Oleh: Rendra Fahrurrozie
STIT Sirojul Falah BOGOR
STIT Sirojul Falah BOGOR
Latar Belakang
Pembahasan mengenai manusia merupakan bahasan yang
tiada habisnya jika digali dari seluruh aspek kehidupannya. Manusia merupakan
makhluk yang terunik dan kompleks, sebab manusia mampu mempunyai cara-cara
tersendiri dan kreatif dibanding makhluk yang lainnya dalam segala hal. Baik
dalam hal memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan mengembangkan ilmu pengetahuannya
dan tekhnologinya sehingga akan berbeda-beda dalam setiap zaman. Ini tidak akan
kita temui pada hewan, dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologinya.
Manusia adalah makhluk yang bertanya, bahkan ia
mempertanyakan dirinya sendiri, keberadaannya, dan dunia seluruhnya. Jadi, dari
semula ia berbakat filosofis, sebagaimana sudah tampak dengan jelas pada
anak-anak. Secara spontan dan tanpa berpikir masak-masak. Seorang anak
mempertanyakan segala sesuatu, bahkan mengenai dari mana asalnya dan ke mana
arahnya.[1] Saat
manusia itu bertanya akan dirinya, ia mencari dan mengandaikan bahwa akan
tercapainya dari pencariannya itu. Yang pada ahirnya menjadi pengalaman dan
ilmu yang dikemudian hari disampaikan kepada generasi setelahnya. Inilah
manusia, senantiasa ingin tahu dan mengembangkan keingintahuannya itu menjadi
pelajaran dan pendidikan.
Pemahaman
tentang manusia dan pendidikan, merupakan bagian dari kajian filsafat. Dalam
perkembangan zaman dan pemikiran, manusia mempunyai peran yang sentral dalam
setiap peristiwa dikehidupan dunia ini. Berbicara mengenai manusia dan
filsafat, manusia dan pendidikan, serta manusia dan pendidikan Islam tentunya
akan melibatkan banyak hal terutama hakikat manusia itu sendiri yang dikaji
dalam pandangan-pandangan para pemikir dan literatur Islam. Para pemikir Yunani
sebelum masehi dan pemikir Muslim di abad pertengahan banyak menuangkan kajiannya mengenai manusia itu. Terlebih,
dalam membahasnya sejak awal mula kemunculan, hingga tujuan manusia itu
sendiri.
Manusia dan pendidikannya merupakan hal utama dan
pertama dalam peran manusia untuk terus hidup dan memakmurkan dunia ini. Sehingga
di dalam ruang lingkup filsafat pendidikan[2] adalah semua
aspek yang berhubungan dengan upaya manusia untuk mengerti dan memahami hakikat
pendidikan itu sendiri, yang berhubungan dengan bagaimana pelaksanaan
pendidikan yang baik dan bagaimana tujuan pendidikan itu dapat tercapai seperti
yang dicita-citakan. Inilah yang kemudian manusia terus berupaya untuk
mengembangkan pengetahuannya melalui pendidikan dari generasi ke generasi.
Dalam keilmuan pendidikan ada 5 (lima) bagian pokok
pendidikan yang penting dikaji dan dipelajari, yaitu konsep tentang manusia, tujuan
pendidikan, peserta didik, pendidik, dan proses pembelajaran (Prayitno, 2009:
6-20).[3] Oleh
karena itu, melihat urgensinya manusia dan pendidikan ini maka hal tersebut
melatar belakangi kami untuk membahas dalam makalah Konsep Manusia dan Pendidikan
Islam ini. Sebab, pembahasan mengenai manusia adalah hal yang pasti, saat
membicarakan perihal pendidikan Islam Tidak heran banyak penulis filsafat
pendidikan senantiasa membahas mengenai manusia ini dalam bukunya, termasuk
dalam pembahasan Filsafat pendidikan Islam.
A.
Manusia dalam Pandangan Filsafat
dan Islam
Pemahaman mengenai manusia adalah kajian yang sangat mendalam dan hal yang
sangat penting bagi siapa saja yang ingin mengenal dirinya atau siapa pencipta
manusia. Meskipun demikian, setiap manusia memiliki berbagai pandangan dan cara
yang berbeda dalam mempelajari dan memahami manusia itu sendiri. Prof. Malik B.
Badri (1986)[4] pernah mengatakan
bahwasanya seorang ahli fisika dapat menunjukkan objektivitasnya dalam
mengobservasi mesin-mesin, namun tak seorang pun dapat menerima objektivitas
mutlak dalam mempelajari manusia.
Pada manusia diberikan potensi akal
yang dipersiapkan untuk menerima berbagai macam ilmu pengetahuan untuk
interaksinya pada sesama atau alam. Dari pengetahuan itulah manusia menjalani
hidup di dunia dan mengembangkannya melalui penelitian, memperoleh pengalaman,
serta pendidikan. Sehingga dari waktu kewaktu akan ditemui budaya, tehnologi,
dan pola pikir manusia yang senantisa berkembang. Jika mempelajari sejarah masa
lalu, kita akan temukan perbedaan tehnologi dan budaya dari manusia. Dan
pendidikan merupakan motivator dari berkembangnya budaya manusia hingga
terwujudnya kebudayaan manusia yang maju.
Dengan demikian, dapat kita katakan
bahwa kualitas manusia pada suatu negara atau tempat dimana pun di dunia ini sangat
ditentukan oleh pendidikan yang terlihat pada perilaku dan pemikiran manusia
ditempat tersebut. Pendidikan dan budaya mempunyai hubungan yang sangat erat
dan terkait satu sama lain, yang korelatif saling mempengaruhi termasuk dalam
pembentukan karakter manusia.[5]
1. Definisi
Manusia dan Pendidikan Islam
Kata “manusia” merupakan istilah
dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Inggris, kata “manusia” disepadankan
dengan kata “man” dan “human”. dalam bahasa Arab istilah
“manusia” secara sederhana disepadankan dengan kata “basyar”, “insan”,
dan “nas”. Dalam konteks bahasa Indonesia, “manusia” diartikan
sebagai ‘makhluk yang berakal budi atau mampu menguasai makhluk lain’.[6]
Tetapi para filsuf mempunyai pemikiran bahwa manusia dalah makhluk yang
berpikir atau dalam bahasa filsuf muslim, manusia disebut sebagai al-hayawan
al-nathiq. Hal ini dikaitkan dengan penggunaan logika sebagai paradigma
berpikir.[7]
Ahli psikologi menyatakan bahwa
manusia adalah makhluk yang berjiwa. Manusia memiliki personality, kesadaran,
dan mempunyai sistem psikologis yang unik bila dibandingkan dengan makhluk
lainnya. Dalam konsep psikologi Islam, jiwa sering disepadankan dengan konsep nafs
dalam dalam bahasa Aristoteles adalah nous. Para ahli sosiologi
menyebut manusia sebagai makhluk sosial. Ia hidup berdampingan dengan yang
lain. Manusia adalah makhluk yang bermasyarakat, tidak bisa hidup sendiri tanpa
orang lain. Manusia tidak bisa lepas dari hubungannya dengan makhluk dan tempat
ia berpijak. Para pemikir biologi hanya melihat manusia dari sistem anatomi,
fisiologi, dan tatanan struktur tubuh dan metabolisme serta sistem biologi
lainnya yang mempunyai karakteristik berbeda dengan makhluk lain. Setiap
pemikir dan ahli yang menekuni bidang tertentu melibatkan peranan berpikirnya
untuk mengkaji masalah dan konsep manusia ini.[8]
Sehingga definisi manusia akan
banyak ditemukan, pandangan tentang manusia tidak hanya dibahas oleh para
pemikir, filsuf, atau pun ilmuwan. Paradigma agama ikut menganalisis dan
terlibat dalam membahas konsep manusia. Setiap agama mempunyai pandangan dan
paradigma tertentu dalam mengkaji manusia. Begitu pula dengan Islam. Islam
dalam ajarannya mengungkapkan tentang kedudukan dan hakikat manusia. Agama
Islam lahir untuk manusia sehingga ajarannya membahas tentang manusia.
Pendidikan dalam bahasa Arab bisa
disebut tarbiyah yang berasal dari kata rabba, berbeda dengan kata
pengajaran dalam bahasa Arab yang disebut dengan ta’lim yang berasal
dari kata ‘allama. Pendidikan Islam sama dengan Tarbiyatul Islamiyah.
Kata rabba, beserta cabangnya banyak dijumpai dalam Al Qur’an, misal
dalam QS. Al Isra’ [17]: 24 dan QS. Asy Syu’ara [26]: 18. Tarbiyah sering
juga disebut ta’dib seperti sabda Rasulullah ﷺ:
“addabani rabbi fa ahsana ta’dibi” (Tuhanku telah mendidikku, maka aku
menyempurnakan pendidikannya).[9]
Istilah “tarbiyah, ta’lim, dan
ta’dib” yang harus dipahami secara bersama-sama. Ketiga istilah ini
mengandung makna yang mendalam menyangkut manusia dan masyarakat serta
lingkungan yang dalam hubungannya dengan Tuhan saling berkaitan satu sama lain.
Istilah-istilah itu pula sekaligus menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam:
informal, formal dan non formal.
Secara
terminologis, pendidikan merupakan proses perbaikan, penguatan, dan
penyempurnaan terhadap semua kemampuan dan potensi manusia. Pendidikan juga
dapat diartikan suatu ikhtiyar manusia untuk membina kepribadiannya sesuai
dengan nilai-nilai dan kebudayaan yang ada dalam masyarakat. Tidak mengherankan
jika pendidikan telah ada sejak munculnya peradaban manusia.[10]
Secara
bahasa, perkataan Islam berasal dari bahasa Arab, dari kata kerja “salima” yang
dalam bentuk mashdarnya adalah kata Islam yang bermakna selamat,
sejahtera dan damai. Islam satu kata dengan kata salam yang timbul
darinya ungkapan assalamu’alaikum yang membudaya dalam masyarakat
Indonesia dengan arti selamat, damai, dan sejahtera.[11]
Dari arti bahasa sebenarnya, Islam mempunyai arti penyerahan diri secara total
pada kehendak Allah tanpa perlawanan (menurut Prof. Dr. Muhammad Abdullah
Draz), begitu juga Prof. Dr. M. Tahir Azhary bahwa Islam berarti penundukan
diri sepenuhnya setiap makhluk Allah SWT terhadap kehendak dan
ketetapanNya/sunatullah (M. Tahir Azhary, 2003: 3-4).
Secara
terminologis, Islam adalah agama penutup dari semua agama yang diturunkan
berdasarkan wahyu Ilahi (Al Qur’an) kepada Nabi Muhammad ﷺ, melalui malaikat Jibril untuk diajarkan kepada seluruh umat
manusia sebagai way of life (pedoman hidup) lahir bathin dari dunia
sampai akhirat sebagai agama yang sempurna.[12]
Definisi yang bersifat jami’ (komprehensif) dan mani’ (protektif)
terminologi Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi
Muhammad ﷺ untuk mengatur hubungan manusia dengan
Allah, manusia dengan dirinya, dan manusia dengan sesamanya.[13]
Jadi
ada 3 hubungan manusia dalam Islam, yang kemudian menjadi dasar Pendidikan
Agama Islam baik di dalam keluarga, masyarakat (masjid dan lingkungan sekitar),
dan Negara (sekolah dan universitas) yaitu:
a. Hubungan
manusia dengan Tuhannya dalam hal ibadah, seperti sholat, zakat, puasa, haji,
dan lain-lainnya.
b. Hubungan
manusia dengan manusia dengan sesama/lingkungan dalam hal muamalah seperti
bisnis, sosial, pemerintahan, politik, pendidikan, dll), dan uqubat (hukum).
c. Hubungan
manusia dengan dirinya sendiri akhlak, pakaian, makanan, dan minuman.
Dari
interaksi individu manusia dan kelompok sosial akan menciptakan dinamika
pemikiran dan budaya (kebiasaan) masyarakat. Dari sinilah terwujudnya pendidikan,
termasuk Pendidikan Islam. Tanpa adanya interaksi dan gerak dinamis, akan tidak
terjadinya proses-proses pendidikan itu. Sebab, hidup itu sendiri adalah
menunjukkan gerakan yang dinamis. Semakin dinamis seorang individu atau
kelompok maka semakin baik pula proses pendidikannya dan kehidupannya.
Pendidikan
Islam disampaikan kepada masyarakat dengan jalan berdakwah. Dari dakwah inilah
proses pendidikan berlangsung dan melahirkan perubahan-perubahan ke arah
positif yang dipandu Allah SWT melalui nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah oleh
pendidik (Ulama).
Pendidikan Islam secara bahasa dalam
rekomendasi Konferensi Dunia tentang Pendidikan tahun 1977 di Jeddah ada tiga,
yaitu al tarbiyah, al ta’lim dan al ta’dib.[14] Al Tarbiyah dalam
makna sederhana adalah membesarkan tanpa mencakup penanaman pengetahuan dalam
proses itu.[15] Adapun Al Ta’lim maknanya
adalah pengajaran dan pengajaran itu berlaku juga untuk selain manusia.[16]
Adapun Al Ta’dib bisa disebut proses menjadikan seseorang beradab
(akhlak mulia). Sehingga al ta’dib dianggap paling cocok untuk istilah
pendidikan, didalamnya terkandung unsur ‘ilm, ta’lim, dan tarbiyah. Akan tetapi, dalam konsep Al
Qur’an tidak ada kata yang asal katanya dari “al adaba”, istilah adab
ini dikenal dalam peradaban Arab sejak pra Islam yang terkadang diartikan
etika. Tapi tidak terkonfirmasi dengan Al Qur’an sama sekali tidak termuat kata
itu dan kata yang berakar darinya, sehingga dalam perspektif Al Qur’an tidak mendapat
posisi.[17]
Lain
halnya dengan kata Al Tarbiyah, yang berasal dari kata “rabba” yang
sangat banyak disebutkan di dalam Al Qur’an yakni sebanyak 1241 kali.[18]
Sehingga kata ini mempunyai posisi dalam Al Qur’an mengingat “rabbun” adalah
salah satu nama Allah SWT. Menurut Al Raghib Al Asfahani, kata rabbun sesungguhnya
yang membentuk kata Al Tarbiyah, yakni التمام إنشاء الشيء حالا فحالا إلى حد : “mengupayakan sesuatu perlahan-lahan menuju kesempurnaan.”
Sehingga pendidikan akan terus berlangsung tidak pernah berakhir, karna ia
tidak pernah sempurna, ia hanya hadd at tamam (menyempurnakan apa yang
kurang).
Khalid Ibn Hamid
al-Hazimi mencoba melengkapi definisi Al-Tarbiyah lebih rinci, yakni “membentuk
manusia secara bertahap di setiap aspeknya, dengan tujuan mencari kebahagiaan
dunia akhirat, yang sesuai dengan pedoman yang Islami.”[19]
Pendidikan Islam secara istilah
didefinisikan oleh banyak ahli diantaranya:
Menurut Muhammad Naquib Al Attas, yakni suatu proses penamaan sesuatu ke dalam diri manusia.[20]
Atau pendidikan adalah sesuatu yang secara bertahap ditanamkan ke dalam
manusia.[21] Jadi, ada tiga unsur
dalam pendidikan yaitu proses, kandungan, dan yang menerima.
Sedangkan
menurut Ahmad D. Marimba memberikan pengertian bahwa Pendidikan Islam adalah
bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum Islam menuju terbentuknya
kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.[22]
Dari definisi ini memuat tiga unsur mendukung Pendidikan Agama Islam, yaitu:
a. Usaha berupa bimbingan bagi
pengembangan potensi jasmaniah dan rohaniah secara seimbang,
b. Usaha tersebut didasarkan
atas ajaran Islam, yang bersumber dari Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijtihad,
c. Usaha tersebut diarahkan pada
upaya untuk membentuk dan mencapai kepribadian muslim (Islam). Yaitu
kepribadian yang didlamnya tertanam nilai-nilai Islam sehingga perilakunya
sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Dari sini dapat dikatakan
bahwa Pendidikan Islam, sebenarnya terfokus pada pengembangan akhlak mulia,[23]
yang dipadu ilmu sosial, eksakta, dan humaniora.[24]
2.
Manusia dalam Pandangan
Filsafat
Membicarakan manusia memang baru
mulai sekitar tahun 600 SM, dahulu para filsuf banyak
berkonsentrasi pada persoalan-persoalan alam semesta, baru kemudian
berkonsentrasi pada masalah-masalah manusia. Sejak itu mulai pencarian dengan
seksama tentang hakikat manusia. Tokoh-tokoh filsafat manusia pada masa itu
antara lain Pythagoras, Socrates, Plato, dan Aristoteles. Lubis dan Adian, menjelaskan bahwa setelah para filsuf menyibukkan
diri dengan kontemplasi terhadap alam semesta, muncullah para filsuf yang
memfokuskan perhatian mereka pada permasalahan manusia.
Para filsuf seperti Socrates
(470-399 SM), Plato (429-347 SM), dan Aristoteles (384 322 SM) banyak
mengemukakan pemikiran tentang bagaimana hidup bermasyarakat dengan baik, munculah untuk
pertama kalinya sebuah disiplin dalam filsafat yaitu Etika. Pythagoras (580-500
SM) mengatakan bahwa filsafat tidak semata-mata kontemplasi terhadap kosmos,
melainkan jalan keselamatan hidup. Tujuan hidup bagi Pythagoras adalah
membebaskan jiwa dari keterbelengguan badani menuju keselamatan (bersatu
kembali dengan jiwa alam semesta). Semakin kita memikirkan orang lain, kita
semakin mendekati kesejatian.[25]
Mengenai hakikat manusia, Muhmidayeli[26] (2011: 43-60) menyebutkan
beberapa tokoh filsafat yang memberikan pandangan mengenai manusia, antara lain
sebagai berikut:
a.
Plato: Manusia sebagai
pribadi yang tidak terbatas pada saat bersatunya jiwa dengan raga. Manusia
lahir ke dunia telah membawa ide kebaikan (innate idea).
b.
Aristoteles: Manusia
adalah makhluk organis yang fungsionalisasinya tergantung pada jiwanya.
c.
Rene Descartes
(1596-1650): Hakikat manusia ada pada aspek kesadaran yang eksistensinya ada
pada daya intelek sebagai hakikat jiwa.
d.
Schopenhauer (1788-1860):
Kesadaran dan intelek hanyalah permukaan jiwa kita, di bawah itu ada kehendak
yang tidak sadar. Kehendak adalah suatu kekuatan yang menggerakkan intelek itu
untuk dirinya. Kehendak dapat mengakibatkan hidup tertekan dan merupakan
penderitaan, maka perlu kebijaksanaan. Selanjutnya banyak ahli yang terpancing
untuk membicarakan tentang kesadaran tersebut.
e.
Auguste Comte
(1798-1857): Berupaya menjelaskan tahap per kembangan intelek manusia dengan
hukum tiga tahapnya.
f.
Edmund Husserl
(1859-1938) berupaya membuat kategorisasi kesadaran dan aktivitasnya yang
kemudian mempengaruhi analisis eksistensial yang dibuat oleh Martin Heidegger
(1889-1976) dengan mengatakan bahwa keterlemparan manusia di dunia memastikan
dirinya mengakui keterbatasannya, sehingga hidupnya selalu beranjak dari
masalah yang satu ke masalah lain tanpa henti.
Dalam persfektif aliran filsafat,
terdapat empat aliran yang mengemukakan mengenai manusia. Zuhairini, dkk.[27] menyebutkan bahwa aliran
tersebut adalah aliran serba zat, aliran serba ruh, aliran dualisme, dan
aliran eksistensialisme.
Pertama, Aliran serba zat; mengatakan bahwa yang benar-benar
ada itu adalah zat atau materi. Zat atau materi adalah hakikat dari sesuatu.
Alam ini adalah zat atau materi, dan manusia adalah unsur dari alam. Maka,
hakikat manusia, menurut aliran ini adalah zat atau materi.
Kedua, Aliran serba ruh; menyatakan bahwa hakikat segala
sesuatu adalah ruh. Hakikat manusia adalah ruh. Adapun zat merupakan
manifestasi ruh.
Ketiga, aliran dualisme; aliran ini menganggap bahwa
manusia itu pada hakikatnya terdiri dari dua substansi, yaitu jasmani dan
ruhani. Kedua substansi ini masing-masing merupakan unsur asal, yang adanya tidak
tergantung satu sama lain. Jadi, badan tidak berasal dari ruh dan ruh tidak
berasal dari badan. Perwujudannya manusia tidak serba dua, jasad dan ruh.
Antara badan dan ruh terjadi sebab akibat, keduanya saling mempengaruhi.
Keempat, aliran
eksistensialisme; aliran filsafat modern berpandangan bahwa hakikat manusia
merupakan eksistensi dari manusia. Hakikat manusia adalah apa yang menguasai
manusia secara menyeluruh. Di sini, manusia dipandang tidak dari sudut serba
zat atau serba ruh atau dualisme, tetapi dari segi eksistensi manusia di dunia
ini. Eksistensi manusia sangat berkaitan dengan proses
terjadinya, wujud yang beraneka ragam (baik langsung atau tidak langsung) yang
bersifat jiwa atau materi, berasal dari wujud yang menjadi sumber dari segala
sesuatu yakni Tuhan, yang menjadi sebab dari segala yang ada, karenanya setiap
wujud ini merupakan bagian dari Tuhan, dalam hal ini dinamakan sebagai emanasi.[28]
Sekilas Mengenai Teori Emanasi
Dalam
filsafat, emanasi adalah proses terjadinya wujud yang beraneka ragam, baik
langsung atau tidak langsung, bersifat jiwa atau materi, berasal dari wujud
yang menjadi sumber dari segala sesuatu yakni Tuhan, yang menjadi sebab dari
segala yang ada, karenanya setiap wujud ini merupakan bagian dari Tuhan.
Pemikiran ini melahirkan teori eksistensi alam semesta dan manusia, bahwa Allah
SWT sebagai Tuhan memberikan pancaran, sehingga terwujudlah alam ini sebagai
hasil dari pancaran tersebut.
Teori emanasi merupakan
pengaruh langsung dari Filsafat Yunani yang berkembang di dunia Islam,
khususnya filsuf muslim seperti Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina dan lainnya. Konsep emanasi pernah dilontarkan oleh para
filosof Yunani antara lain sebagai berikut:
a.
Pythagoras (580-500 SM)
Dua di antara pokok-pokok pikiran Pythagoras yang penting adalah: Pertama; suatu ajaran bahwa jiwa
tidak dapat mati. Kedua, usaha mempelajari ilmu pasti.
Di antara pokok-pokok
pikirannya tentang manusia
adalah bahwa
jiwa tidak dapat mati. Ia
meyakini bahwa jiwa merupakan penjelmaan dari Tuhan yang turun ke dunia karena
telah melakukan perbuatan dosa. Namun, jiwa akan kembali ke Tuhan jika ia telah
menjadi suci. Oleh karena itu, bagi manusia tidak cukup hanya mensucikan
jasmaninya, terlebih lagi manusia harus mensucikan jiwanya. Pensucian jiwa ini
tidak dapat dilakukan sekaligus, tetapi harus berangsur-angsur. Oleh karena itu,
jiwa bisa berinkarnasi untuk mensucikan dirinya.[29]
b.
Plato (427-347 SM)
Ajaran filsafat dari Plato yang
berkaitan dengan konsep emanasi ini adalah rumusan dia tentang “idea.” Menurut
Plato, terdapat dua macam dunia, yaitu dunia yang kelihatan (horaton genus)
dan dunia yang tidak kelihatan atau yang dapat dipikirkan (kosmos noetos).[30]
Dunia yang dipikirkan
itulah yang disebut dengan dunia idea.[31]
Plato yang berpendapat bahwa dunia
ini ada yang dapat diamati,
dan ada yang tidak dapat diamati yaitu dunia idea (teori dualisme). Idea
mempunyai banyak pengertian dan mempunyai banyak tingkatan-tingkatan derajat.
Derajat tertinggi dari idea adalah idea kebaikan. Ia mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk yang terdiri
dari dua dimensi, yaitu dimensi tubuh dan dimensi jiwa atau rohani dan jasmani.
Di antara keduanya terdapat garis pemisah yang
ketat. Namun, di antara keduanya terdapat pula pertautan yang kuat. Menurut
Plato, tubuh merupakan gambaran dari jiwa. Tubuh dan jiwa mempunyai watak-watak
masing-masing.[32]
c.
Aristoteles (384-322 SM)
Mengenai Tuhan, menurut
Aristoteles adalah penggerak. Karena benda tidak dapat bergerak dengan
sendirinya maka harus ada penggerak di mana penggerak itu harus mempunyai
penggerak lainnya hingga tiba pada penggerak pertama yang tak bergerak yang
kemudian disebut dengan theos, yaitu yang dalam pengertian Bahasa Yunani
sekarang dianggap berarti Tuhan.[33]
Ia berpendapat bahwa
manusia merupakan makhluk yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu tubuh, jiwa,
dan ruh. Manusia sebagai makhluk yang berdiri sendiri dan berkembang menjadi
bentuk lain yang tidak dapat dilepaskan antara satu dimensi dengan dimensi
lainnya. Ruh merupakan kemampuan yang reflektif dan khas bagi manusia, namun
manusia sendiri tidak sanggup menjelaskan secara pasti tentang ruh tersebut,
karena masalah ruh adalah masalah metafisik.[34]
d.
Plotinus (205-270 M)
Pada dasarnya Plotinus tidak bermaksud
mengemukakan teori filsafat sendiri, tetapi dia memperdalam teori-teori yang
dikemukakan oleh Plato. Oleh karena itu, dia dianggap sebagai seorang
Neoplatonis. Teori
dualisme Plato oleh
Plotinus dinaikkan tingkatannya dalam satu kesatuan yang lebih tinggi yaitu
dalam “Arus Ilahi”. Dengan demikian, kalau teori dualisme Plato bersifat
antroposentris[35],
tetapi dualisme Plotinus bersifat teosentris yakni bahwa asal-usul dan
sumber bagi segala yang “ada” dan “yang satu” itu bukanlah “ada” tetapi
“adi-ada” yang tak terhingga dan absolut. Teori ini yang kemuadian hari disempurakan oleh filsuf
muslim Al Farabi tentang ke-tauhid-an.
Mengenai manusia, Plotinus juga
dipengaruhi oleh pemikiran Plato mengenai akal dan jiwa. Menurutnya, jiwa adalah suatu kekuatan ilahiah; jiwa merupakan
sumber kekuatan, tidak dapat dibagi karna ia satu, semua manusia berjiwa. Dikenal
dengan dengan emanasi jiwa. Akal bagi
Plotinus, menempati tempat yang rendah sebab metafisika lebih tinggi dari sains
dan ilmu alam,[36]
sehingga ilmu pengetahuan pada masa-masa pengikutnya sangat dikekang terutama
jika berbicara menganai rasional. Sehingga pada masa Kaisar Justianus (527-565
M) melarang pengajaran filsafat di Athena dan menghukum berat orang yang
mempelajari filsafat rasional. Pengikut Plotinus dikenal dengan Neoplatonisme.
Filsuf
muslim seperti Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina dan lainnya membahas pemikiran
filsafat Yunani ini. Dengan teori dan pemikiran Islam. Sehingga apa yang
bertentangan dengan akidah Islam, dapat diselamatkan dengan pemikiran yang
sesuai dengan Islam.
2. Manusia dalam Pandangan Islam
Manusia dalam pandangan
Islam, bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah (QS. Al-Alaq (96):1-2) dengan
kedudukan yang melebihi makhluk ciptaan Allah yang lainnya (QS. At-Tin (95):4).
Dalam
pandangan Taqiyuddin, yang menyatakan bahwa
manusia, alam semesta, dan hidup merupakan unsur yang bersifat terbatas, lemah,
serba kurang, dan membutuhkan kepada yang lain. Apabila segala sesuatu yang
bersifat terbatas, akan dapat disimpulkan bahwa semuanya tidak azali. Dengan
demikian segala yang terbatas pasti diciptakan oleh yang lain yaitu al-Khaliq. Dialah yang
menciptakan manusia, hidup, dan alam semesta.[37] Jadi,
manusia adalah makhluk ciptaan yang sepenuhnya mengabdikan diri kepada
penciptanya, Allah SWT. Manusia memiliki
potensi dan peran yang besar dalam hidup dan alam semesta ini.
Dalam al-Qur‘an manusia
disebut dengan berbagai nama, di antaranya: al-basyar, al-insān, banî ādam, dan
an nas. Nama sebutan ini mengacu kepada gambaran tugas yang seharusnya
diperankan oleh manusia. Sehubungan dengan hal itu, maka untuk memahami peran
manusia, perlu dipahami konsep yang mengacu kepada sebutan-sebutan tersebut.[38]
a. Manusia sebagai al-Basyar (البشر)
Manusia dalam konsep al-basyar
dipandang dari pendekatan biologis (Muhaimin, 1993:11). Sebagai makhluk
biologis berarti manusia terdiri atas unsur materi, sehingga menampilkan sosok
dalam bentuk fisik material, berupa tubuh kasar (jasmani). Dalam kaitan ini,
manusia merupakan makhluk jasmaniah yang secara umum terikat dengan
kaidah-kaidah umum dari kehidupan makhluk biologis.
Selama masa kehidupannya
sebagai makhluk biologis, manusia dalam perkembangannya memerlukan makan dan
minum. Setelah dewasa manusia memerlukan pasangan hidup untuk menyalurkan
dorongan seksualnya. Sebagai makhluk ciptaan, pemenuhan kebutuhan itu telah
diatur oleh Penciptanya. Tujuan utama dari ketentuan dan tata aturan dari Sang
Pencipta itu adalah agar manusia dapat menjalan peran dalam hidupnya secara
benar, sesuai dengan hakikat penciptaannya. Melalui peran tersebut, diharapkan
manusia akan selalu berada dalam kondisi kehidupan yang selamat.
b. Manusia sebagai Al-Insan (الا نسان)
Kata al-Insan sebagai kata bentukan
yang termuat dalam al-Qur’an, yang mengacu pada potensi yang diberikan Allah
kepada manusia. Potensi tersebut antara lain berupa potensi untuk bertumbuh dan
berkembang secara fisik (QS. Al- Mukminun (23): 12-14) dan juga potensi untuk
tumbuh dan berkembang secara mental spiritual.
Perkembangan tersebut antara lain
meliputi kemampuan untuk berbicara (QS. Al-Rahman: 4), menguasai ilmu
pengetahuan melalui proses tertentu, dengan mengajarkan manusia dengan kalam
(baca tulis) dan segala apa yang tidak diketahuinya (QS. Al-Alaq: 4-5),
kemampuan untuk mengenal Tuhan atas dasar perjanjian awal di alam ruh, dalam
bentuk kesaksian (QS. Al-A‘raf: 172). Potensi untuk mengembangkan diri ini
(yang positif) memberi peluang bagi manusia untuk mengembangkan kualitas sumber
daya insaninya. Paling tidak pada tahap yang paling rendah adalah mampu mencari
dan menemukan yang baik, benar dan indah, untuk dijadikan rujukan dalam
bersikap dan berperilaku. Dengan cara seperti diharapkan manusia mampu
mengembangkan potensi individunya, guna mencapai kehidupan yang berkualitas.
c. Manusia
sebagai Al Nas (الناس)
Dalam al-Qur‘an kosa kata al-Nas
umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial. Manusia
diciptakan sebagai makhluk bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki
dan perempuan, kemudian berkembang menjadi suku dan bangsa, untuk saling
kenal-mengenal (QS. 49: 13). Manusia menjadi makhluk sosial yang secara fitrah
senang hidup berkelompok, sejak dari bentuk satuan yang terkecil (keluarga)
hingga ke yang paling besar dan kompleks, yaitu bangsa dan umat manusia.
Kehidupan sosial yang demikian itu
tampaknya memang diprioritaskan dalam ajaran Islam, sebagai yang tergambarkan
bahwa kata al-nās terulang sekitar 24 kali dalam al-Qur‘an. Kemampuan untuk
memerankan diri dalam kehidupan sosial, sehingga dapat mendatangkan manfaat,
merupakan usaha yang sangat dianjurkan. Dengan demikian, konsep al-nas
mengacu kepada peran dan tanggung-jawab manusia.
Baldatun Thayyibatun wa Rabbun
Ghafur merupakan gambaran tentang kehidupan sosial manusia tersebut, yang
ditandai oleh: keharmonisan; toleransi, serta adanya perlindungan hak dan kewajiban
antar warga yang anggotanya terdiri atas individu, dan kelompok yang memiliki
peradaban tinggi serta beriman kepada Allah SWT yang masyarakatnya hidup
teratur dalam kepemimpinan tokoh yang beriman dan bertakwa.[39]
d. Manusia
sebagai Bani Adam (بني آدم)
Manusia sebagai Bani Adam termaktub di
tujuh tempat dalam al-Qur‘an. Kata ‘bani’ berarti keturunan, sedangkan panitia
Penafsir al-Qur‘an Departemen Agama RI, mengartikannya sebagai “umat manusia”
yang berasal dari silsilah keturunan Adam a.s. (Panitian Penafsiran, 1971: 224,
catatan kaki nomor 530).
Dalam konteks ayat-ayat yang mengandung
konsep Bani Adam, manusia diingatkan Allah agar tidak tergoda oleh setan (QS.
Al-A‘raf: 26-27), pencegahan dari makan dan minum yang berlebih-lebihan, serta
tata berpakaian yang pantas saat melaksanakan ibadah (QS. Al-A‘raf: 31),
bertakwa dan mengadakan perbaikan (QS. Al-A‘raf: 35), kesaksian manusia
terhadap tuhannya (QS. Al-A‘raf: 172), dan terakhir peringatan agar manusia
tidak terperdaya hingga menyembah setan, dengan mengingatkan manusia mengenai
status setan sebagai musuh yang nyata (QS. Yasin: 60).
Konsep Bani Adam selebihnya mengacu kepada
penghormatan kepada nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Konsep ini
menitikberatkan pada upaya pembinaan hubungan persaudaraan antar sesama
manusia. Menyatukan visi bahwa manusia pada hakikatnya berawal dari nenek
moyang yang sama, yaitu Adam a.s. Dengan demikian, manusia, apapun latar
belakang sosio-kultural, agama, ras, bangsa dan bahasanya, harus dihargai dan
dimuliakan. Dalam tataran ini manusia akan berstatus sebagai sebuah keluarga
yang bersaudara, karena berasal dari nenek moyang yang sama.
Dalam falsafat Islam dikenal manusia itu sebagai
makhluk multidimensional dan multipotensional. Manusia sebagai makhluk
multidimensional setidak-tidaknya memiliki 7 dimensi (aspek) dalam
kehidupannya.
1. Dimensi jasmani. Jasmani diakui Islam eksistensinya karena jiwa
dibutuhkan badan agar dapat melaksanakan fungsi-fungsi dan tugasnya. Tanpa
bantuan badan jiwa tidak akan dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya seperti
berpikir, merasa, dan bertindak. Dimensi jasmani melukiskan konsep manusia sebagai
sosok al-basyar.
2. Dimensi Rohani/Spiritual Keagamaan. Rohani (spiritual keagamaan) adalah pokok
dan sentral dari kehidupan manusia. Pengambangan
dimensi ini adalah untuk tujuan utama manusia, yaitu beribadah pada Allah SWT. Pengembangan dimensi dan potensi ini dalam Islam melukiskan konsep
manusia sebagai sosok al-ins.
3. Dimensi Akidah. Pada
hakikatnya tiada seorang pun manusia ini yang ateis, karena dimensi akidah (agama,
ketuhanan) sudah ada pada setiap manusia sebelum ia dilahirkan ke bumi,
sekalipun ia bukan dilahirkan dari seorang ibu yang non-Islam. Pengembangan dimensi akidah/agama ini melukiskan konsep manusia
sebagai al-ins dan makhluk agamais.
4. Dimensi sosial. Setiap manusia dilahirkan
menjadi salah seorang anggota kelompok sosial, man is born a
social being. Dengan demikian manusia adalah
makhluk sosial. Pengembangan dimensi sosial melukiskan konsep manusia sebagai sosok an-naas.
5. Dimensi akhlak. Akhlak merupakan pula
salah satu dimensi pokok dalam kehidupan manusia menurut Islam. Pendeknya kalau akhlak sudah mulia, kesehatan jiwa akan diperoleh,
kebahagiaan akan dicapai, kesempurnaan akan dirasakan, serta pada akhirnya
manusia dapat berhubungan dan bersatu dengan Allah. Pengembangan
dimensi akhlak ini melukiskan konsep manusia sebagai sosok 'ibaadullah.
6. Dimensi akal. Akal adalah
satu-satu dimensi kehidupan yang meninggikan manusia dari malaikat dan hewan
karena dengannya kualitas manusia menjadi bertambah tinggi dan kedudukannya
semakin unik di bumi. Dalam pengembangan dimensi akal
ini ajaran Islam memiliki potensi dan sumber motivasi yang besar bagi manusia
untuk berkembang, karena ajarannya banyak bersifat rasional. Pengembangan
dimensi akal ini melukiskan konsep manusia sebagai sosok al-unaas.
7. Dimensi estetika. Ajaran Islam tidak
membantah adanya dimensi estetika (seni) dalam kehidupan manusia dan nilainya
cukup tinggi dari nilai politik. Prinsip seni dalam Islam
menjadikan seni untuk peningkatan harkat, martabat, kebahagiaan, dan kualitas
hidup manusia. Pengembangan dimensi estetika ini
melukiskan konsep manusia sebagai sosok yang indah dan halus.
Sedangkan
manusia sebagai makhluk multipotensial[41]
memiliki banyak potensi baik (fitrah) dalam kehidupannya. Fitrah atau
potensi baik itu adalah dalam bentuk akhlak dan sifat-sifat Allah yang agung
sebagai yang terkandung dalam asmaaul husnaa. Asmaaul husnaa
merupakan potensi yang dikaruniakan Allah kepada
manusia yang wajib ditumbuh-kembangkan melalui kegiatan pendidikan Islam.
Manusia memang memiliki kemungkinan untuk menumbuh-kembangkan
potensi-potensi itu seoptimal mungkin, tetapi tidak akan mampu menandingi
sifat-sifat keMaha-an Allah. Kalau manusia memaksakan juga, itu namanya tidak
amanah dan melampaui batas serta bisa mengundang timbulnya kebinasaan.
Misalnya, dalam kehidupan seperti apa yang dialami oleh Fir'aun dalam
pengembangan sifat kuasanya sehingga ia mendakwakan dirinya sebagai Tuhan yang
wajib disembah, dan akhirnya ia mengalami kebinasaan. Pengembangan potensi
sebatas kemampuan dan amanah yang dibebankan kepada manusia itulah makna ibadat
dalam arti luas, serta itu pula makna pendidikan dalam Islam. Sehingga
pendidikan hendaklah pula upayanya dimaksudkan
untuk mengembangkan potensi akhak dan sifat-sifat Allah SWT yang dimiliki umat
agar pas dan pasti. Konsep manusia semacam ini adalah juga konsep insan saleh, insan
kamil atau manusia seutuhnya dalam Islam yang menjadi tujuan pelayanan
pendidikan. Konsep ini adalah pula konsep manusia yang seimbang dalam
partumbuhan dan perkembangan kepribadiannya secara total yang didapat melalui
pelatihan jiwa, semangat, motivasi dan kekuatan spiritual keagamaan serta
intelektual, rasionalitas diri, emosional, sosial, dan kepekaan rasa tubuh.
Dengan dimikian pendidikan diarahkan untuk mengembangkan manusia dalam segala
hakikat, dimensi dan potensinya, baik secara individual maupun kelompok, serta
mendorong semua pengembangan itu untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan.
Terwujudnya
konsep manusia mulidimensional dan multipotensial di atas sudah barang tentu
meminta sejumlah persyaratan. Apakah itu persyaratan yang bersifat internal
maupun eksternal. Di antara persyaratan internal adalah
will (kemauan kuat, kebulatan tekad) dari umat Islam sendiri untuk mewujudkan, membangkitkan, atau menumbuh-kembangkan nilai-nilai keIslaman dalam segala aspek kehidupan menuju kebangkitan Islam kembali.
will (kemauan kuat, kebulatan tekad) dari umat Islam sendiri untuk mewujudkan, membangkitkan, atau menumbuh-kembangkan nilai-nilai keIslaman dalam segala aspek kehidupan menuju kebangkitan Islam kembali.
Perlu ditegaskan kembali secara filosofis bahwa perspektif pendidikan berhubungan
erat dengan upaya pembentukan dan perwujudan manusia dan masyarakat, karena
yang dikaji oleh pendidikan itu adalah juga manusia dan masyarakat. Bagaimana gambaran manusia dan masyarakat yang kita cita-citakan begitu pulalah
bentuk pendidikan yang hendak direncanakan, karena manusia dan masyarakat
itulah yang menjadi unsur yang amat pokok dan penting dari sistem dan kegiatan
pendidikan Islam.
Bertitik
tolak dari dasar pemikiran di atas maka bentuk pendidikan yang kita susun
hendaklah pula mengacu kepada image manusia dan masyarakat yang
dicita-citakan Islam yang bersifat hakiki, multidimensional dan multipotensial.
Dalam dunia psikologi ada semboyan yang mengatakan bahwa new psychology
is new image of man, semboyan ini tentu berlaku pula dalam dunia pendidikan Islam. Dengan kata lain pendidikan Islam sebagai sarana untuk mengkaji dan mewujudkan masa depan umat Islam yang cerah, maka filosofi kajian dan implementasinya hendaklah berbentuk usaha memotivasi manusia untuk mau berubah dan belajar, maju dan berkembang, serta mau menemukan hakikat diri, meluaskan dimensi kehidupan dan mengembangkan potensi diri seoptimal mungkin, sehingga dengan itu umat dapat mengatasi masalahnya dan menjawab tantangan zaman serta merasakan kebahagiaan dunia dan akhirat plus terpelihara dari azab neraka di dunia maupun akhirat. Rabbanaa aatinaa fid dunyaa hasanah wafil akhirati hasanah waqinaa 'adzaaban naar. Kebahagiaan dunia dalam arti keadaan yang baik dan optimal dalam kehidupan dunia berupa peroleh nikmat, afiat dan taufik dari Allah SWT. Kebahagiaan akhirat dalam arti kondisi yang baik dan selamat di dalam kehidupan akhirat kelak berupa rahmat, ihsan dan keselamatan (alnajaah) yang diperoleh. Taqiyah (terpelihara) dari azab neraka dalam arti bebas dari siksaan, gangguan dan azab yang ada di dunia dan akhirat. (Dinasril Amir, 2005: 97) Pendidikan Islam jangan hanya dipahami sebagai upaya pembentukan pengetahuan, akan tetapi lebih daripada itu adalah usaha memotivasi manusia untuk mau berubah dan belajar, maju dan berkembang, serta usaha meluaskan dimensi kehidupan dan potensi diri seoptimal mungkin, baik sebagai persona maupun masyarakat, sehingga menemukan hakikat diri. Karena hidup itu menuntut perubahan dan pembelajaran, kemajuan, perjuangan (jihad) dan pembangunan, serta perluasan dimensi dan pengembangan potensi diri seoptimal mungkin.
is new image of man, semboyan ini tentu berlaku pula dalam dunia pendidikan Islam. Dengan kata lain pendidikan Islam sebagai sarana untuk mengkaji dan mewujudkan masa depan umat Islam yang cerah, maka filosofi kajian dan implementasinya hendaklah berbentuk usaha memotivasi manusia untuk mau berubah dan belajar, maju dan berkembang, serta mau menemukan hakikat diri, meluaskan dimensi kehidupan dan mengembangkan potensi diri seoptimal mungkin, sehingga dengan itu umat dapat mengatasi masalahnya dan menjawab tantangan zaman serta merasakan kebahagiaan dunia dan akhirat plus terpelihara dari azab neraka di dunia maupun akhirat. Rabbanaa aatinaa fid dunyaa hasanah wafil akhirati hasanah waqinaa 'adzaaban naar. Kebahagiaan dunia dalam arti keadaan yang baik dan optimal dalam kehidupan dunia berupa peroleh nikmat, afiat dan taufik dari Allah SWT. Kebahagiaan akhirat dalam arti kondisi yang baik dan selamat di dalam kehidupan akhirat kelak berupa rahmat, ihsan dan keselamatan (alnajaah) yang diperoleh. Taqiyah (terpelihara) dari azab neraka dalam arti bebas dari siksaan, gangguan dan azab yang ada di dunia dan akhirat. (Dinasril Amir, 2005: 97) Pendidikan Islam jangan hanya dipahami sebagai upaya pembentukan pengetahuan, akan tetapi lebih daripada itu adalah usaha memotivasi manusia untuk mau berubah dan belajar, maju dan berkembang, serta usaha meluaskan dimensi kehidupan dan potensi diri seoptimal mungkin, baik sebagai persona maupun masyarakat, sehingga menemukan hakikat diri. Karena hidup itu menuntut perubahan dan pembelajaran, kemajuan, perjuangan (jihad) dan pembangunan, serta perluasan dimensi dan pengembangan potensi diri seoptimal mungkin.
Al Quran dengan tegas-tegas
mengingatkan bahwa Allah SWT tidak akan mengubah nasib (kehidupan) suatu kaum,
kalau kaum itu tidak mau mengubah nasibnya. Inna Allaaha laa
yughaiyiru maa biqaumin hattaa yughaiyiru maa bi anfusihim. Sesungguhnya kehidupan itu adalah akidah dan jihad perjuangan.
Kegiatan-kegiatan
pendidikan Islam hendaklah ditujukan kepada perbaikan dan peningkatan kualitas
hidup manusia sebagai makhluk multidimensional dan multipotensional, sehingga
kegiatan pendidikan dapat mewujudkan manusia khalifah dan insan saleh (kamil)
yang menjadi dambaan Islam. Jadi jelasnya, mesti ada aktivitas pendidikan Islam
yang memotivasi manusia dalam mengembangkan dimensi jasmani, rohani, akhlak, sosial,
akidah, akal, dan estetika, serta mengem-bangkan potensi (fitrahnya) dalam
segala aspeknya. Dengan kata lain pendidikan Islam hendaklah mampu memotivasi
umat dalam mewujudkan manusia Islam, yaitu makhluk jasmani (albasyar), spiritual
(al-ins), sosial (annaas), rohani atau kejiwaan (al-insaan),
berakal (alunaas), beragama ('ibaadullah), dan berestetika
(jamiil).
(jamiil).
Dalam kaitannya dengan pembenahan lembaga pendidikan Islam maka
harus ada upaya dan persepsi pendidikan Islam untuk mengembangkan konsep pendidikan
yang holistik atau dalam bentuk pendidikan yang multidimensional dan
multipotensial tersebut. Dalam hubungan dengan pengertian ini maka isu-isu dan
kegiatan yang menyangkut dengan ekonomi (penghapusan kemiskinan), kejiwaan
(kesejukan hati), sosial, seni-budaya, pengembangan pendidikan dan ilmu
pengeta-huan serta industrialisasi (mengejar keterbe-lakangan dan membasmi
kebodohan) adalah penting diangkat menjadi tema-tema pendidikan Islam.
Kalau
dunia Islam mau menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk mewujudkan manusia
dan masyarakat multidimensional dan multipotensial dalam Islam, maka mereka
harus berani melakukan kebijakan Islamisasi dunia ilmu pengetahuan, pendidikan,
dan kehidupan bermasyarakat Islam. Apakah itu dalam bentuk mengubah sistem dan
pola pelayanan pendidikan dari apa yang berlaku sekarang, misalnya dengan
mengubah kurikulum pendidikan Islam.
Dalam
perubahan kurikulum penekanannya hendaklah ditekankan pada usaha mengubah
kondisi material, membangun sumber daya manusia, serta mengembangkan dimensi
dan potensi individu dan masyarakat, ataupun dari orientasi yang tidak seimbang
antara kehidupan dunia dan akhirat menjadi seimbang dan harmonis.
Pendeknya
perluasan dan pengembangan persepsi, wawasan, orientasi, materi, fungsi,
peranan, sifat, tema, sistem, metode, taktik dan strategi, serta pendekatan
pendidikan Islam di zaman yang menjunjung tinggi HAM (hak asasi manusia) dan
HMM (harkat dan martabat manusia) ini perlu diperbaharui kembali (semacam usaha
tajdid) terhadap lembaga-lembaga pendidikan dengan memanfaatkan kemajuan
IPTEK yang
diasimilasikan dengan keimanan dan ketakwaan (imtak), sehingga dengan demikian
dapat diatasi masalah, dihadapi tantangan, dan dipenuhi harapan umat Islam.
Kalau tidak Era Globalisasi dan Industrialisasi hanya akan membuat umat lupa
kepada Allah SWT dan agama-Nya, merusak HAM dan HMM, menjadi beban dan masalah
bagi kehidupan manusia (tidak menjadi rahmat), serta menjadi ancaman bagi
kehidupan sosial-budaya umat. Bukankah pendidikan Islam itu dalam persepsi dan
orientasinya bertujuan untuk mengantarkan manusia menjadi manusia Islam yang
senantiasa mendapatkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidupnya di dunia dan
akhirat serta terpelihara dan terbebas dari azab neraka dengan menekankan
keseimbangan antara kualitas ipteks dan imtak dalam kehidupan manusia sebagai
makhluk multidimensional dan multipotensial.
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Dari uraian yang telah
dikemukakan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1.
Mempelajari
teori tentang manusia, memang tiada habisnya. Setiap disiplin ilmu akan
mempunyai cara pandang berbeda mengenai manusia itu. Manusia adalah makhluk
yang bertanya, bahkan ia mempertanyakan dirinya sendiri, keberadaannya, dan
dunia seluruhnya. Maka lahirlah berfikir filsafat dalam hal ini, apalagi
dikaitkan dengan pendidikan tentu akan terhubung. Sebab, dalam keilmuan pendidikan ada 5 (lima) bagian pokok
pendidikan yang penting dikaji dan dipelajari, yaitu konsep tentang manusia,
tujuan pendidikan, peserta didik, pendidik, dan proses pembelajaran (Prayitno,
2009: 6-20).
2.
Kata “manusia” merupakan istilah dalam bahasa Indonesia. Dalam
bahasa Inggris, kata “manusia” disepadankan dengan kata “man” dan “human”.
dalam bahasa Arab istilah “manusia” secara sederhana disepadankan dengan kata
“basyar”, “insan”, dan “nas”. Dalam konteks bahasa Indonesia, “manusia” diartikan sebagai ‘makhluk yang berakal budi atau mampu menguasai makhluk lain’. Tetapi para filsuf mempunyai pemikiran bahwa manusia dalah makhluk yang berpikir atau dalam bahasa filsuf muslim, manusia disebut sebagai al-hayawan alnathiq. Hal ini dikaitkan dengan penggunaan logika sebagai paradigma berpikir.
“basyar”, “insan”, dan “nas”. Dalam konteks bahasa Indonesia, “manusia” diartikan sebagai ‘makhluk yang berakal budi atau mampu menguasai makhluk lain’. Tetapi para filsuf mempunyai pemikiran bahwa manusia dalah makhluk yang berpikir atau dalam bahasa filsuf muslim, manusia disebut sebagai al-hayawan alnathiq. Hal ini dikaitkan dengan penggunaan logika sebagai paradigma berpikir.
3.
Pendidikan dalam bahasa Arab bisa disebut tarbiyah yang
berasal dari kata
rabba, berbeda dengan kata pengajaran dalam bahasa Arab yang disebut dengan
ta’lim yang berasal dari kata ‘allama. Pendidikan Islam sama dengan Tarbiyatul
Islamiyah. Secara terminologis, pendidikan merupakan proses perbaikan, penguatan, dan penyempurnaan terhadap semua kemampuan dan potensi manusia.
rabba, berbeda dengan kata pengajaran dalam bahasa Arab yang disebut dengan
ta’lim yang berasal dari kata ‘allama. Pendidikan Islam sama dengan Tarbiyatul
Islamiyah. Secara terminologis, pendidikan merupakan proses perbaikan, penguatan, dan penyempurnaan terhadap semua kemampuan dan potensi manusia.
4.
Perkataan Islam berasal dari bahasa Arab, dari kata kerja
“salima” yang dalam bentuk mashdarnya adalah kata Islam yang bermakna
“salima” yang dalam bentuk mashdarnya adalah kata Islam yang bermakna
selamat,
sejahtera dan damai. Definisi yang bersifat jami’ (komprehensif) dan mani’
(protektif) terminologi Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT
kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلمuntuk
mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan dirinya, dan manusia
dengan sesamanya.
5.
Dalam pandangan filsafat, baru dimulai pembicaraan mengenai
manusia sejak 600 SM, yang dahulu para filsuf banyak berkonsentrasi pada
persoalan-persoalan alam semesta, baru kemudian berkonsentrasi pada masalah-masalah
manusia. Tokoh-tokoh filsafat manusia pada masa itu antara lain Pythagoras,
Socrates, Plato, dan Aristoteles. Para filsuf ini banyak mengemukakan pemikiran tentang
bagaimana hidup bermasyarakat dengan baik, munculah untuk pertama kalinya
sebuah disiplin dalam filsafat yaitu Etika. Kemudian Pythagoras yang mengatakan
bahwa filsafat tidak semata-mata kontemplasi terhadap kosmos, melainkan jalan
keselamatan hidup. Seiring berjalannya waktu, bermunculah aliran-aliran
filsafat yang dibawa oleh masing masing tokoh Filsuf Yunani tersebut, seperti aliran
serba zat, aliran serba ruh, aliran dualisme, dan aliran eksistensialisme.
Dari aliran eksistensi ini dikenal teori emanasi, yang mana teori ini jika
ditelaah lebih jauh akan bertentangan dengan akidah Islam, sehingga perlu bagi
pemikir Islam untuk menjelaskan dengan pandangan Islam.
6.
Manusia dalam pandangan Islam, bahwa manusia adalah makhluk
ciptaan Allah (QS. Al-Alaq (96):1-2) dengan kedudukan yang melebihi makhluk
ciptaan Allah yang lainnya (QS. At-Tin (95):4). Dalam hal ini terbagi menjadi 4
fungsi manusia dalam Islam. Yakni, albasyar, al-insān, banî ādam, dan an
nas. Nama sebutan ini mengacu kepada gambaran tugas yang seharusnya
diperankan oleh manusia.
7.
Secara filosofis bahwa perspektif pendidikan berhubungan erat
dengan upaya pembentukan dan perwujudan manusia dan masyarakat, karena yang
dikaji oleh pendidikan itu adalah juga manusia dan masyarakat.
8.
Bertitik tolak dari dasar pemikiran di atas maka bentuk pendidikan
yang kita susun hendaklah pula mengacu kepada image manusia dan
masyarakat yang dicita-citakan Islam yang bersifat hakiki, multidimensional dan
multipotensial. Yakni pendidikan Islam sebagai sarana untuk mengkaji dan
mewujudkan masa depan umat Islam yang cerah, maka filosofi kajian dan
implementasinya hendaklah berbentuk usaha memotivasi manusia untuk mau berubah
dan belajar, maju dan berkembang, serta mau menemukan hakikat diri, meluaskan
dimensi kehidupan dan mengembangkan potensi diri seoptimal mungkin, sehingga
dengan itu umat dapat mengatasi masalahnya dan menjawab tantangan zaman serta
merasakan kebahagiaan dunia dan akhirat plus terpelihara dari azab neraka di
dunia maupun akhirat.
9.
Kegiatan-kegiatan pendidikan Islam hendaklah ditujukan kepada
perbaikan dan peningkatan kualitas hidup manusia sebagai makhluk
multidimensional dan multipotensional, sehingga kegiatan pendidikan dapat
mewujudkan manusia khalifah dan insan saleh (kamil) yang menjadi dambaan Islam.
10.
Dalam kaitannya dengan pembenahan lembaga pendidikan Islam maka
harus ada upaya dan persepsi pendidikan Islam untuk mengembangkan konsep
pendidikan yang holistik atau dalam bentuk pendidikan yang multidimensional dan
multipotensial tersebut.
11.
Dalam perubahan kurikulum penekanannya hendaklah ditekankan pada
usaha mengubah kondisi material, membangun sumber daya manusia, serta
mengembangkan dimensi dan potensi individu dan masyarakat, ataupun dari
orientasi yang tidak seimbang antara kehidupan dunia dan akhirat menjadi
seimbang dan harmonis.
12.
Pendidikan Islam itu dalam persepsi dan orientasinya bertujuan
untuk mengantarkan manusia menjadi manusia Islam yang senantiasa mendapatkan
kebahagiaan dan kesejahteraan hidupnya di dunia dan akhirat serta terpelihara
dan terbebas dari azab neraka dengan menekankan keseimbangan antara kualitas IPTEK
dan imtak dalam kehidupan manusia sebagai makhluk multidimensional dan
multipotensial.
Dalam makalah ini kami
akan memberikan saran-saran berikut ini sebagai pandangan penulis terhadap
pembaca.
1.
Kajian
tentang manusia dalam filsafat harus kita pahami sebagai suatu metode untuk
berfikir yang masing masing mempunyai cara pandang berbeda dan terbatas. Sebab
itulah manusia, mempunyai sifat terbatas. Karnanya, ketika berfikir tentang
awal mula manusia akan lebih baik kita merujuk pada Al Khalik yakni
Allah SWT sebagai pencipta manusia dan lebih mengetahui secara pasti tentang
manusia, keinginannya, kebutuhannya dan yang terbaik bagi manusia itu didalam
ajaran Islam.
2.
Teori
emanasi yang menyatakan bahwa alam dan manusia adalah pancaran dari Tuhan, alam
adalah terdahulu dan kekal, Tuhan adalah penggerak serta mengenai keesaaan
Tuhan. Adalah teori dari Filsafat Yunani yang perlu kita seleksi dalam
pemikiran itu, tidak dijadikan sandaran utama dalam berfiki tentang Allah, dan
mahlukNya. Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina dan lainnya telah mencoba menjawab
teori ini, yang harus disesuaikan dengan akidah Islam.
3.
Manusia
sebagai mahuk multidimensi dan multipotensi sangat baik jika kita dalami dengan
pemahaman yang sifatnya pengembagan manusia dalam pendidikan Islam. Sebab,
Islam telah memberikan cara dan metode dalam pengembangan manusia dengan
melihat Rasulullah ﷺ, para sahabatnya,
ulama-ulama, serta para khalifah pada zaman kehilafahan memberikan kontribusi
positif dalam keilmuan dan tehnologi. Sehingga pada masa Khilafah bani
Abbasiyah terkenal dengan masa keemasan (The Golden Ages.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman, Hafidz. 2002. Diskursus
Islam Politik dan Spiritual. Jakarta: Wadi Press.
Al Attas, Muhammad Naquib.1996.
Konsep Pendidikan Islam, Terjemahan Haidar Bagir. Bandung: Mizan.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 2013. Peraturan
Hidup dalam Islam, Judul Asli: Nizam al-Islam.
Jakarta: HTI Press.
Amir, Dinasril. 2012. Konsep
Manusia dalam Sistem Pendidikan Islam. Jurnal Al- Ta’lim: Diakses pada laman: http://download.portalgaruda.org/ pada tanggal
01 Oktober 2018 11:19.
Amirudin, Noor. 2018. Filsafat
Pendidikan Islam: Konteks Kajian Kekinian. Gresik:
Caramedia Communication.
Bartens, K. 2017. Filsuf-Filsuf
Besar Tentang Manusia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Dalimunthe, Sehat Sultoni. 2018. Filsafat
Pendidikan Islam: Sebuah Bangunan Ilmu
Islamic Studies. Yogyakarta: Deepublish.
Echols, John M. 1992. Kamus Inggris
Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Hadiwijono, Harun. 1993. Sari
Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Kanisius
Harisah, Afifuddin. 2018. Filsafat
Pendidikan Islam Prinsip dan Dasar Pengembangan.
Yogyakarta: Deepublish
Hasbi, Muhammad. 2010. Pemikiran
Emanasi dalam Filsafat Islam dan Hubungannya
dengan Sains Modern. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Watampone: Jurnal Pemikiran Emanasi
dalam Filsafat Islam, Volume 14 Nomor
3 Tahun 2010.
https://id.wikipedia.org/wiki/Antroposentrisme. dikases pada 05 Oktober 2018.
https://id.wikipedia.org/wiki/Aristoteles. diakses pada 25/10/2018 20:24.
Kusumawardani, Endah. 2012. Jurnal
Kajian Tokoh Filsafat Abad Pertengahan: Plotinus.
http//anzdoc.com diakses pada 05 Oktober 2018.
Langgulung, Hasan 2000. Asas-Asas
Pendidikan Islam. Jakarta: Al Husna Zikrah
Muhadjir, Noeng. 1997. Kuliah
Teknologi Pendidikan. Yogyakarta: P.Ps. IAIN Sunan Kalijaga.
Purwoko, Saktiyono B. 2012. Psikologi
Islami: Teori dan Penelitian. Bandung: Saktiyono
Wordpress.
Roqib, Moh. 2009. Ilmu Pendidikan
Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif Di
Sekolah, Keluarga Dan Masyarakat. Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang
Simanjuntak, Bungaran Antonius. 2014. Korelasi
Kebudayaan dan Pendidikan: Membangun
Pendidikan Berbasis Budaya Lokal. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Suryadi, Rudi Ahmad. 2015. Dimensi-Dimensi
Manusia: Perspektif Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Deepublish.
Weij, Van der. 1998. Filosuf-filosuf
Besar tentang Manusia, terj. K. Bertens. Jakarta:
Gramedia.
Zuhairini, dkk. 1992. Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
[35] Antroposentrisme
adalah paham bahwa manusia adalah spesies paling pusat dan penting daripada
spesies hewan) atau penilaian kenyataan melalui sudut pandang manusia yang
eksklusif. Lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Antroposentrisme, dikases pada 05
Oktober 2018.
Halo Para Players
BalasHapusKami dari Agent judi Online Terpercaya mariong.com
mariong.com menyediakan 4 permainan
Berikut permainannya :
* SLOT GAME
* TEMBAK IKAN
* LIVE CASINO
* TARUHAN BOLA
HUBUNGI KONTAK KAMI :
BBM : onglucky
Whatsapp : +60 17-602 5881
LINE : onglucky
WECHAT : website8899
kunjungi kumpulan video lucu kami ya :
https://funsticky.com
https://thoselab.com
Wah...
HapusApakah ada orang yang kekayaannya memberikan kebahagiaan dari jalan berjudi?