
Oleh: Rendra Fahrurrozie
Abstrak
Pada Jumat, 20 Oktober 2017 mendatang
genap 3 tahun masa kepemimpinan kekuasaan negara oleh Presiden Joko Widodo dan
Wakil Presiden Jusuf Kalla. Banyak lika-liku yang terjadi dinegeri ini pada
masa kepemimpinannya. Ada yang pro dan ada juga yang kontra terhadap gaya
kepemimpinannya.
Sebab itulah, kepemimpinan adalah
hal yang sangat penting dalam Islam, sehingga menjadi kebutuhan mendesak yang
harus terpenuhi untuk mengatur pelbagai kewajiban-kewajiban yang Allah SWT
bebankan kepada manusia pada umumnya, dan untuk umat Islam pada khususnya untuk
hidup bersama dalam kedamaian.
Kepemimpinan seperti apakah
yang semestinya kita dapatkan saat ini sehingga pelbagai kewajiban-kewajiban
(taklif) dari Allah SWT dapat terpenuhi secara baik dan benar? Inilah yang kita
perlukan saat ini, karna tugas kita dilahirkan dari rahim ibunda kita adalah
untukNya dan sebagai Khalifah (pemakmur) di bumi sehingga terwujud negeri
Thoyyibatun Wa Rabbun Ghofur.
Pendahuluan
Secara umum, kepemimpinan (leadership)
adalah kegiatan manusia dalam kehidupan. Secara bahasa (etimologi),
kepemimpinan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata dasar “pimpin”
yang jika mendapat awalan “me” menjadi “memimpin” yang berarti
menuntun, menunjukkan jalan dan membimbing[1].
Adapun definisi secara
istilah (terminologi), kepemimpinan adalah seni mempengaruhi orang lain
untuk menyelesaikan tugas, tujuan atau proyek dengan kinerja maksimal yang
mereka miliki.[2]
Pemimpin dalam Islam, sering
pula disebut dengan nama Ulil Amri. Allah SWT telah memberikan kewajiban
kepada kita untuk taat kepada pemimpin (Ulil Amri) dalam menjalankan
amanahnya memenuhi kebutuhan dan membantu manusia untuk memenuhi kewajibannya
untuk taqwa kepada Allah SWT. Yakni di dalam Al Qur’an sebagai berikut.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ
مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ
إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ
تَأۡوِيلًا ٥٩
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS.
An Nisa: 59)
Dari
ayat ini Islam telah memberikan kewajiban kepada umat Islam untuk taat dan
patuh kepada pemimpin, yang kepatuhannya tidaklah secara mutlak seperti
ketaatan kepada Allah SWT dan RasulNya.[3]
Ada
syarat-syarat yang membatasi ketaatan dan kepatuhan kepada pemimpin, seperti:
1. Komitmen pemimpin kepada
syari’at Islam dengan menerapkannya dalam kehidupan.
Ali bin Abi Thalib berkata,
“Wajib bagi imam (pemimpin) memerintah dengan aturan yang diturunkan Allah SWT
dan menyampaikan amanah. Apabila ia melaksanakan demikian, maka wajib bagi
rakyat menaatinya.” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, No. 3319 dengan isnad
yang shahih).
Demikian jika mafhum
mukhallafah-nya jika tidak berkomitmen untuk menjadikan Asy Syari’
adalah Allah SWT tetapi hawa nafsu (akal) semata.
2. Adil dalam kepemimpinannya.
Sebagaimana ayat Al Qur’an
sebelum An Nisa: 59 diatas. Yakni QS. An Nisa: 58 berikut firman Allah ta’ala:
۞إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ
إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ
إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعَۢا بَصِيرٗا
٥٨
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Adalah pemimpin yang
senantiasa menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar dan menjauhkan
atas yang dipimpinnya dari kemaksiatan dan kezaliman. Bukan membiarkannya, atau
bahkan memfasilitasinya.
3. Nampak kekufuran nyata
dalam kepemimpinannya.
Dalam Tafsir Ibnu Katsir,
mengenai tafsir QS. An Nisa : 59 terdapat penjelasan mengenai Ulil Amri diantaranya
hadis berikut:
“Terkecuali jika kalian
melihat kekufuran secara terang-terangan dikalangan kalian, dan ada bukti dari
Allah mengenainya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Negeri Thoyyibatun Wa Rabbun Ghofur
Dua
bulan yang lalu, Indonesia telah genap berusia 72 tahun menjalankan roda
pemerintahan dengan mengadopsi sumber hukum positif sebagai landasan bernegara.
Dengan Visi bangsa adalah Pancasila sebagai perwujudan komitmen seluruh rakyat
Indonesia dengan kelima silanya yang disakralkan.
Silih
berganti pemimpin yang menjadi pucuk tertinggi dalam bernegara, dari era orde
lama (20 tahun) kemudian orde baru (33 tahun), dan saat ini adalah orde
Reformasi (19 tahun). Dengan gaya kepemimpinan yang khas dari tiap Presidennya
masing-masing. Ini menjadi hal yang menarik kita kaji, sebab hingga kini arah
kebijakan penguasanya menjadi topik utama dikalangan rakyat Indonesia.
Umat
Islam adalah rakyat terdepan dalam membangun bangsa Indonesia, sebelum dan
sesudah Indonesia merdeka. Bahu membahu umat Islam dan para ulamanya mengusir
penjajah dan membangun bangsa ini untuk mewujudkan negeri yang Thoyyibatun
Wa Rabbun Ghofur.
Istilah
Thoyyibatun Wa Rabbun Ghofur, terdapat dalam Al-Qur’an yang
menggambarkan Negeri Saba’ yang subur dan makmur di bawah kepemimpinan Raja
Dawud dan Putranya Sulaiman dengan penduduknya
yang selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah kepada mereka.
Allah SWT berfirman:
لَقَدۡ
كَانَ لِسَبَإٖ فِي مَسۡكَنِهِمۡ ءَايَةٞۖ جَنَّتَانِ عَن يَمِينٖ وَشِمَالٖۖ
كُلُواْ مِن رِّزۡقِ رَبِّكُمۡ وَٱشۡكُرُواْ لَهُۥۚ بَلۡدَةٞ طَيِّبَةٞ وَرَبٌّ
غَفُورٞ ١٥
“ Sesungguhnya bagi kaum
Saba´ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah
kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan):
"Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah
kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbhun Ghaffur." (QS. Saba’: 15).
Negeri
yang makmur dan damai diungkapkan dengan kalimat Baldatun Thoyyibatun wa
rabbhun ghaffur, secara bahasa berarti: ”Negeri yang baik dengan rabb Yang
maha pengampun”. Makna “Negeri yang baik (Baldatun Thoyyibatun)” bisa mencakup
seluruh kebaikan alamnya, dan “Rabb yang maha pengampun (Rabbun Ghafur)” bisa
mencakup seluruh kebaikan perilaku penduduknya sehingga mendatangkan ampunan
dari Allah SWT.[4]
Sekularisme
Menginfeksi Kepemimpinan di Indonesia
Sejak para pendiri bangsa
pasca kemerdekaan (1945) hingga kinipun, perdebatan tentang model sistem
pemerintahan menjadi hal yang utama dan penuh intrik politik sehingga yang
dapat memenangkan adalah politik yang menjadikan egoisme kekuasaan sebagai alat
untuk menyingkirkan lawan politiknya.
Dari perdebatan tentang rapat
BPUPKI, rapat PPKI, piagam Jakarta, Nasakom, UU Suversif, dan kini Perppu Ormas
No. 2 tahun 2017 menjadikan rakyat Indonesia terus dalam perdebatan panjang dan
dalam kungkungan tuduh menuduh tak berujung dengan mengorbankan anak bangsa
sendiri.
Seolah ada ‘produser dan
sutradara’ yang menjadikan kita rakyat Indonesia tetap dalam kesibukan antara
rakyat dan penguasanya sendiri. Dengan menancapkan virus-virus yang menginfeksi
bangsa Indonesia tapi dilain tempat mereka asyik menjarah dan ‘mencaplok’
sumber-sumber kekayaan negeri ini.
Sekularismelah yang telah menjadikan
kita terus larut dalam kubangan ini. Seolah tak maju-maju dengan pemikiran statis
dan konsumtif. Padahal anak bangsa banyak menelurkan penemuan-penemuan canggih
yang tak tersentuh oleh peran negara sebagai fasilitator mereka. Oleh sebab,
negara banyak menanggung beban hutang yang sangat banyak dan masalah yang
kompleks.
Kepemiminan adalah kunci dari
semua itu. Sebab, yang mengatur kehidupan organisasi besar yang bernama negara,
setiap jengkal tanah, hamparan laut serta gunung yang menjulang tinggi semua
dalam kekuasaan kepemimpinan itu. Diatur dalam gaya dan kekhasan kepemimpinan
itu.
Lantas bagaimana jika
kepemimpinan itu justru terinfeksi sekularisme? Sungguh, akan jauhlah dari
keberkahan dan keadilan. Sebab, Allah SWT dan RasulNya tidak lagi menjadi
mutlak sebagai rujukan utama tetapi sebagai pilihan (opsi) dari beberapa
pilihan hukum yang lain.
Inilah yang menyebabkan
negeri kita, yang tercinta ini terus dalam ketidak jelasan arah politiknya.
Diawal berdiri condong ke haluan kiri (Komunisme-Sosialisme), pertengahan
menjadi Liberalisme, selanjutnya menjadi Neo Liberalisme dan kini menjadi
cenderung menjadi Kapitalisme gaya baru dengan polesan haluan kiri.
Padahal, Allah SWT telah
memberikan kabar untuk kita, manusia Indonesia dan umat Islam pada khususnya
untuk terus menyembah Allah SWT dalam setiap jengkal persoalan, dan semuanya
dalam rangka ketaatan padaNya dengan penuh keikhlasan. Sebagaimana firman Allah
SWT.
وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا
لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ ٥
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS.
Al-Bayyinah: 5)
Sedangkan keikhlasan adalah
murni untuk Allah SWT dengan cara-cara yang benar (sesuai syariat). Inilah awal
dari mewujudkan negeri Thoyyibatun Wa Rabbun Ghofur. Bukan dengan
mengindahkan aturanNya dan memakai aturan selainNya (sekularisme).
KEPEMIMPINAN ISLAM: Solusi Pasti Wujudkan Baldatun Thoyyibatun
Wa Rabbun Ghofur
Dalam teknis kepemimpinan, William
A. Cohen dalam bukunya The New Art of The Leader mengatakan ada 8
(delapan) hukum kepemimpinan Universal yang dapat diterapkan untuk memimpin
kelompok apapun, bahkan negara.[5]
Yaitu:
1.
Memelihara Integritas Diri
Secara Mutlak. Ini adalah fondasi bagi semua kepemimpinan. Jika tidak menjaga
integritas, maka kepercayaan oleh bawahan (rakyat misalnya) akan tidak
didapatkan.
2.
Menguasai bidang keahlian.
Bawahan (rakyat) tidak akan peduli apakah kita ahli dalam politik
organisasi/negara. Yang mereka inginkan adalah ahli dalam hal yang
menyelesaikan pekerjaan/masalah.
4.
Memperlihatkan Komitmen Yang
Luar Biasa. Jika Anda tidak berkomitmen, pun demikiannya dengan orang lain
(rakyat/bawahan). Jika Anda tidak berkomitmen Luar biasa, pun demikiannya
dengan orang lain (rakyat/bawahan).
5.
Mengharapkan Hasil Positif.
Jika Anda berharap sukses ataupn gagal, ataupun keadaaan buruk sekalipun,
tetaplah mengharapkan hasil yang positif.
6.
Mengayomi Bawahan. Jika Anda
menjaga dengan baik bawahan (rakyat) mereka juga akan menjaga Anda. Jika Anda
mengabaikan mereka, maka mereka pun akan mengabaikan Anda.
8.
Menyiagakan Diri Digaris
Terdepan. Jangan menunggu laporan hanya di bilik ruangan Anda. Keluarlah agar
Anda tidak saja mendegar, tapi melihat segala hal. Dengan begitu, Anda tidak
saja mengetahui apa yang sedang terjadi tetapi bawahan (rakyat) mengetahui
bahwa Anda berkomitmen tinggi.
Dalam tataran Ideologis, adalah hal yang
positif jika Indonesia beralih pada kepemimpinan Islam. Sebab Islam akan
menjadikan penduduknya ber-akhlak Al karimah. Sebagaimana akhlak Rasul
SAW yakni Al Qur’an.[6]
Yang telah Beliau SAW dan para Khulafur Rasyidin berikan tauladan kepada kita
bagaimana menjalankan kepemimpinan dan menjadi pemimpin yang baik dan sukses,
tidak hanya sukes di dunia akan tetapi sukses di akhirat kelak.
Dengan tiada kezaliman, penuh dengan keadilan
dan kesejahteraan rakyatnya. Sehingga tuduhan bahwa kepemimpinan Islam itu
menghancurkan (destruktif) tidaklah benar. Tudingan destruktif ini persis
seperti perkataan Fir’aun terhadap Musa as dalam Al Qur’an.
وَقَالَ
فِرۡعَوۡنُ ذَرُونِيٓ أَقۡتُلۡ مُوسَىٰ وَلۡيَدۡعُ رَبَّهُۥٓۖ إِنِّيٓ أَخَافُ أَن
يُبَدِّلَ دِينَكُمۡ أَوۡ أَن يُظۡهِرَ فِي ٱلۡأَرۡضِ ٱلۡفَسَادَ ٢٦
“Dan berkata Fir´aun (kepada
pembesar-pembesarnya): "Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia
memohon kepada Tuhannya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar
agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi" (QS. Al Ghafir: 26)
Sungguh, kesalahan besar jika Kepemimpinan
Islam membawa kerusakan. Justru selama 1300 tahun, kepemimpinan Islam secara
faktual memberikan pembangunan (konstruktif) dan kedamaian bagi manusia yang
menjadi warganya atau bukan.
Selain itu, kalimat Baldatun Thoyyibatun Wa
Rabbun Ghofur itu terdapat didalam Al Qur’an, maka sejatinya hanya Al
Qur’an-lah yang mampu mewujudkannya. Dalam kepemimpinan Islam yang menerapkan
Islam secara kaffah.
Wallahu’alam Bishowab.
Daftar Pustaka
Al Qur’an Al Karim
Cohen. William A. Ph.
D, The New Art of The Leader, 2011.
[1] Wahyu
Wijaswanto, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1999),
hal : 769.
[2] William
A. Cohen, Ph. D, The New Art of The Leader, 2011, hal. 15
[3]
Hilal, S. (2005). “Ketaatan Pada Pemimpin“, Rubrik: Taujihat.
[4] Muhammad
Muslih, pada laman: http://www.suaramuhammadiyah.id/2017/01/26/negeri-baldatun-thoyibatun-warabun-ghofur/,
diakses pada 15 Oktober 2017 11:06
[5] William
A. Cohen, Ph. D, The New Art of The Leader, 2011, hal. 56-57
[6]
Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika ditanya oleh Sa’d bin Hisyam
bin Amir tentang akhlak Rasulullah SAW ia menjawab: “Akhlak beliau adalah
Al-Qur`an. Tidakkah engkau membaca firman Allah SWT ‘Sungguh engkau berbudi
pekerti (khuluq) yang agung’?” (QS. Al Qalam: 4) Qatadah mengatakan, Ia
(“Khuluq” dalam Ayat ini) adalah sesuatu yang beliau laksanakan dari perintah
Allah dan sesuatu yang beliau jauhi dari larangan Allah, dan makna Ayat di
atas: Sesungguhnya engkau benar-benar berakhlak
dengan akhlak yang diperintahkan Allah dalam Al-Qur`an.
0 komentar: