata, “Kata-kata
an-Nasa’i menunjukkan kecakapannya dalam berbahasa. Siapapun yang menelaah
Sunan-nya, pasti akan merasa takjub atas keindahan kata-katanya.”
Imam ad-Daruquthni juga memuji
Imam an-Nasa’i, “Abu Abdurrahman (An-Nasa’i) adalah ulama terkemuka pada
zamannya.” (Adz-Dzahabi, 11/82).
Tentang betapa istimewanya Imam
an-Nasa’i, menurut Imam ad-Daruquthni pula, Abu Bakar bin al-Haddad
asy-Syafii—yang banyak mengeluarkan hadis dari Imam an-Nasa’i—pernah berkata,
“Saya rela Imam an-Nasa’i menjadi hujjah antara diri saya dan Allah subhanahu
wa ta'ala.” (Adz-Dzahabi, 11/82).
Menurut Saad bin Ali az-Zinjami,
Imam an-Nasa’i termasuk sangat ketat dalam menentukan syarat-syarat rijâl
hadis, bahkan lebih ketat dari Imam al-Bukhari dan Muslim (Adz-Dzahabi, 11/82).
Kebesaran Imam an-Nasa’i sebagai
ulama tercermin melalui karya-karya besarnya antara lain: As-Sunan al-Kubrâ,
As-Sunan ash-Shughrâ (Al-Mujtabâ), Al-Khashâ’ish, Fadhâ’il ash-Shahabah,
Al-Manâsik, dll (Abu Syuhbah, Kutubussittah, hlm. 94).
Terkait salah satu karya
besarnya, Sunan an-Nasâ’i, sebagian ulama ada yang condong berpendapat bahwa
kitab ini lebih kuat dan lebih sahih ketimbang Sunan Abu Dâwud. Di antara yang
berpendapat demikian adalah Imam Abu Ali Naisuburi, Abu Ahmad bin ‘Adi,
ad-Daruqthni, Ibnu Mandah dan Abdul Ghani bin Said.
Karena itu sebagian ulama ada
yang mengkategorikan Sunan an-Nasâ’i sebagai kitab sahih. Artinya, keseluruhan
hadis yang terkandung di dalamnya adalah hadis sahih. Di antara para ulama
tersebut adalah: Al-Khatib as-Silafi, Imam Hakim (sebagaimana yang disinyalir
oleh Ibnu Hajar). Bahkan Ibnu Mandah mengatakan, “Yang memuat hadis-hadis sahih
dalam kitabnya ada empat: Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud dan Imam
an-Nasa’i.”
Lalu terkait salah satu karyanya,
Al-Khashâ’ish (yang berbicara tentang keistimewaan Imam Ali ra.), penulisannya
dilatarbelakangi oleh satu peristiwa yang tidak mengenakkan hatinya. Sebagaimana
penuturan Muhammad bin Musa al-Ma’muni, sahabat an-Nasa’i: Aku mendengar
sekelompok orang yang menentang an-Nasa’i seputar kitab Al-Khashâ’ish. Menurut
mereka, mengapa an-Nasa’i tidak menulis keutamaan Abu Bakar ra. dan Umar ra.?
Kemudian aku menceritakan hal ini kepada an-Nasa’i. Ia lalu berkata, “Saat Aku
masuk ke Kota Damaskus (Suriah), di sana banyak orang yang memusuhi Imam Ali
ra. Karena itu aku pun menulis kitab Al-Khashâ’ish. Aku berharap, dengan kitab
tersebut, Allah subhanahu wa ta'ala memberikan hidayah kepada mereka.” Tidak
lama setelah itu, an-Nasa’i menulis kitab tentang keutamaan para Sahabat Nabi ﷺ. (Adz-Dzahabi, 11/81).
Sebagaimana kebanyakan ulama
salaf, Imam an-Nasa’i adalah seorang ulama yang ahli ibadah. Muhammad bin
al-Muzhaffar al-Hafizh berkata, bahwa guru-gurunya di Mesir melukiskan betapa
sungguh-sungguhnya Imam an-Nasa’i dalam beribadah kepada Allah, baik siang atau
malam hari.” (Adz-Dzahabi, 11/82).
Imam an-Nasa’i juga mengikuti
jejak Abu Dawud, sehari berpuasa sehari tidak (Abu Syuhbah, Kutubussittah,
hlm.91). Selain ahli ibadah, Imam an-Nasa’i juga gemar berjihad (berperang) di
jalan Allah subhanahu wa ta'ala.
Tentang akhir hayat Imam
an-Nasa’i, Imam ad-Duruquthni berkata, “Suatu ketika Imam an-Nasa’i pergi untuk
menunaikan ibadah haji. Namun, ia mengalami musibah di Damaskus hingga hampir
syahid. Ia lalu berkata kepada orang-orang, “Bawalah aku ke Makkah.” Lalu ia
pun dibawa ke Makkah dan ia wafat di sana. Jenazahnya dikuburkan di sebuah
tempat yang terletak antara Shafa dan Marwah. Ia wafat pada bulan Sya’ban pada
Tahun 303 H. Ia adalah ulama paling faqih di Mesir pada zamannya dan paling
memahami hadis dan para rijâl-nya (Adz-Dzahabi, 11/82).
Namun demikian, menurut Said bin
Yunus dalam Târîkh-nya, Imam an-Nasa’i keluar dari Mesir bulan Dzul Qa’dah
tahun 302, lalu ia wafat di Palestina (Adz-Dzahabi, 11/83).
Begitulah biografi singkat Imam
an-Nasa’i, seorang ulama hadis terkemuka. Semoga keteladanannya—baik dalam hal
kesungguhannya mencari ilmu, semangatnya dalam menjaga hadis, ketekunannya
dalam ibadah, ke-wara’-an dalam berperilaku dan ketakwaannya di setiap tempay
dan waktu—bisa kita teladani.
Wa mâ tawfîqî illâ bilLâh.
0 komentar: