HADITS MARFU’ DAN MAQTHU’
وَمَا أُضِيْفَ لِلنَّبِي الْمَرْفُـوْعُ… وَمَا لَتَابِـعٍ هُوَ الْمَقْطُوْعُ
Dan yang disandarkan kepada Nabi adalah marfu’
Dan yang disandarkan kepada tabi’in adalah maqthu’.
Pada bait ini penulis menjelaskan dua istilah hadits yang hanya terkait dengan matn; ia adalah marfu’ dan maqthu’. Khabar, dari sisi kepada siapa ia disandarkan memiliki beberapa kondisi:
1. Disandarkan kepada Nabi. Inilah yang disebut marfu’.
2. Disandarkan kepada Shahabat. Inilah yang disebut mauquf (sebagaimana akan datang dalam nadzm ini).
3. Disandarkan kepada tabi’in dan yang setelahnya. Inilah yang disebut maqthu’.
Jadi hadits marfu' adalah apa yang disandarkan kepada Nabi shalallahu alaihi wa sallam baik berupa ucapan, perbuatan atau persetujuan dimana beliau diam ketika ada diantara shahabatnya melakukan sebuah perbuatan.
Hadits maqthu' adalah sesuatu berupa perbuatan atau ucapan yang disandarkan kepada tabi'in atau orang orang sesudah mereka.
Contoh hadits maqthu: Hasan Al Bashri rahimahullah berkata (tentang shalat dibelakang ahlul bid'ah): "Shalatlah dibelakang mereka, adapun bid'ahnya untuk mereka. "
(Diriwayatkan oleh Al Bukhari).
Istilah-istilah ini hanya berkaitan dengan soal penisbatan matnnya, terlepas dari kondisi sanadnya yang muttashil (bersambung) atau tidak. Maka hardis marfu’ bisa saja ia mursal, munqathi, mu’allaq dll, atau ia shahih, hasan atau dhaif.
Hadits marfu’ terbagi dua: (1) marfu’ sharih; marfu’ yang jelas, seperti “Nabi bersabda”, atau “Nabi melakukan ini” (2) marfu’ hukmi; marfu’ yang tidak secara terang menunjukkan dari Nabi, karena lafadznya dinisbatkan kepada sahabat.
*******
Al-Manzhumah al-Baiquniyyah Bait ke-8
HADITS MUSNAD
وَالْمُسْنَدُ الْمُتَّصِـلُ الْإِسْنَادِ مِنْ … رَاوِيْهِ حَتَّى الْمُصْطَفَى وَلَمْ يَبِنْ
Dan musnad adalah yang muttashil (bersambung) sanadnya dari
Perawinya hingga sampai ke Mushthafa (Nabi) dan tidak terputus
Pada bait ini, penulis menjelaskan istilah musnad. Ia adalah hadits yang sanadnya bersambung (muttashil) dan sampai kepada nabi (marfu’). Ini adalah pendapat yang dipilih oleh penulis sesuai dengan pendapat al-Hakim an-Naisaburi.
Ada tiga pendapat untuk istilah musnad. Pertama, pendapat al-Hakim, sebagaimana dalam nadzm al-Baiquny. Kedua, pendapat al-Khathib, musnad adalah yang sanadnya bersambung sampai ke matan. Pendapat ini mengandaikan bahwa musnad sama dengan muttashil. Ketiga, pendapat Ibnu abdil Barr, musnad adalah yang sampai kepada Nabi, baik sanadnya muttashil atau munqathi’. Pendapat ini mengandaikan bahwa musnad sama dengan marfu’.
Adapun Dr. Mahmud Thahaan mendefinisikan musnad sebagai:
ما اتصل سنده مرفوعا إلى النبي صلى الله عليه وسلم
"Hadits Musnad adalah setiap hadits yang sanadnya bersambung pada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam secara marfu'
Jadi apabila diperhatikan maka musnad maka harus terkumpul minimal dua syarat :
1. Sanadnya bersambung dari awal sampai akhir
2. Ujung dari sanad adalah Nabi shalallahu alaihi wa sallam - maknanya disandarkan secara marfu'
Perlu menjadi perhatian, disini ada istilah musnad dalam makna lain, yakni sebuah kitab yang disusun berdasarkan urutan shahabat yang meriwayatkan hadits - dan setiap riwayat dari shahabat dikumpulkan dalam satu bab, contoh dalam masalah ini Musnad Imam Ahmad.
****
Al-Manzhumah al-Baiquniyyah Bait ke-9
HADITS MUTTASHIL
وَمَا بِسَمْعِ كُلِّ رَاوٍ يَتَّصِـلْ … إِسْنَادُهُ لِلْمُصْطَفَى فَالْمُتَّصِلْ
Dan Hadits yang dengan mendengarnya setiap rawi, bersambung
Sanadnya sampai ke al-Mushthafa (Nabi), maka ia disebut muttashil
Pada bait ini, al-Baiquny menjelaskan istilah muttashil; ia adalah hadits yang sanadnya bersambung sampai ke Nabi, karena setiap rawi mendengar langsung dari syaikhnya. Pada nazham al-Baiquniy disebutkan berakhirnya pada al-Musthafa yakni Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, sedangkan pada syarah syeikh Hasan Muhammad al-Masyath bisa Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam atau shahabat.
Inilah pula yang didefinisikan oleh Dr. Mahmud Thahaan dalam Taisir dengan berkata, “Hadits Muttashil adalah hadits yang bersambung sanadnya, baik secara marfu’ (Nabi yang mengatakannya) ataupun terhenti pada siapa saja (selain Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang mengatakannya).
(Taisiir Mushthalah Al Hadiits, hlm. 171).
Namun ada beberapa catatan: Pertama, dari sisi penggunaan sama’ (mendengar). Ketersambungan sanad tidak hanya disahkan oleh cara penerimaan hadits dengan sama’ saja, melainkan juga dengan cara penerimaan hadits yang lain (wujuh tahammul), seperti ard’ (membaca di depan syaikh), ijazah, dan yang lainnya yang terdapat dalam kitab-kitab musthalah. Kedua, dari sisi penggunaan kata mushthafa (Nabi). Hadits muttashil tidak disyaratkan matannya hanya sampai kepada Nabi saja (marfu’), melainkan juga yang sampai kepada sahabat (mauquf).
[MKH Khadimus Sunnah]
0 komentar: