Selasa, 15 Oktober 2019

HADITS DHA’IF, Al-Manzhumah al-Baiquniyyah Bait 6




HADITS DHA’IF

وَكُلُّ مَا عَنْ رُتْبَةِ الْحُسْنِ قَصُرْ … فَهْوَ الضَّعِيْفُ وَهْوَ أَقْسَامًا كَثُرْ
Dan setiap hadits yang derajatnya lebih rendah dari hadits hasan
Maka ia adalah dha’if, dan ia memiliki macam-macam yang banyak. 




Kemudian penulis masuk pada pembahasan hadits yang ketiga; yaitu hadits dhaif. Penulis mendefinisikan hadits dhaif sebagai; hadits yang derajatnya lebih rendah dari hadits hasan, yang tentu saja terlebih lagi dari hadits shahih. Maksudnya, hadits dhaif adalah hadits yang tidak terkumpul padanya sifat hadits hasan dan shahih dengan hilangnya satu atau lebih dari syarat-syaratnya. Hadits dhaif memiliki macam yang banyak, yang diantaranya akan disebutkan oleh penulis dalam nazhmnya ini.

Secara etimologi kata dhaif mempunyai makna kebalikan dari kuat (dhidd al-qawi). Sedangkan secara terminologi adalah hadits yang di dalamnya tidak terkumpul sifat-sifat hadits qabul [Muhammad bin Alwi al-Maliki, al-Manhal al-Lathif, hlm. 66] dengan tidak terpenuhinya salah satu syarat dari beberapa syarat hadits qabul. 






Dalam Alfiyahnya, Imam Suyuthi mengatakan,

هُوَ الَّذِي عَنْ صِفَةِ الحُسْنِ خَلا # وَهْوَ عَلَى مَرَاتِبٍ قَدْ جُعِلا
"Hadits dhaif adalah hadits yang sepi dari sifat hasan. Hadits dhaif terbagi menjadi beberapa tingkatan." 

Hadits dhaif juga disebut sebagai hadits mardud (tertolak), karena hadits tersebut tidak bisa dijadikan hujjah dalam penetapan hukum syariah.

Contohnya hadits yang mengatakan, bahwa Nabi SAW berwudlu dan mengusap kaos kaki-nya, (sebagai ganti mengusap kaki). Hadits ini dihukumi dhaif, karena diriwayatkan dari Abu Qais Al-audi yang kredibilitas figurnya dipermasalahkan oleh para ulama ahli hadits.

Hadits dhaif terbagi menjadi sangat banyak sekali. Para ulama berbeda pendapat dalam mengklasifikasikan hadits dhaif. Abu Hatim Ibnu Hibban mengklasifikasikan hadits dhaif menjadi 49 macam. [Muqaddimah Ibnu Shalah, hlm. 65] Sementara al-Hafizh al-Iraqi membaginya menjadi 42 macam [Al-Iraqi, Fath al-Mughits, hlm. 67; Muhammad bin Alwi al-Maliki, hlm. 66], dan sebagian ulama yang lain ada yang mengklasifikasikannya menjadi 81, 129 [Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi, hlm. 1/179.], bahkan hingga mencapai 381 macam. [Abu Syuhbah, al-Wasit, hlm. 276, dalam foot note Muqaddimah Ibnu Shalah, hlm. 65)]. Namun menurut Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki pembagian tersebut tidaklah memberikan faedah yang besar. Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa pembagian tersebut sangat melelahkan (bersusah payah) dan tidak ada kebutuhan di balik semua itu. Para ulama yang berbeda pendapat dalam mengklasifikasikan hadits dhaif tidak memberi nama tertentu bagi msing-masing klasifikasi itu kecuali hanya sedikit saja. Mereka juga tidak mengkhususkan nama tertentu dari hadits-hadits yang dhaif tersebut. 




Tentunya banyak alasan yang dapat diterima oleh umat dari para ulama ahli hadits itu sekalipun terjadi silang pendapat seperti itu, karena sifat hadits dhaif ini bertingkat-tingkat. Ada yang penyebab kedhaifannya itu dinilai ringan, misalnya salah satu perawi hadits itu salah dalam menyebut nama marga gurunya, atau terjadi keterbalikan nama semata, bukan terkait dalam masalah matan (isi) haditsnya. 

Meriwayatkan hadits dhaif tanpa bayan (penjelasan) diperbolehkan dengan 4 syarat: 
(1) tema hadits tersebut berkaitan dengan kisah, nasihat, fadha'il al-amal, atau yang semisalnya; 
(2) tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah dan akidah; 
(3)tidak terkait dengan halal-haram dan hukum-hukum syariah; 
(4) haditsnya bukan terkategori hadits palsu atau yang tingkat kedhaifannya parah. 




Para ulama berbeda pendapat mengenai status kehujjahan hadits dhaif;

1. Kelompok pertama
Mereka adalah kalangan yang secara mutlak menolak semua hadits dhaif. Bagi mereka hadits dhaif itu sama sekali tidak dapat dipakai untuk apapun saja. Baik masalah keutamaan (fadhilah), nasehat atau peringatan. Apalagi dalam masalah hukum dan aqidah, tidak ada tempat untuk hadits dhaif menurut mereka. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Sayyidin Nas dari Yahya bin Ma'in. Pendapat ini kemudian diikuti oleh Imam Abu Bakar bin al-Arabi. Pendapat ini juga yang dipakai oleh Imam Bukhari, Muslim dan Ibnu Hazm. [Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, hlm. 231]

2. Kelompok kedua
Mereka adalah kalangan yang menerima hadits dhaif dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut ada enam. Empat di antaranya telah disepakati oleh para ulama. Syarat kelima sebagai penjelas dan oleh sebagian ulama ditinggalkan. Sedangkan syarat keenam diperselisihkan, menurut pendapat yang arjah tidak termasuk dalam syarat-syarat tersebut. Syarat-syarat tersebut adalah:
a. Hadits dhaif tersebut hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran amal tambahan (fadlailul a'mal). Bukan dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan masalah hukum.
b. Hadits itu tidak terlalu parah kedhaifannya. Sedangkan hadits dhaif yang perawinya sampai ke tingkat pendusta atau tertuduh sebagai pendusta atau parah kerancuan hafalannya maka hadits dhaif semacam itu tidak diterima.
c. Hadits dhaif tersebut berada di bawah kaidah dasar umum yang diamalkan.
d. Ketika mengamalkan jangan disertai keyakinan tsubutnya (tetapnya) hadits itu, melainkan hanya sekedar hati-hati.
e. Tidak bertentangan dengan hadits shahih.
f. Tidak meyakini kesunahannya.

3. Kelompok ketiga
Mereka adalah kalangan yang mau menerima hadits dhaif secara bulat, asal bukan hadits palsu (maudlu’). Pendapat ini dinisbatkan kepada Imam Abu Dawud dan Imam Ahmad RA Karena bagi kalangan ini selemah-lemahnya hadits, tetap saja lebih tinggi derajatnya dari pendapat manusia. 

Menurut kami, pendapat yang paling tepat adalah pendapat yang kedua sebagaimana yang telah disepakati oleh mayoritas ulama. Kelompok pertama yang mengatakan bahwa hadits dhaif tidak bisa diamalkan secara muthlak, maksudnya adalah hadits dhaif yang amat sangat lemah sehingga gugur dari derajat ihtijaj dan I'tibar. Sedangkan yang dimaksud hadits dhaif yang bisa diamalkan oleh kelompok ketiga adalah hadits-hadits yang jalurnya banyak dan para perawinya tidak ada yang tertuduh sebagai pembohong dan syadz, atau yang oleh Imam Tirmidzi disebut sebagai hadits hasan. Karena menurut kelompok ini (Imam Ahmad) hadits dhaif terbagai menjadi dua; dhaif yang matruk (ditinggalkan) dan dhaif yang hasan. Dan hadits-hadits ini (hasan menurut istilahnya Imam Tirmidzi) oleh Imam Ahmad dikatakan sebagai dhaif dan bisa dijadikkan sebagai hujjah. [Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawi, 1/76.] 

Hadits dhaif yang tidak disebutkan sanad (silsilah perawi)-nya, maka tidak boleh dikatakan: Nabi SAW bersabda, tapi seharusnya dikatakan: Diriwayatkan dari Nabi SAW, bahwa demikian dan demikian. Atau boleh juga menggunakan istilah-istilah yang semacamnya, yang tidak memberi konotasi kepastian datangnya dari Nabi SAW.

Kedhaifan suatu hadits kembali kepada dua sebab utama:
1. Keterjatuhan dalam sanad. Hadits dhaif yang disebabkan hal ini adalah: mursal, munqathi, mu’dhal dan mu’allaq, serta mudallas dan mursal khafi.
2. Kecacatan dalam perawi. Hadits dhaif yang disebabkan hal ini diantaranya adalah: mu’allal, mudhtharib, munkar, syadz, mudraj, maqlub, matruk, dll.

Wallahu a’lam. [MKH Bandung]

Kitab: al-Taqriiraat al-Saniyyah (Syarh al-Manzhumah al-Baiquniyyah)
Penyusun: Syeikh Hasan Muhammad al-Masyaath
Kitab Tambahan: Taysir Musthalah al-Hadiits

Sumber:

Previous Post
Next Post

Man 'Arofa Nafsihi 'Arofa Robbuhu | #IslamSelamatkanNegeri

0 komentar: