
Oleh: Rendra Fahrurrozie
(FIQH MUNAKAHAT)
(FIQH MUNAKAHAT)
STIT Sirojul Falah BOGOR
A. Latar Belakang
Sungguh Allah SWT adalah Zat Yang Maha Adil. Dengan
aturanNya (syariah Islam), Dia mampu menyelesaikan seluruh masalah manusia.
Khususnya dikarenakan timbulnya naluri melestarikan jenis (gharizah an nau’)
yang menjadikan manusia menikah dan berketurunan, maupun adanya kecacatan,
aib dan rusaknya dari pernikahan tersebut sehingga harus dipisahkan (talaq) dari
pasangan suami istri tersebut. Karna itulah Islam mengatur manusia dalam
interaksinya terhadap lawan jenis dengan sebaik-baiknya agar tidak terjadi
kezaliman diantara keduanya, jika terlihat ada bahaya (dhoror) didalam
perkawinan tersebut meski sudah diikat dengan pernikahan dan memiliki
keturunan, Islam akan hadir dengan solusi perceraian yang tentunya ditempuh
melalui tahapan dan mekanisme sebelum terjadinya perceraian.
Dalam kajian perceraian (talaq) ini, banyak
sebab yang melandasi sepasang suami istri tersebut berpisah. Salah satunya
adalah perihal fasakh dan zhihar yang menjadikan pernikahan yang
harusnya berketurunan dan melahirkan generasi menjadi bermasalah yang pada
akhirnya bercerai (talaq). Fasakh dan Zhihar dalam Islam diatur
dalam masalah-masalah yang timbul oleh salah satu pihak yang menginginkan
pernikahan tersebut berpisah dengan berbagai macam alasan yang dibenarkan oleh syara’.
Akan tetapi dibalik itu semua, fasakh
mungkin menjadi solusi bagi manusia dan zhihar menjadi batasan untuk berhati-hati dalam
berucap dalam pergaulan sehari-hari serta menahan diri dari nafsu amarah pada
diri manusia. Karnanya, ini hal yang sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam
agar kita memahami batasan-batasan syariah dalam berumah tangga maupun akan
melangsungkan pernikahan. Sehingga tujuan dari pernikahan dan shilah ukuwah
antara umat Islam terus terjalin baik, inilah pentingnya kita bermasyarakat dan
beragama yakni bersatu dan tolong menolong dalam kebaikan sesama muslim.
A.
PENGERTIAN FASAKH DAN ZHIHAR
Secara etimologi (bahasa), fasakh artinya
putus atau batal yang berasal dari bahasa arab فسخ - يفسح - فسخا yang
berarti batal atau rusak.[1] Atau juga fasakh
berarti mencabut atau menghapuskan.[2] Fasakh dalam arti terminologi (Istilah), menurut Sayyid Sabiq:
فساخ العقد: نقضه، و حال الرابطة التي تربط بين الزوجين
Memfasakh adalah
membatalkannya dan melepaskan ikatan pertalian antara kami suami isteri.[3]
Menurut Ensiklopedi Islam fasakh ialah
pemutusan hubungan pernikahan oleh hakim atas permintaan suami atau isteri atau
keduanya akibat timbulnya hal-hal yang dirasa berat oleh masing-masing atau
salah satu pihak suami-isteri secara wajar dan tidak dapat mencapai tujuan
pernikahan.[4]
Sehingga dalam fasakh tidak melalui tahapan-tahapan talaq, seperti
talaq satu, dua ataupun tiga.[5]
Timbulnya permintaan fasakh ini, berbagaimacam alasan yang diperbolehkan syara’ untuk mengajukan pembatalan pernikahan. Misalnya, karena antara suami istri terdapat cacat atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau suami tidak dapat memberi belanja/nafkah, menganiaya, murtad dan sebagainya. Begitu pula disebabkan oleh adanya pertengkaran antara suami istri yang tidak mungkin didamaikan yang disebut dengan syiqaq. Ketentuan tentang syiqaq dapat ditemukan dalam firman Allah pada surat An-Nisa’ ayat 35.
Timbulnya permintaan fasakh ini, berbagaimacam alasan yang diperbolehkan syara’ untuk mengajukan pembatalan pernikahan. Misalnya, karena antara suami istri terdapat cacat atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau suami tidak dapat memberi belanja/nafkah, menganiaya, murtad dan sebagainya. Begitu pula disebabkan oleh adanya pertengkaran antara suami istri yang tidak mungkin didamaikan yang disebut dengan syiqaq. Ketentuan tentang syiqaq dapat ditemukan dalam firman Allah pada surat An-Nisa’ ayat 35.
Alasan ini dikarenakan seorang atau
kedua suami/isteri merasa dirugikan oleh pihak itu dalam perkawinannya, juga
karena tidak memperoleh hak-hak yang telah ditentukan oleh syara’ sebagai
seorang suami atau sebagai seorang isteri. Dan apa bila dilanjutkan
pernikahannya, keadaan kehidupan rumah tangga diduga akan bertambah buruk dan
pihak yang dirugikan bertambah buruk keadaannya.
Allah SWT berfirman di dalam Al
Qur’an.
وَإِذَا
طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَبَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمۡسِكُوهُنَّ بِمَعۡرُوفٍ
أَوۡ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعۡرُوفٖۚ وَلَا تُمۡسِكُوهُنَّ ضِرَارٗا لِّتَعۡتَدُواْۚ
وَمَن يَفۡعَلۡ ذَٰلِكَ فَقَدۡ ظَلَمَ نَفۡسَهُۥۚ وَلَا تَتَّخِذُوٓاْ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ
هُزُوٗاۚ وَٱذۡكُرُواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ وَمَآ أَنزَلَ عَلَيۡكُم
مِّنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَٱلۡحِكۡمَةِ يَعِظُكُم بِهِۦۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱعۡلَمُوٓاْ
أَنَّ ٱللَّهَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ ٢٣١
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati
akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma´ruf, atau ceraikanlah
mereka dengan cara yang ma´ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk
memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.
Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap
dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan
ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu
yaitu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu
dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta
ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S Al Baqarah [2]: 231)
Ayat ini
menetapkan bahwa jika dalam kehidupan
suami isteri terjadi keadaan sifat atau sikap yang menimbulkan kemudharatan
pada salah satu pihak, maka pihak yang menderita mudharat dapat mengambil keputusan
untuk memutuskan perkawinan, kemudian hakim memfasakh perkawinan atau
dasar pengaduan pihak yang menderita tersebut dikarenakan syiqaq, atau
pertengkaran diantara suami dan istri sehingga bercerai yang sebelumnya
didatangkan 2 orang hakim dari kedua belah pihak (hakamain) untuk
memberikan keputusan masalah pernikahan ini.. Ini adalah salah satu
sebab yang dapat menjadi alasan fasakh pernikahan. Sehingga akan menjadi
lebih mendalam apabila dijelaskan pada penjelasan prosedur fasakh selanjutnya.
Adapun
mengenai zhihar, secara etimologi (bahasa) berasal dari bahasa Arab الظھار dari kata ظهر yang bermakna
punggung. Adapun pengertian zhihar secara istilah syariah (terminologi) adalah
apabila seorang suami menyamakan isterinya dengan seorang wanita yang haram
dinikahi olehnya selama-lamanya, atau menyamakannya dengan bagian-bagian tubuh
yang diharamkan untuk dilihatnya, seperti punggung, perut, paha dan lainnya.[6] Dengan ucapan:
أنت علي كظھر
أمي
“engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku”.
Ucapan Zhihar ini pada
masa Jahiliyah dipergunakan oleh suami yang bermaksud mengharamkan
menyetubuhi istri (jima’) dan berakibat menjadi haramnya istri itu bagi
suami dan laki-laki selainnya untuk selama-lamanya. Dan pada masa awalan
datangnya Islam, hukum zhihar tersebut tetap berlaku dikalangan kaum
muslimin, hingga Allah SWT menurunkan Q.S Al- Mujadilah ayat 1-4
ketika peristiwa Khaulah binti Tsa’labah yang dizhihar oleh suaminya.
Allah SWT berfirman.
قَدۡ
سَمِعَ ٱللَّهُ قَوۡلَ ٱلَّتِي تُجَٰدِلُكَ فِي زَوۡجِهَا وَتَشۡتَكِيٓ إِلَى ٱللَّهِ
وَٱللَّهُ يَسۡمَعُ تَحَاوُرَكُمَآۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعُۢ بَصِيرٌ ١ ٱلَّذِينَ
يُظَٰهِرُونَ مِنكُم مِّن نِّسَآئِهِم مَّا هُنَّ أُمَّهَٰتِهِمۡۖ إِنۡ
أُمَّهَٰتُهُمۡ إِلَّا ٱلَّٰٓـِٔي وَلَدۡنَهُمۡۚ وَإِنَّهُمۡ لَيَقُولُونَ
مُنكَرٗا مِّنَ ٱلۡقَوۡلِ وَزُورٗاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٞ ٢ وَٱلَّذِينَ
يُظَٰهِرُونَ مِن نِّسَآئِهِمۡ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُواْ فَتَحۡرِيرُ
رَقَبَةٖ مِّن قَبۡلِ أَن يَتَمَآسَّاۚ ذَٰلِكُمۡ تُوعَظُونَ بِهِۦۚ وَٱللَّهُ
بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ ٣ فَمَن لَّمۡ يَجِدۡ فَصِيَامُ شَهۡرَيۡنِ
مُتَتَابِعَيۡنِ مِن قَبۡلِ أَن يَتَمَآسَّاۖ فَمَن لَّمۡ يَسۡتَطِعۡ فَإِطۡعَامُ
سِتِّينَ مِسۡكِينٗاۚ ذَٰلِكَ لِتُؤۡمِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۚ وَتِلۡكَ
حُدُودُ ٱللَّهِۗ وَلِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ ٤
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang
mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada
Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Melihat (1) Orang-orang yang menzhihar
isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah
isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang
melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu
perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun (2) Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka
hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan (3) Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib
atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka
siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang
miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah
hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih (4). [Q.S Al Mujadilah (58): 1-4]
Sebab
turun ayat Zhihar ini ialah kasus permasalahan wanita yang bernama
Khaulah binti Tsa’labah yang di Zhihar oleh suaminya Aus bin Shomit yaitu
dengan mengatakan kepada istrinya : “kamu bagiku sudah seperti punggung ibuku”,
dengan maksud ia tidak boleh menggauli istrinya sebagaimana tidak boleh
menggauli ibunya. Menurut
adat Jahiliyah,
kalimat zhihar seperti itu sudah sama mentalaq istri.
Kemudian Khaulah mengadukan hal itu kepada Rasululllah ﷺ dan beliau
menjawab bahwa dalam hal ini belum ada keputusan dari Allah SWT. Pada
riwayat lain beliau mengatakan : “engkau telah diharamkan bersetubuh dengannya”.
Lalu Khaulah berkata: “suamiku belum menyebut kata-kata talak”.
Berulang kali Khaulah mendesak kapada Rasululllah ﷺ supaya menetapkan suatu keputusan dalam hal
ini, sehingga kemudian turunlah ayat Q.S
Al Mujadilah ini.[7]
B. PROSEDUR FASAKH DAN
ZHIHAR
Jika
kita telaah kembali, fasakh dan zhihar mempunyai prosedur[8]
dalam masalah pernikanan ini. Yang artinya di dalam prosedur tersebut
masing-masing terdapat sebab, syarat, rukun dan hukum syara’ terhadap fasakh
atau zhihar itu.
Sebab-Sebab Fasakh
Fasakh bisa terjadi karena 3 hal: Pertama, tidak terpenuhi syarat-syarat
ketika berlangsung akad nikah atau; Kedua, karena hal-hal lain yang
datang kemudian dan; Ketiga, karena membatalkan kelangsungan perkawinan.[9]
a) Fasakh karena
syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah.
a)
Apabila akad sudah sempurna dan selesai, kemudian diketahui bahwa sang
istri yang dinikahinya ternyata haram dinikahi, misal saudara susuannya, maka
akadnya harus difasakh.
b)
Suami-istri masih kecil, dan diakad
nikahkan oleh
selain ayahnya. Kemudian setelah dewasa ia berhak meneruskan ikatan
perkawinannya dahulu atau mengakhirinya. Khiyar ini dinamakan khiyar al bulugh. Jika yang dipilih
mengakhiri ikatan suami istri, maka hal ini disebut fasakh.
a)
Jika salah satu pasangan
murtad dari Islam, dan tidak kembali pada Islam, maka akad nikahnya otomatis fasakh,
tanpa menunggu keputusan hakim.
b)
Jika isteri masuk Islam,
sedangkan sauminya masih kafir (baik Ahli Kitab maupun Musyrik), maka
akad nikahnya juga otomatis fasakh, tanpa menunggu keputusan hakim.
Tetapi, jika suaminya masuk Islam, sedangkan isterinya tetap kafir, harus
dilihat: Jika kafirnya ahli kitab, maka akad nikahnya tetap sah. Tetapi, jika kafirnya
musyrik, maka akadnya otomasi batal. Dalam hal ini, menurut Sayyid Sabiq,
menunggu keputusan hakim, karena boleh jadi isterinya tidak mau berpisah (Fiqh
Sunnah).
c) Fasakh
disebabkan karena membatalkan
kelangsungan pernikahan dan harus menunggu keputusan hakim.
a)
Syiqaq yaitu adanya pertengkaran antara suami istri yang tidak
mungkin didamaikan.
b)
Jika kedua
pihak saling ber-li’an.
c)
Suami miskin, setelah jelas kemiskinannya oleh beberapa orang saksi yang
dapat dipercaya sehingga tidak sanggup lagi memberi nafkah, baik pakaian,
tempat tinggal maupun maharnya belum dibayarkan sebelum dhukhul.
d) Jika istri disetubuhi oleh
ayah atau kakeknya karena faktor ketidaksengajaan maupun menzinahinya.[11]
e)
Pernikahan yang dilakukan
oleh wali dengan laki-laki yang bukan jodohnya (sekufu). Misalnya pernikahan budak dengan
merdeka, penzina dengan orang terpelihara dan sebagainya.
f)
Terjadinya penipuan diantara keduanya.
g)
Salah satunya mengidap penyakit berbahaya.
Dalam fasakh,
memang ada yang otomatis bisa dibatalkan pernikahnnya, dan ada yang memerlukan
persetujuan hakim. Karena menurut ijma' ulama, fasakh sebagai
tuntutan perpisahan yang disebabkan adanya aib, harus melalui keputusan hakim
dan laporan dari orang yang berpihak pada kemaslahatan, karena perpisahan
tersebut merupakan permasalahan yang memerlukan ijtihad dan masih
dipertentangkan oleh kalangan fuqaha, sehingga membutuhkan keputusan
hakim untuk menghilangkan perbedaan. Selain itu juga disebabkan karena pasangan
suami istri itu telah berselisih mengenai tuduhan ada dan tidaknya cacat/aib
yang dituduhkan tersebut, dan berselisih mengenai apaakah kenyataan dari
cacat-cacat tersebut dapat menyebabkan fasakh atau tidak.[12]
Hukum Syariah Terhadap Fasakh
Syariah
membolehkan fasakh pernikahan. Bagi seorang istri yang mukallaf (balligh
dan berakal) kepada suaminya yang kesulitan nafkah dan kebutuhan hidup
lainnya. Juga karena suami tidak mampu
membayar mahar secara kontan atau sebagian sebelum menjima’ istri.
Dan fasakh
tidak bisa dilakukan setelah istri dijima’, dan bagi istri yang masih kecil
(belum baligh) walaupun sudah dijima’ boleh memfasakh suaminya
jika istri telah beranjak dewasa (baligh). Tapi jika istri telah
menerima sebagian mahar, maka istri tidak boleh memfasakh. Dan yang
perlu diperhatikan, bahwa ketidakmampuan suami dalam memberi nafkah dapat
dibuktikan jika tidak adanya harta suami dalam jangka waktu tiga hari.
Syarat-Syarat Zhihar
Adapun
mengenai Zhihar, mempunyai syarat dan rukun di dalamnya sehingga
perbuatan ini menjadikan pernikahan tersebut menjadi bermasalah. Syarat-syarat zhihar menurut ulama madzhab Syafi’i
adalah:
1.
Syarat Muzhahir atau pelaku zhihar, adalah:
Suami, berakal sehat (tidak gila); kehendak sendiri (tidak terpaksa).
2.
Syarat Muzhahar minha atau perempuan yang dizhihar. adalah istri.
3.
Syarat Musyabbah bih (sosok yang dijadikan
penyerupaan).
a)
Harus perempuan.
b)
Harus perempuan mahram yang
tidak halal dinikah karena
nasab seperti ibu, anak permepuan, atau karena sesusuan.
nasab seperti ibu, anak permepuan, atau karena sesusuan.
c)
Wanita itu tidak halal sebelumnya.
Seperti perempuan yang
dinikah oleh ayahnya sebelum atau bersamaan dengan
kelahirannya.
dinikah oleh ayahnya sebelum atau bersamaan dengan
kelahirannya.
4.
Syarat Sighat (lafaz) adalah harus berupa kata
atau kalimat
yang mengandung arti zhihar. Ada 2 macam, yakni:
yang mengandung arti zhihar. Ada 2 macam, yakni:
a)
Zhihar sharih (ekplisit/jelas)
yaitu kalimat yang sudah umum
diketahui dipakai untuk arti zhihar seperti "kamu bagiku
bagikan punggung ibuku" atau "kepalamu bagiku seperti
punggung ibuku" atau "... seperti tangan ibuku".
diketahui dipakai untuk arti zhihar seperti "kamu bagiku
bagikan punggung ibuku" atau "kepalamu bagiku seperti
punggung ibuku" atau "... seperti tangan ibuku".
b)
Zihar kinayah (implisit/kiasan/implisit) yaitu kalimat yang tidak umum
dipakai untuk zhihar. Seperti "Engkau seperti ibuku"
atau "Engkau seperti mata ibuku" dan kalimat lain yang bisa
dipakai untuk zhihar dan memuji. Zihar kinayah tidak terjadi
kecuali dengan niat.
Rukun Zhihar
Rukun zhihar
ada 4 (empat) yaitu: (a) muzhahir (pelaku zihar) yaitu suami; (b) muzhahar
minha (yang dizhihar) yaitu istri; (c) musyabbah bih (orang yang
dijadikan penyerupaan) yaitu wanita mahram; (d) shighat atau
lafal (lafaz) atau kalimat zhihar.
Perbedaan dan Persamaan Antara Zhihar dan Talaq
Perbedaan
diantara keduanya adalah: orang laki-laki dizaman jahiliah berkata
kepada istrinya: kamu seperti punggung ibuku. Dengan kata-kata itu
wanita menjadi tertalaq. Akan tetapi dalam Islam tidak sampai pada talaq,
hanya menjadikan suami haram bagi istrinya hingga ia membayar kafarat (tebusan).
Persamaan
zhihar dengan talaq: adalah masing-masing menghilangkan kehalalan
istri bagi suaminya untuk melakukan hubungan badan. Hanya saja perbedaan zhihar
tidak dianggap talaq dan tidak terhitung dalam jumlah bilangan talaq.
Sedangkan zhihar bisa ditebus dengan kafarat yang telah
ditetapkan.
C. AKIBAT-AKIBAT FASAKH
DAN ZHIHAR
Akibat Hukum dari Fasakh Pernikahan
Akibat
hukum yang ditimbulkan akibat putusnya pernikahan secara fasakh adalah:[13]
1.
Suami tidak
boleh ruju’ kepada mantan istrinya selama istrinya masih menjalani masa iddah,
hal ini disebabkan karena perceraian yang terjadi secara fasakh ini
berstatus ba’in sughra.[14]
2.
Apabila
keduanya berkeinginan untuk melanjutkan pernikahan kembali, mereka harus
melakukan akad nikah yang baru, baik dalam waktu mantan istri sedang dalam masa
iddah maupun setelahnya.
3.
Akibat yang lain dari fasakh itu adalah tidak mengurangi
bilangan thalaq. Hal ini menunjukkan bahwa hak si suami untuk men-thalaq
istrinya maksimal adalah tiga kali, maka tidaklah berkurang dengan adanya fasakh. Dalam bahasa sederhana, fasakh boleh terjadi bekali-kali tanpa batas.
Pada dasarnya fasakh itu
dilakukan oleh hakim atas permintaan dari suami atau dari istri. Namun adakalanya fasakh itu terjadi dengan sendirinya tanpa
memerlukan hakim, seperti suami istri ketahuan senasab atau sepersusuan.
Akibat Hukum dari Zhihar
Zhihar adalah haram dan berdosa, walaupun tidak berarti bahwa telah terjadi
perceraian antara kedua suami istri tersebut. Perbuatan ini harus dijauhi oleh suami. Bagi yang terlanjur melakukannya, maka ada akbibat yang timbul setelahnya,
yaitu:
a)
Selama
suami belum membayar kaffarat zhiharnya, selama itu pula istrinya itu
haram dicampurinya.
b)
Suami
wajib memenuhi kafarat zhihar, yakni ada tiga macam yaitu:
1)
Memerdekakan
budak (hamba sahaya) kalau ada dan mampu; atau
3)
Memberi
makan 60 (enampuluh) orang miskin.
c)
Ditetapkan
waktu menunggu bagi istri yaitu selama empat bulan dengan dasar mengqiyaskan
waktu menunggu zhihar kepada waktu menunggu illa’.[16]
D. PENYELESAIAN HUKUM FASAKH
DAN ZHIHAR
Penyelesaian Hukum Fasakh
Akibat hukum yang ditimbulkan setelah terjadi fasakh
adalah hukum thalaq ba’in sughra, dimana si suami boleh melanjutkan perkawinannya
kembali dengan mantan istrinya dengan akad nikah yang baru tanpa memerlukan muhalli
(orang yang menghalalkan), baik dalam masa iddah si istri maupun
tidak.
Dalam
penyelesaian proses penyelesaian masalah fasakh yang harus diselesaikan
pada hakim, terdapat persyaratan persyaratan tertentu yaitu:
1.
Mengajukan perkara kepada
hakim atau pengadilan.
2.
Keadaan suami sudah mukallaf.
3.
Pihak istri keberatan
dengan keadaan cacat/aib suaminya, demikian pula pihak suami merasa keberatan
terhadap aib/cacat istri.
Penyelesaian Hukum Zhihar
Adapun penyelesaian hukum pada zhihar, ada
beberapa kondisi.
1.
Suami harus memenuhi kafarat
(tebusan) yang telah dijelaskan Asy Syari’ dengan tidak terjadinya talaq.
Penyelesaian zhihar oleh suami dengan batasan 4 bulan dengan pengqiyasan
pada kasus ila’ sebagaimana telah disebutkan diatas. Sehingga istri
tidak mengantung statusnya karna pengharaman jima’.
2.
Jika suami berpendapat
bahwa jika memperbaiki kembali hubungan dengan istrinya tidak memungkinkan dan
menurut pertimbangannya bercerai itu jalan yang terbaik, maka hendaklah suami menjatuhkan
talaq kepada istrinya.
3.
Tetapi apabila suami tidak
mencabut kembali zhiharnya, dan tidak pula menceraikan istrinya, maka
setelah berlalu masa empat bulan sejak diucapkan zhihar, maka hakim menceraikan
antara keduanya sebagai talaq ba’in.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet. 1989. Fikih Munakahat II. Bandung:
Pustaka Setia.
Alislamu.com, Apa itu Fasakh Dalam Pernikahan, (https://www.alislamu.com/9722/apa-itu-fasakh-dalam-pernikahan/),
diakses pada 14 Desember 2018. Yang
sumber rujukannya dari Fiqh Sunnah dan
Al Mughni (Ibnu Qudamah).
Asy Syafie. 2007. Ringkasan Kitab Al Umm. Jakarta:
Pustaka Azzam.
Az Zuhaily, Wahbah. Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz
IX.
Depag RI 1992/1993. Ensiklopedi Islam di Indonesia.
Jakarta: Arda Utama.
Muchtar, Kamal. 1993. Asas – Asas Hukum Islam Tentang
Perkahwinan. Jakarta : Bulan
Bintang.
Mughniyah, Muhammad Jawad, Masykur AB dkk (penerjemah).
2011. Fiqih Lima Mazhab: Ja'fari, Hanafi, Maliki,
Syafi'i, Hambali, Al Fiqh ‘ala al Madzahib al
Khamsah, cet. ke 27. Jakarta: Lentera.
Munawir, Ahmad Warso. 1996. Kamus Indonesia – Arab.
Jakarta: Pustaka Progresif.
Sabiq, Sayyid. 1992.
Fiqih As-Sunnah, jilid 2. Beirut: Dar Al-Fikr.
Said, Fuad. 1994. Perceraian Menurut Hukum Islam.
Jakarta; Pustaka Al Husna, 1994
Syarifuddin, Amir. 2010. Garis-Garis Besar Fiqh.
Jakarta: Kencana.
Uwaidah, Kamil Muhammad. 1998. Fiqih Wanita.
Jakarta : Pustaka Kauthar.
[10]
Alislamu.com, Apa itu Fasakh Dalam Pernikahan, (https://www.alislamu.com/9722/apa-itu-fasakh-dalam-pernikahan/),
diakses pada 14 Desember 2018. Yang sumber rujukannya dari Fiqh Sunnah dan Al
Mughni (Ibnu Qudamah).
[15] Menurut
madzhab Syafi'i seorang dianggap tidak mampu puasa dua bulan berturut-turut
apabila memenuhi salah satu dari empat syarat yaitu: (a) menderita sakit yang
menurut dokter akan terjadi selama dua bulan atau menurut kebiasaannya, apalagi
kalau sakit parah yang sulit sembuh; (b) dikuatirkan sakitnya tambah parah
karena puasa; (c) mengalami kesulitan berat kalau harus puasa selama 60 hari
dalam arti tidak mampu menanggungnya; (d) memiliki kelemahan tertentu seperti
tidak bisa menahan diri untuk melakukan hubungan intim selama masa puasa.
Apabila demikian, maka kafarat pindah ke yang ketiga yaitu memberi makan
60 orang miskin.
0 komentar: