Oleh: Rendra Fahrurrozie; Indah dan Naza
STIT Sirojul Falah BOGOR

Latar Belakang
Islam adalah agama fitrah, dan kehidupan manusia
sejatinya haruslah berjalan di dalam fitrahnya. Sehingga, pola-pola kehidupan
manusia dalam suasana kebaikan dan penuh kesesuaian. Islam agama fitrah
terlihat dari fokusnya agama ini dalam mengatur manusia terhadap dirinya
sendiri, manusia terhadap Allah SWT, yang paling penting dan paling sering
dihadapi manusia adalah Islam mengatur antar sesama manusia, seperti dalam hal muamalah
(masalah politik, sosial, ekonomi/jual beli/keuangan, militer, keamanan,
beroganisasi/partai, dan keluarga) dan uqubat (sanksi pidana).
Dalam hal muamalah tersebut, terdapat
sebuah konsep pernikahan Islam (munakahat) yang diatur dengan adil dan
berjalan dalam kebijaksanaan oleh yang disebut syariah. Syariah
(aturan Islam) bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah yang berasal keduanya
dari Zat yang Maha Adil dan Bijaksana, Allah SWT. Allah SWT menurunkan wahyuNya
kepada Rasulullah ﷺ yang salah satunya
mengenai masalah keluarga, demikian pula dengan Rasulullah ﷺ yang memberikan contoh (uswah) terbaik dalam membangun
keluarga yang sakinah, mawadah wa rahmah. Sehingga yang diharapkan dari
pernikahan tersebut adalah terbentuklah keluarga-keluarga yang membentuk suatu
tatanan masyarakat di dalam negara dengan melahirkan generasi khoir al ummah
(generasi umat terbaik). Betapa pentingnya peranan keluarga ini dalam
mengubah arah dan kemajuan peradaban suatu negeri.
Karenanya, konsep keluarga dalam Islam menjadi
sangat penting pembahasannya dan kajiannya. Berfikir tentang konsep kehidupan
keluarga yang Islami merupakan keharusan bagi setiap muslim. Sebab, Al Qur’an
memberikan kabar bahwa keluargalah tempat yang tentram, kasih dan sayang bagi
manusia.[1] Jika
tidak di dalam keluarga, dimana lagi tempat seorang ayah untuk melepas penat
bekerja dan aktifitas ibadahnya, seorang ibu yang menyalurkan naluri
keibuannya, anak yang butuh kasih sayang kedua orang tuanya jika tidak di dalam
keluarga. Serta, di dalam keluargalah rezeki yang baik dan berkah dari Allah
SWT diberikan.[2]
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا ٦
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS.
At Tahrim: 6)
Dari
ayat ini peran konsep keluarga Islam menjadi sangat penting dibahas, sebab kita
wajib memelihara diri dan keluarga, yaitu istri, anak-anak dan siapa saja yang
disebut keluarga agar tidak masuk neraka. Abdullah bin Abbas r.a memberikan
penafsiran pada ayat tersebut sebagai berikut: “Kamu semua hendaknya
mengajar keluargamu dalam urusan-urusan syariat Allah dan didiklah mereka
dengan akhlak yang sempurna.”[3]
Dalam
makalah ini akan dibahas secara singkat menegenai konsep keluarga dalam Islam
yang menarik untuk kita ketahui.
A.
Pengertian Konsep Keluarga dalam Islam
Sebelum
lebih jauh mengetahui pengertian konsep keluarga dalam Islam,
hal yang pertama yang perlu dipahami mengenai pengertian konsep itu sendiri.
Konsep berasal dari bahasa latin conceptum, artinya sesuatu yang
dipahami.[4]
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konsep adalah rancangan.[5]
Demikian secara bahasa (etimologis), adapun secara pengertian istilahnya
(terminologi) konsep menurut Woodruff dapat dibagi menjadi 3 yaitu:[6]
1.
Konsep dapat didefinisikan sebagai
suatu gagasan/ ide yang relatif sempurna dan bermakna.
2.
Konsep merupakan pengertian
tentang suatu objek.
3.
Konsep adalah produk subjektif
yang bersumber dari cara seseorang membuat pengertian terhadap objek-objek atau
benda-benda melalui pengalamannya (setelah melakukan persepsi terhadap objek/
benda).
Sehingga di dalam
konsep terdapat suatu cara untuk merancang dari suatu gagasan/ide/teori menjadi
rumusan untuk diartikan dan digunakan sehari-hari oleh manusia. Sehingga pada
awalnya perlu diketahui metode untuk merancang konsep keluarga dalam Islam
tersebut.
Adapun
untuk pengertian keluarga, dalam hal ini yang asal katanya berasal dari Islam
maka rujukannya adalah Al Qur’an, sebab jika menginginkan konsep Islam mengenai
keluarga harus dimulai bagaimana Al Qur’an mendudukannya.
Dalam Al Qur’an
kata “keluarga” disebutkan Allah SWT dengan lafadz; أهل – قربى – عشيرة (ahlun – qurbaa – ‘asyirah).[7]
a. Ahlu al Rajul: adalah keluarga yang senasab seketurunan, mereka
berkumpul dalam satu tempat tinggal. ‘Ahli’ tersebut adalah istri dan anak-anak serta yang dikaitkan dengan keduanya. Ditunjukkan Q.S At Tahrim: 6.
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا... ٦
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka...”
Serupa dengan ini adalah ahlu
bait, yang artinya keluarga dalam pertalian darah dan pernikahan.
b. Ahlu al Islam: adalah keluarga yang seagama. Keluarga yang
dimaksud ialah istrinya yang beriman dan anak-anaknya yang beriman, sementara
istri/anak yang kafir tidak termasuk keluarga. Hal ditunjukan dengan Q.S Hud:
40 dan 46, yang mengisahkan tenang Nabi Nuh a.s yang akan memasukkan
keluarganya keatas kapal pada saat banjir dahsyat. Allah SWT berfirman:
حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءَ
أَمۡرُنَا وَفَارَ ٱلتَّنُّورُ قُلۡنَا ٱحۡمِلۡ فِيهَا مِن كُلّٖ زَوۡجَيۡنِ ٱثۡنَيۡنِ
وَأَهۡلَكَ إِلَّا مَن سَبَقَ عَلَيۡهِ ٱلۡقَوۡلُ وَمَنۡ ءَامَنَۚ وَمَآ
ءَامَنَ مَعَهُۥٓ إِلَّا قَلِيلٞ ٤٠
“Hingga
apabila perintah Kami datang dan dapur telah memancarkan air, Kami berfirman:
"Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang
(jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu
ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman". Dan
tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit.”
2. قربى/qurbaa: Shawi[9]
(juz 1, hal : 65) menyebutkan bahwa qurbaa adalah keluarga yang ada hubungan
kekerabatan, baik yang termasuk ahli waris maupun yang tidak termasuk, yang
tidak mendapat warits, tapi termasuk keluarga kekerabatan seperti pada ayat, an-Nisa:
7,
لِّلرِّجَالِ نَصِيبٞ
مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ
مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنۡهُ أَوۡ
كَثُرَۚ نَصِيبٗا مَّفۡرُوضٗا ٧
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula)
dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan.
Dan keluarga kerabat yang bersifat umum, yang ada hubungan kerabat dengan
ibu dan bapak, seperti pada ayat al-Nisa: 36.
۞ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗا وَبِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ
وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡجَارِ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡجَارِ ٱلۡجُنُبِ
وَٱلصَّاحِبِ بِٱلۡجَنۢبِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۗ إِنَّ
ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخۡتَالٗا فَخُورًا ٣٦
“Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang
jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.
3. عشيرة/’asyiroh:
Al-Raghib (hal: 375) menyebutkan,
‘Asyirah adalah keluarga seketurunan yang berjumlah banyak, hal itu
berasal dari kata dan kata itu menunjukan pada bilangan yang banyak, seperti
pada ayat:
وَأَزۡوَٰجُكُمۡ
وَعَشِيرَتُكُمۡ وَأَمۡوَٰلٌ ٱقۡتَرَفۡتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٞ تَخۡشَوۡنَ كَسَادَهَا
٢٤
24. ... isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan
yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, ...”
Pengertian
menurut istilah
(terminologi) dalam
Islam, keluarga adalah satu kesatuan hubungan antara laki-laki dan perempuan
melalui akad nikah menurut ajaran Islam. Dengan adanya ikatan akad pernikahan
tersebut dimaksudkan anak dan keturunan yang dihasilkan menjadi sah secara hukum
agama.[10] Dari
pengertian ini, pernikahan adalah langkah awal dalam membangun keluarga,
sehingga berketurunan dan terjalinnya pertalian antara 2 keluarga besar.
Keluarga kemudian menjalankan organisasi rumah tangganya dengan tujuan,
prinsip, metode, dan fungsi yang berlandaskan Islam. Inilah yang kemudian
menjadi konsep keluarga dalam Islam yang akan dibahas.
Jadi, jika kita telaah dari pengertian
konsep dan keluarga tersebut dan dikaitkan dalam Islam, maka pengertian konsep
keluarga dalam Islam menurut kami adalah suatu rancangan ide yang dirumuskan
untuk suatu keluarga yang terikat dalam hubungan pernikahan baik dari segi
metodenya, tujuannya, prinsip, dan fungsinya dari keluarga tersebut berdasarkan
ajaran Islam.
B.
Konsep Keluarga
Dalam Islam
Islam
menekankan pentingnya pernikahan dan keluarga, serta mejadikannya sebagai amal
ibadah dan sunnah para Nabi.[11]
Al Qur’an menyebutnya sebagai anugerah terbesar dan salah satu tanda kekuasaan
Allah SWT. Sebab, di dalam keluarga tersemai rasa tentram, cinta, kasih sayang dan
kelembutan antara suami dan istri.[12]
Sehingga Islam menganjurkan untuk mempermudah proses pernikahan dan membantu
seorang pemuda untuk menikah agar dapat terhindarkan dirinya dari maksiat.[13]
Islam
memberikan kehormatan penuh pada setiap anggota keluarga, baik laki-laki maupun
perempuan. Tanggung jawab besar pada ayah dan pada Ibu untuk mendidik
anak-anaknya. Sedangkan pada anak untuk memelihara dan menaati keduanya sampai
tutup usia dan berbuat baik pada keduanya dan ini merupakan ibadah.[14]
Dalam hal nafkah sekalipun Islam menganjurkan agar para orang tua tidak
membedakan antara anak laki-laki dan perempuan untuk menjaga hak-haknya
meskipun bersifat lahiriyah. Demikian pula dengan shilaturahim kepada
kerabat, baik saudara dari ibunya maupun dari ayahnya. Atau mengunjungi saudara
laki-laki dan perempuan yang menjadikan shilaturahim tersebut sebagai
bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Dan terhadap yang memutuskan shilaturahim berarti
telah melakukan dosa yang besar.[15]
Tujuan Keluarga
dalam Islam
Apabila dilihat dari kaca mata
Islam, terbentuknya keluarga bermula dari terciptanya jalinan antara pria dan wanita
melalui pernikahan yang syar’i, memenuhi rukun dan syarat-syarat yang
sah, yang bertujuan untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan dan
membina keluarga yang harmonis, sejahtera serta bahagia di dunia dan akhirat (sakinah,
mawadah, wa rahamah).
Imam Ghazali dalam Ihya’-nya
mengembangkan tujuan dari pembentukan keluarga menjadi lima yaitu:[16]
a) Mendapatkan
dan melangsungkan keturunan. (Q.S Al Furqan: 74)
b) Memenuhi
hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya. (Q.S Ali
Imran: 14).
c) Memenuhi
panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan. (Q.S Ar Rum: 21).
d) Menumbuhkan
kesungguhan untuk bertanggung-jawab menjalankan kewajiban dan menerima hak,
juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang kekal. (Q.S An
Nisa’: 34).
e) Membangun
rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram atas dasar cinta dan
kasih sayang. (Q.S Al A’raf: 189).
Inilah 5 tujuan berdasarkan Al
Qur’an yang digali oleh ulama untuk mencapai keluarga yang sakinah, mawadah,
wa rahmah. Dalam mencapai tujuan tersebut, tentunya memerlukan
prinsip-prinsip[17] yang perlu dilakukan oleh
setiap muslim.
Prinsip Keluarga
dalam Islam
Dalam membangun konsep keluarga
dalam Islam, yang paling utama dan menjadi pondasi/mendasar adalah bahwa
keluarga muslim dibangun berdasarkan prinsip tauhid.[18] Artinya, setiap
aktifitas pra nikah, berkeluarga, dan berketurunan semuanya karena mentauhidkan
Allah SWT. Dengan tunduk dan patuh terhadap batasan syariahNya. Sehingga
tujuan keluarga yang sakinah, mawadah, wa rahmah terwujud.
Jadi, prinsip yang menjadi juga pegangan
dalam berkeluarga adalah melaksanakan syariah Islam dalam rumah
tangganya. Mulai dari memilih pasangan, meminang, akad nikah, mencari nafkah,
mengurus rumah tangga, bergaul dalam keluarga, berpakaian, makanan-minuman,
ibadah, pengasuhan anak, bahkan sampai hal yang sifatnya bathiniyah (akhlak,
dan fiqh jima’) semua dalam batasan syariah.
Dan juga dalam menempatkan hubungan
suami-istri harus tepat, yakni hubungan pertemanan bukan antara atasan dan
bawahan, majikan dengan budak atau pekerjaan. Demikianpun terhadap anak, oarang
tua menjalankan prinsip-prinsip batasan syariah dalam hadhanah. Tidak
melampaui batas syariah, dalam pengasuhan, baik perkara ibadah, pendidikan
maupun contoh/teladan. Inilah prinsip keluarga dalam Islam dari literatur dan
pengalaman yang kami alami.
Fungsi Keluarga
dalam Islam
Keluarga dituntut untuk melaksanakan
segala hal yang menjadi kewajibannya, terutama dengan lingkungan sosialnya terutama
terhadap keluarganya. Aktivitas ini menjadikan keluarga itu telah menjalankan
fungsinya. dalam kehidupan sosial bermasyarakat, adalah:[19]
1. Fungsi
biologis, yaitu menyelenggarakan kebutuhan-kebutuhan biologis
keluarga.
keluarga.
Fungsi ini terkait dengan penyaluran hasrat
biologis manusia yang berbuah dengan kelahiran anak sebagai penerus keluarga.
Fungsi ini membedakan antara pernikahan manusia dan hewan, sebab fungsi ini di
dalam keluarga diatur dalam pernikahan. ( Q.S An Nahl: 72).
2. Fungsi
edukatif (pendidikan).
Dalam fungsi ini keluarga berkewajiban
memberikan pendidikan bagi anggota
keluarganya, terutama bagi anak-anaknya, karena keluarga adalah lingkungan terdekat dan
paling akrab dengan anak. Pengalaman dan pengetahuan pertama anak
ditimba dan diberikan melalui keluarga. Orang tua memiliki peran yang cukup
penting untuk membawa anak menuju
kedewasaan jasmani
dan rohani yang bertujuan mengembangkan
aspek mental spiritual, moral,
intelektual, dan profesional. (Q.S. At Tahrim: 6; Q.S Asy Syuara: 214).
3. Fungsi
religius (keagamaan).
Keluarga berkewajiban mengajarkan
tentang Islam (Akidah, Syariah dan Akhlak) kepada seluruh anggota keluarganya melalui
pemahaman, penyadaran dan praktek dalam kehidupan seharihari, sehingga tercipta
suasana keagamaan di dalam keluarga. (Q.S Thoha: 132)
4. Fungsi
protektif (perlindungan).
Keluarga menjadi tempat yang aman dari
berbagai gangguan internal maupun
eksternal serta menjadi penangkal segala penggaruh negatif yang masuk didalamnya. (Q.S. At
Tahrim: 6).
5. Fungsi
sosial budaya.
Kewajiban untuk memberi bekal kepada
anggota keluarga tentang hal hal yang berhubungan dengan
nilai-nilai yang berlaku di masyarakat setempat. Keluarga dalam fungsi
ini juga berperan sebagai katalisator budaya serta filter nilai yang masuk ke
dalam kehidupan. (Q.S An Nisa: 36).
6. Fungsi
ekonomi.
Keluarga merupakan kesatuan ekonomis
dimana keluarga memiliki aktifitas
mencari nafkah, pembinaan usaha, perencanaan anggaran, pengelolaan dan cara memanfaatkan
sumber-sumber penghasilan dengan baik, mendistribusikan secara adil dan
profesional, serta dapat mempertangggung jawabkan kekayaan dan
harta bendanya secara sosial maupun moral. (Q.S Al
Furqan: 67)
7. Fungsi
status keluarga atau menunjukkan status.
Dengan adanya keluarga maka kedudukan seseorang
dalam suatu keluarga menjadi jelas. (Q.S An Nisa: 34).
8. Fungsi
reproduksi.
Keluarga merupakan salah satu tempat untuk memunculkan
generasi baru. (Q.S An Nahl: 72)
9. Fungsi
rekreatif.
Keluarga merupakan tempat yang dapat
memberikan kesejukan dan
melepaskan lelah serta penyegaran (refresing) dari seluruh aktifitas masing-masing anggota keluarga. Fungsi ini dapat mewujudkan suasana keluarga menjadi menyenangkan, saling menghargai, menghormati, menghibur masingmasing anggota keluarga, sehingga tercipta hubungan harmonis, damai kasih sayang, dan setiap anggota dapat merasakan bahwa rumah adalah surganya. (Q.S Ar Rum: 21)
melepaskan lelah serta penyegaran (refresing) dari seluruh aktifitas masing-masing anggota keluarga. Fungsi ini dapat mewujudkan suasana keluarga menjadi menyenangkan, saling menghargai, menghormati, menghibur masingmasing anggota keluarga, sehingga tercipta hubungan harmonis, damai kasih sayang, dan setiap anggota dapat merasakan bahwa rumah adalah surganya. (Q.S Ar Rum: 21)
C. Penerapan
Konsep Keluarga Dalam Islam
Pemenuhan Hak dan
Kewajiban Keluarga dalam Islam
Konsep
keluarga menurut Islam secara intinya tidak berbeda dengan bentuk konsep
keluarga sakinah yang ada pada syariah Islam yaitu membina rumah tangga yang sakinah
mawaddah wa rahmah. Akan tetapi hanya pada poin-poin tertentu yang memberi
penekanan yang lebih dalam pelaksanaannya, seperti hal-hal yang menyangkut
tentang hak dan kewajiban atau peran suami-istri di dalam rumah tangga sebab
inilah metode penerapan konsep keluarga dalam Islam.
Hak
dan kewajiban suami istri pada dasarnya seimbang, sehingga prinsip hubungan
antara suami dan istri dalam keluarga adalah adanya keseimbangan dan
kesepadanan (attawazub wat-takafu’) antara keduanya.[20]
Kewajiban Suami
1. Suami
memiliki tanggung jawab besar, kewajibannya adalah memberikan mahar pada istri
(Q.S an-Nisa’: 4 dan 24) serta memberikan nafkah (kebutuhan-kebutuhan) sehingga
memiliki satu tingkatan dari istrinya. (Q.S Al-Baqarah: 233; Q.S At Talaq: 7).
2. Kewajiban
suami lainnya adalah menggauli istrinya dengan cara yang ma’ruf (Q.S an-Nisa:
19). Menurut Azar Basyir menggauli istri dengan cara ma’ruf itu mencakup
tiga hal:
·
Pertama, sikap menghormati, menghargai, dan perlakuan-perlakuan
yang baik, serta meningkatkan taraf hidupnya dalam bidang-bidang agama, akhlak,
dan ilmu pengetahuan yang diperlukan.
·
Kedua, menjaga dan melindungi nama baik istri.
3. Kewajiban
suami lainnya, adalah menjaga keluarga dari dosa dan maksiat atau ditimpa oleh
sesuatu kesulitan dan marabahaya. (Q.S At Tahrim: 6).
4. Terakhir,
suami wajib memberikan rasa tenang kepada istrinya, serta memberikan cinta dan
kasih sayang kepadanya agar tujuan dari pernikahan tersebut dapat terwujud
yaitu kehidupan keluarga yang harmonis (sakinah), mawaddah, dan rahmah.
Kewajiban Istri
1. Kewajiban
istri terhadap suaminya tidak ada yang berbentuk materi secara langsung, tetapi
dalam bentuk nonmateri[22]
seperti, taat dan patuh kepada suaminya(Q.S an-Nisa ayat 34) dalam batasan syariah
Islam.
2. Selain itu istri juga harus mengupayakan untuk
melaksanakan fungsi reproduksi secara baik dan sehat. Adapun penentuan kapan
dan jumlah keturunannya dilkukan dengan musyawaha keduanya (Q.S. Asy-Syuura:
38).[23]
Hak dan Kewajiban
Bersama Suami-Istri
1. Menurut Syafrudin,
bentuknya ada tiga: Pertama, bolehnya bergaul dan bersenang-senang
di antara keduanya. Inilah hakekat sebenarnya dari sebuah perkawinan (Q.S. An
Nisa: 19 dan Q.S al-Baqarah: 187). Kedua, timbulnya hubungan
suami dengan keluarga istrinya dan sebaliknya hubungan istri dengan keluarga
suaminya. Ketiga, hubungan saling mewarisi di antara suami istri.
Setiap pihak berhak mewarisi pihak yang lain bila terjadi kematian.[24]
2. Ditambah,
jika telah berketurunan; Pertama, memelihara dan mendidik
anak keturunan yang lahir dari perkawinan tersebut. Kedua,
Memelihara kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Kewajiban dan Hak
Anak-Orang Tua
1.
Kewajiban Orang Tua
·
Sejak dalam kandungan,
menurut para ulama, anak sudah dapat memiliki hak walaupun belum menerima
kewajiban. Hak yang dimiliki anak dalam kandungan antara lain hak waris, hak
wasiat, dan hak memiliki harta benda.[25]
·
Orang tua memiliki
kewajiban untuk merawat, memelihara dan mendidik anak, dari mulai persiapan kehamilan,
memeriksakan kesehatan janin, melahirkannya secara aman, merawat, memelihara,
dan mengawasi perkembangannya, serta mendidiknya supaya menjadi anak yang
sehat, saleh, dan berilmu pengetahuan luas (hadhanah).
·
Sebagai konsekuensi dari hadanah
, orang tua (terutama ayah) mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah kepada
anaknya.
Kewajiban Anak
·
Kewajiban berbuat baik kepada orang tuanya pada dasarnya
imbangan dari kewajiban hadanah dari orang tua, yang telah
merawat anak, mulai dari sebelum lahir sampai menjadi dewasa. (Q.S, Al-Israa: 23), (Q.S, Al-Ahqaf: 15).
imbangan dari kewajiban hadanah dari orang tua, yang telah
merawat anak, mulai dari sebelum lahir sampai menjadi dewasa. (Q.S, Al-Israa: 23), (Q.S, Al-Ahqaf: 15).
·
Sebagai perwujudannya, anak memiliki kewajiban untuk memberi nafkah kepada orang tua, apabila
memang orang
tuanya membutuhkan. Karena harta milik anak pada dasarnya adalah milik orang tuanya juga.
·
Berbuat baik kepada orang
tua pada dasarnya dalam segala hal, tidak ada batasnya, yang membatasi adalah
adanya hak anak itu sendiri. Sehinga masing-masing anak dan orang tua dalam
keuarga memiliki hak dan tanggung jawab. Apabila terjadi perbedaan pendapat,
maka harus dimusyawarahkan dan dibicarakan dengan baik, tentunya dengan selalu
dilandasi oleh rasa kasih sayang dan saling memiliki.
DAFTAR PUSTAKA
Al Ghazaly, Abi Hamid Muhammad bin
Muhammad.tt. Ihya’ Ulumuddin, Beirut: Dar
al Fikr.
Amin, Moh. 1987. Mengajarkan Ilmu
Pengetahuan Alam dengan Menggunakan Metode
“Discovery” dan “Inquiry”. Jakarta: Depdikbud-Dirjen Dikti.
Amri, M. Saeful dan Tali Tulab. Tauhid:
Prinsip Keluarga dalam Islam (Problem Keluarga
di Barat). Jurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam: http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/ua.
An Nawawi, Muhammad bin Umar. 2002. Buku
Terjemah Kitab: Syarh uqud Al Lujjain
Fii Bayani Huquq Az Zaujaini, Penerjemah: Abu Sofia dan Lukman Lubis. Surabaya: Ampel Mulia.
Basyir, Azar. 1996. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta:
Perpustakaan Fakultas Hukum UII.
Departemen Agama RI. 2008. Membangun
Keluarga Harmoni (Tafsir AlQur’an Tematik).
Jakarta: Departemen Agama RI.
Faqih, Aunur Rahim. 2001. Bimbingan
Dan Konseling dalam Islam. Jogjakarta: UII
press.
Jurnal UIN Surabaya. sumber: http://digilib.uinsby.ac.id/10016/5/bab2.pdf,
diakses pada 19 Desember 2018.
Kamus Besar bahasa Indonesia Online. https://id.wikipedia.org/wiki/Konsep,
diakses pada 20 Desember 2018.
Kamus Besar bahasa Indonesia Online. https://www.kbbi.web.id/prinsip,
diakses pada 20 Desember 2018.
Rosyidin, Dedeng. Institusi Keluarga Dalam Islam.
Jurnal: http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_ARAB/195510 071990011- DEDENG_ROSIDIN/INSTITUSI_KELUARGA_DALAM_ISLAM.pdf:
diakses pada 19 Desember 2018.
Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat
dan Undangundang Perkawinan). Jakarta: Kencana Prenamedia Group.
[8] Abul-Qasim al-Hussein bin Mufaddal bin
Muhammad, lebih dikenal sebagai Raghib Isfahani, adalah seorang sarjana Muslim
abad ke-19 eksegesis (penafsir) Al-Qur'an dan bahasa Arab.(Wikipedia ).
[18]
M.
Saeful Amri dan Tali Tulab, Tauhid: Prinsip Keluarga dalam Islam (Problem
Keluarga di Barat), (Jurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam:
http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/ua), hlm. 100.
kewajibannya
menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan
kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Q.S,
al-Baqarah: 228)
[22]
Menurut Amir Syarifuddin, kewajiban Isteri kepada suami diantaranya ialah
sebagai berikut: 1. Memberikan rasa tenang dalam rumah tangga untuk suaminya:
memberikan rasa cinta dan sayang; 2. Menggauli suaminya secara layak sesuai
kodratnya; 3. Taat dan patuh kepada suaminya; 4. Menjaga dirinya dan menjaga
harta suaminya bila suaminya sedang tidak ada dirumah; 5. Menjauhkan dirinya dari
segala yang tidak disenangi oleh suaminya; 6. Menjauhkan dirinya dari
memperlihatkan muka yang tidak enak dipandang dan suara yang tidak enak
didengar. Lihat, Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia
(Antara Fiqh Munakahat dan Undangundang Perkawinan), Jakarta: Kencana
Prenamedia Group, 2006, hlm. 162 163.
Assalamu'alaikum terima kasih atas ilmunya ijin kopy untuk disebarluaskan
BalasHapus