Kamis, 10 Agustus 2017

SEJARAH PENULISAN DAN KODIFIKASI AL QUR’AN

Hasil gambar untuk al quran

Oleh: Rendra Fahrurrozie | STIT SIROJUL FALAH BOGOR


Al Qur’an adalah kitab suci yang Allah turunkan kepada Nabi dan Rasul-Nya Muhammad SAW Tiada yang meragukan bahwa Al­Qur’an sebagai pedoman hidup umat Islam, diturunkan kepada manusia pilihan Nabi Muhammad SAW sebagai mukjizat yang diberikan Allah. Tentunya sejarah mengenai kodifikasi (penghimpunan) dan penulisan Al Qur’an menjadi sangat penting dipelajari oleh umat Islam.

Wahyu Allah ini diturunkan untuk dijadikan sebuah tuntunan dalam kehidupan manusia. Malaikat Jibril a.s sebagai perantara yang terpercaya menyampaikan wahyu-wahyu Allah ke dunia secara bertahap Al Qur’an diturunkan, selama 22 tahun 6 bulan 23 hari, merupakan waktu yang tidak sebentar. Sebutan nama-nama lain seperti Al Huda, Al Furqan, Al Kitab, Adz Dzikru, As Syifa, dan banyak yang lainnya, menambah keistimewaan Al Qur’an.

Al Qur’an yang diturunkan dalam bahasa Arab ini telah ditulis dengan sangat hati-hati agar terpelihara secara ketat untuk mencegah kemungkinan terjadinya manipulasi isi didasarkan pada sanad (rangkaian kabar) yang mutawatir (kabarnya pasti).

Masa Rasulullah صلى الله عليه وسلم Al Qur’an belum menjadi satu kesatuan dalam bentuk mushaf. Dari Zaid bin Tsabit yang mengatakan, Di kediaman Rasulullah kami dahulu menyusun ayat-ayat al-Qur'an yang tercatat pada riqa’ ” (Al Bukhari dan Muslim). Riqa’ diartikan sebagai lembaran kulit, lembaran daun atau lembaran kain. Kodifikasi Al Qur'an pun diteruskan oleh para Sahabat, Abu Bakar Ash-Shidiq dan Utsman bin Affan adalah Sahabat yang masyhur mengenai perjalanan al­Qur’an hingga menjadi sebuah mushaf.

Sebagai bagian dari kaum muslim, sudah seharusnya kita mengetahui kodifikasi dan penulisan Al Qur’an dari waktu ke waktu. Oleh karnanya, “Sejarah Penulisan dan Kodifikasi Al Qur’an” ini penting sekali. Untuk mebuktikan bahwasanya Al Qur’an yang ada pada saat ini merupakan Al Qur’an yang sama diturunkan oleh Allah SWT.


Pengertian Penghimpunan (Kodifikasi) Al­ Qur’an

Kodifikasi Al Qur’an mempunyai dua pengertian, kedua­-duanya disebut dalam nash
Dalam Al Qur’an Allah telah berfirman:
إِنَّ عَلَيۡنَا جَمۡعَهُۥ وَقُرۡءَانَهُۥ ١٧ 
Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penghimpunannya (di dalam dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.” [QS. Al Qiyamah : 17]

Ayat di atas kita mengetahui bahwa arti penghimpunan bermakna “penghafalan”. Bahwa Allah SWT telah memberikan karuniaNya kepada Nabi Muhammad sebagai penghafal Al Qur’an yang pertama tertanam dalam dada atau qalbu. Beliau dikenal sebagai Sayyidul Huffadz dan Awwalul­Jumma’, manusia pertama penghafal al­Qur’an tak ada bandingannya.
            
Arti lain dari penghimpunannya (jam’ahu) ialah “penulisan” yakni, penulisan seluruh Al Qur’an yang memisahkan masing­masing ayat dan surah; atau hanya mengatur susunan ayat-ayat Al Quran saja dan susunan tiap surah shahifah tersendiri. Sebagaimana terdapat dalam Al Qur’an Allah berfirman:

وَلَوۡ نَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ كِتَٰبٗا فِي قِرۡطَاسٖ فَلَمَسُوهُ بِأَيۡدِيهِمۡ لَقَالَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ إِنۡ هَٰذَآ إِلَّا سِحۡرٞ مُّبِينٞ ٧ 

“Dan kalau kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat menyentuhnya dengan tangan mereka sendiri, tentulah orang-­orang kafir itu berkata:’Ini tidak lain hanyalah sihir belaka’.” [QS. Al­An’am : 7]

Ayat tersebut menerangkan bahwa Al Qur’an tidak ditulis dalam sebuah kertas dengan arti lain belum dibukukan. Dengan demikian arti penghimpunan bermakna “penulisan” jelas adanya. Bahwa proses penulisan terjadi karena kehendak manusia.


Menurut Al ­Zarkani bahwa kodifikasi Al Qur’an ada dua media. Pertama, penghafalan dan penjagaan dalam dada dengan medianya ialah hati dan dada. Kedua, penulisan secara keseluruhan, huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat dalam shahifah­-shahifah dan lembaran­lembarannya.
 
Dengan demikian bahwa penghimpunan atau kodifikasi Al Qur’an merupakan suatu cara agar Al Qur’an itu mejadi satu-kesatuan wahyu Allah dalam sebuah mushaf. Adapun caranya yaitu melalui penghafalan dan penulisan yang penukilannya yakni memindahkan materi yang sama dari sumber asli ke dalam mushaf.

Penghimpunan Al­ Quran Pada Masa Nabi Muhammad SAW

Rasulullah mempunyai beberapa orang pencatat wahyu. Diantarannya, empat orang sahabat yang kemudian menjadi para Khalifah Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali) Mu’awiyah, Zaid bin Tsabit, Khalid bin Al Walid, Ubay bin Ka’ab dan Tsabit bin Qais. Beliau menyuruh mereka mencatat setiap wahyu yang turun, sehingga Al Qur’an yang terhimpun di dalam dada menjadi kenyataan tertulis.

Semasa Nabi Muhammad pengumpulan Al Qur’an dilakukan dengan dua cara, yakni dengan hafalan dan penulisan dalam lembaran (shuhuf). Al Qur’an secara lisan telah dinukil melalui hafalan dari Nabi Muhammad kepada para sahabat. Dalam Al Qur’an Allah berfirman :

 فَإِذَا قَرَأۡنَٰهُ فَٱتَّبِعۡ قُرۡءَانَهُۥ ١٨  ثُمَّ إِنَّ عَلَيۡنَا بَيَانَهُۥ ١٩ 
“Apabila kami telah selesai memebacakannya maka ikutilah bacaan itu kemudian sesungguhnya atas tanggungan kami penjelasannya”. [QS. Al Qiyamah : 18-­19]

Ketika Rasul menyampaikan wahyu, beliau meminta sahabatnya agar dihafalkan dan juga meminta para penulis wahyu kuttab al wahy untuk menulisnya.

Jumlah penulis wahyu menurut Al Katani adalah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib adalah penulis wahyu Rasulullah . Jika keduanya tidak ada maka Ubay bin Kaab dan Zaid bin Tsabit yang menulis. Ubay adalah salah satu penulis wahyu sebelum Zaid, sedangkan Zaid adalah orang yang menugaskan para sahabat untuk menulis wahyu. Jika Ubay tidak hadir, Rasulullah akan memanggil Zaid bin Tsabit. Jika salah seorang diantara mereka tidak hadir wahyu akan ditulis oleh siapapun yang hadir diantara mereka, seperti Muawiyah, Jabir bin Said bin Al Ash, Iban bin Said, Al ‘Ala Al Hadhrami, Handlalah bin Arrabi.

Namun ketika penulisan Al Qur’an ini dilakukan oleh para penulis wahyu ketika itu orang Arab belum mengenal kertas. Istilah waraq pada zaman itu digunakan untuk menyebut daun kayu, sedangkan qirthas digunakan untuk benda­benda untuk menulis, seperti kulit binatang, batu tipis, pelepah kurma, tulang belulang, dan lain-­lain. Setelah itu materi yang ditulis tadi disimpan pada rumah Rasulullah . Semua itu telah terkumpul dalam bentuk lembaran-­lembaran. 

Allah telah berfirman di dalam Al Qur’an:
 رَسُولٞ مِّنَ ٱللَّهِ يَتۡلُواْ صُحُفٗا مُّطَهَّرَةٗ ٢ فِيهَا كُتُبٞ قَيِّمَةٞ ٣ 
“Yaitu seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran­lebaran yang disucikan (Al Qur’an) didalamnya terdapat (isi) kitab­kitab yang lurus.” [QS. Al Bayyinah: 2­-3]

Mengenai penulisan rasm dan susunan ayat­-ayat dan susunan ayat­-ayat dalam surat Al Qur’an semuanya telah diatur oleh Allah SWT. Utsman menuturkan:

“Suatu ketika sebuah surah yang panjang telah turun kepada Rasul jika telah turun sesuatu beliau memanggil sebagian orang yang biasa menulis (wahyu) lalu beliau akan bersabda: letakkanlah ayat­ayat itu dalam surat yang menyatakan begini dan begini jika satu ayat turun kepada beliau maka beliau bersabda : letakkan ayat ini di tengah surat yang menyatakan begini­-begini...’’

Zakarsyi berpendapat bahwa pada masa Rasulullah, Al Qur’an tidak tertulis pada mushaf untuk mencegah kemungkinan terjadinya perubahan sewaktu­waktu. Karena itulah penulisannya ditangguhkan hingga Al Qur’an turun selengkapnya pada saat Rasulullah telah wafat.

Dengan demikian pada masa Rasulullah penghimpunan (kodifikasi) Al Qur’an telah dilaksanakan baik dihafalkan secara lisan maupun dikumpulan dalam bentuk tulisan secara material (diatas kulit, lempeng batu, kulit kayu) dan penyusunan Al Qur’an tidak dihimpun dalam mushaf. Penghimpunan (kodifikasi) memang belum dibutuhkan karena wahyu belum secara tuntas diturunkan kepada Rasulullah sampai beliau wafat, dan para sahabat menghafal Al Qur’an di dalam dada sesuai petunjuk Rasul .

Setiap ayat yang dicatat dan disimpan di rumah Rasulullah SAW, sedangkan para pencacat membawa salinannya untuk mereka sendiri, sehingga terjadinya saling kontrol pada naskah yang berada ditangan para pencatat wahyu itu dan suhuf  (lembaran tulisan/wahyu) yang berada di rumah Rasulullah.

Di samping itu ada kontrol lain dari para Sahabat yang menghafal Al Qur’an, baik yang buta huruf maupun tidak. Keadaan itulah yang menjamin Al Qur’an tetap terjaga dan terpelihara keasliannya, sebagai mana ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al Quran: 

إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ ٩ 
“Kamilah yang menurunkan al­Qur’an dan kami jugalah yang menjaganya”. [QS. Al Hijr : 9]

Kodifikasi Al­ Quran Pada Masa Abu Bakar Ash Shiddiq

Setelah wafatnya Rasulullah para sahabat belum merasa perlu agar Al Qur’an dikumpulkan dalam satu kitab, hingga terbunuhnya sejumlah penghafal Al Qur’an.

Yang pertama kali yang menghimpun Al Qur’an adalah Abu Bakar Ash Shiddiq, atas usulan Umar bin Khaththab. Pada masa tersebut terjadi perang Riddah pada tahun 10 H (632 M) dan perang Yamamah pada tahun 11 H (633 M). Dalam peperangan tersebut sejumlah penghafal dan qurra’ (pembaca Al Qur’an) telah terbunuh ada yang mengatakan 70 orang dan ada yang mengatakan 500 orang.

Kondisi ini sempat mencemaskan Umar bin Khaththab yang dikhawatirkan akan berdampak pada hilangnya sebagian suhuf, lalu mengajukan hal ini kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan Al Qur’an. Akan tetapi, Abu Bakar menolak usulan ini dan keberatan melakukan apa yang tidak dilakukan Rasulullah . Namun Umar bin Khaththab tetap membujuknya, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan tersebut.

Kemudian Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit, mengingat kedudukannya dalam masalah qira’at, hafalan, penulisan pemahaman dan kecerdasannya serta kehadirannya pada pembacaan yang terakhir kali. Abu Bakar menceritakan kepadanya kekhawatiran dan usulan Umar. Pada awalnya Zaid menolak seperti halnya Abu Bakar pada waktu itu. 

Keduaanya lalu bertukar pendapat sampai akhirnya Zaid menerima dengan lapang dada perintah penulisan mushaf Al Qur’an itu. Pengumpulan yang dilakukan yaitu memindahkan semua tulisan yang semula terdapat dalam riqa’ kemudian dikumpulkan dalam satu mushaf. Karena kekhawatiran beliau akan hilangnya Al Qur’an setelah para penghafal Al Qur’an wafat dalam peperangan.

Cara Zaid bin Tsabit mengumpulksan al­ Qur’an pada masa Abu Bakar sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Shahih Al Bukhari:

“Maka aku melakukannya, kemudian aku meneliti Al Quran, aku mengumpulkannya dari lempengan tulang binatang, pelepah qurma, batu tipis dan dada (hafalan) tokoh­tokoh penghafalnya hingga aku menemukan dua ayat dari surat at Taubah pada Huzaymah Al Anshari yang tidak aku temukan pada yang lain: hingga akhir, lembaran­lembaran yang didalamnya Al Quran telah dikumpulkan itu ada pada Abu Bakar hingga Allah mewafatkan beliau kemudian di tangan Umar hingga Allah mewafatkan beliau kemudian berpindah ketangan Hafsah bin Umar.”

Keterangan ini menjelaskan metode Zaid bin Tsabit dalam mengumpulkan al­Qu’ran bahwa pengumpulan tersebut berpijak dalam 2 (dua) hal :
  •         Hafalan yang tersimpan pada dada sahabat.
  •       Materi yang tertulis di depan Rosul. Materi tersebut tidak dapat diterima, kecuali dengan kesaksian dua orang yang adil.


Perintah kodifikasi al­Qur’an oleh Abu Bakar selesai dilaksanakan dalam waktu satu tahun. Zaid menerima perintah beberapa saat setelah berakhirnya perang Yamamah pada tahun 11 H dan selesai beberapa waktu menjelang wafatnya Abu Bakar.

Kita ingat akan kalimat yang diucapkan Ali bin Abi Thalib, “Semoga Allah melimpahkan rahmatnya kepada Abu Bakar, orang pertama yang menghimpun Kitabullah di antara lauh mahfudz dan mushaf.” Adapun Umar bin Khatab, dalam sejarah ia tercatat sebagai pemilik gagasan kodifikasi Al Qur’an, sedangkan Zaid bin Tsabit tercatat sebagai pelaksana teknis.

Al Qur’an hasil kodifikasi Zaid bin Tsabit berada ditangan Abu Bakar sampai beliau wafat. Kemudian berpindah tangan kepada Umar bin Khatab sebagai khalifah kedua dan beliau pun wafat. Setelah khalifah Umar wafat mushaf disimpan oleh Hafshah binti Umar dan bukan kepada tangan Utsman bin Affan.

Lalu jika ada pertanyaan, kenapa mushaf tersebut tidak diberikan kepada Utsman bin Affan sebagai yang berhak (khalifah)?

Karena Hafshah adalah isteri Rasululullah putri dari Umar bin Khatab, Ummul ‘Muminin. Seorang wanita penghafal Al Qur’an, pandai baca tulis. Pada saat itu belum ada pengganti Umar sebagai Khalifah, sedangkan Utsman bin Affan belum menjadi Khalifah.
            
Penamaan Al Qur’an dengan mushaf timbul pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Al Qur’an dikodifikasi dan ditulis pada kertas, Abu Bakar memerintahkan kepada para sahabat untuk mencarikan namanya. Ketika itu ada yang mengusulkan nama As Sifr, namun Abu Bakar tidak setuju karena nama tersebut biasa dipakai orangorang Yahudi. Lalu ada yang mengusulkan nama Al Mushaf, Akhirnya semuannya sepakat menamai al ­Qur’an yang telah dikodifikasi dengan nama Al Mushaf.

Mushaf Abu Bakar, seluruh isinya dan kebenaran ke-mutawatir-annya didukung bulat oleh seluruh umat Islam. Banyak ulama berpendapat bahwa cara penulisannya menggunakan “tujuh buah huruf” sebagaimana yang berlaku pada turunnya Al Qur’an. Dilihat dari segi itu maka mushaf Abu Bakar Ash Shiddiq serupa dengan ayat­-ayat pertama yang dihimpun pada masa Rasulullah masih hidup.

Kodifikasi Al­ Quran Pada Masa Utsman bin Affan

Jika motif Abu Bakar Ash Shidiq bersama para sahabat pada masanya untuk mengumpulkan Al Qur’an dalam mushaf karena khawatir akan hilangnya materi tertulis, sebagai akibat dari banyaknya penulis dan penghafal al­Qur’an pada masa Rasulullah telah meninggal dunia. Adapun motif atau tujuan Khalifah Utsman bin Affan untuk mengumpulkan al­Qur’an dalam mushaf, yaitu karena takut akan terjadinya perbedaan yang meruncing mengenai ragam bacaan.

Pengumpulannya dilakukan dengan menyalinnya dalam satu mushaf yang bersumber pada mushaf induk Abu Bakar, menggunakan satu huruf di antara ketujuh huruf itu. Karena banyaknya perbedaan dalam hal qira’at pembacaan al ­Qur’an yang terjadi di daerah­-daerah kekuasaan Islam, yang puncaknya saling menyalahkan satu sama lain.

Sebagaimana Hudzaifah Al Yaman dalam riwayat Al Bukhori, yang menuturkan :

“Jagalah umat ini, sebelum mereka memperselisihkan Al Qur’an ini sebagaimana perselisihan orang Yahudi dan Nasrani. Maka, Utsman menulis surat kepada Hafsah : ‘Kirimkanlah kepadaku lembaran­lembaran itu. Kami akan menggandakannya menjadi sejumlah mushaf, kemudian kami akan mengembalikannya kepada anda (Hafshah)’. Hafshah pun mengirimkannya kepada Utsman. Beliau lalu memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘Ash, Abdurrahman bin Al­Harits bin Hisyam. Merekan kemudian menggandakannya menjadi beberapa mushaf. Utsman berkata kepada tiga kelompok orang Quraisy tersebut: ‘Jika kalian berbeda dengan Zaid bin Tsabit terhadap al­Qur’an, maka tulislah menggunakan bahasa mereka.’ Mereka pun melakukannya, hingga mereka selesai menggandakan lembaran­lembaran tersebut menjadi sejumlah mushaf. Utsman pun mengembalikan lembaran­lembaran tersebut kepada Hafshah dan setiap penjuru dikirim satu mushaf yang telah mereka gandakan. Beliau juga memerintahkan lembaran atau mushaf al­Qur’an yang lain untuk ditukar.”

Berdasarkan riwayat di atas dapat disimpulkan bahwa pengumpulan Al Qur’an yang terjadi pada masa Utsman bin Affan tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1.     Menggandakan tulisan yang sama yang telah dikumpulkan oleh Zaid bin Tsabit pada masa Abu Bakar, dimana kumpulan tulisan yang berbentuk shuhuf itu telah disimpan secara berturut­-turut, masing­-masing di sisi Abu Bakar, Umar dan Hafshah. Dari tangan Hafshah-lah, Utsman memperoleh naskah asli atau mushaf Al Qur’an untuk digandakan menjadi beberapa eksemplar mushaf.
2.    Orang yang ditunjuk Utsman bin Affan sama dengan yang dipilih oleh Abu Bakar, yaitu Zaid bin Tsabit.
3.     Kasus pembakaran mushaf lain, selain yang ada pada Hafshah dan duplikatnya, bertujuan untuk menyamakan mushaf dan meninggalkan syadz (keraguan) serta tafsir­-tafsir tambahan lain.

Khalifah Utsman mengirimkan salinan mushaf itu ke daerah-­daerah. Adapun mushaf­-mushaf lain selain mushaf Hafshah yang paling terkenal luas adalah mushaf yang pencatatannya dilakukan oleh Ubay bin Ka’ab dan Abdullah bin Mas’ud.

Mushaf-­mushaf inilah yang memunculkan pertengkaran dan perselilisahan. Mushaf­-mushaf itu tidak sampai ke tangan kita semua. Kita mengetahui hal itu hanya dari riwayat­-riwayat tentang penyusunan surah­-surah Al Qur’an dan tentang beberapa macam bacaannya.

Mushaf Al Qur’an Utsman bin Affan mencakup seluruhnya yaitu :
  1.   Ada 114 surat
  2.  Ditulis tanpa titik tanpa syakal (harokat) sehingga penulisannya hanya berupa huruf yang    dapat dibaca lebih dari satu cara.
  3.  Tanpa nama surah.
  4.  Tanpa tanda-­tanda pemisah, persis mengikuti jejak penulisan mushaf Abu Bakar.
  5.  Tidak pula mencantumkan uraian atau tafsir.


 Contoh pada firman Allah Q.S Al­B aqarah : 10 yakni,

 فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٞ فَزَادَهُمُ ٱللَّهُ مَرَضٗاۖ وَلَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمُۢ بِمَا كَانُواْ يَكۡذِبُونَ ١٠ 



Pada qiro’at yang lain untuk ayat yang sama dibaca,                                          . 




Hal itu tidak ada hubungan dengan kabilah dan lahjah (dialek/logat), kata yakdzibuuna adalah fi`il mudhari` yang mana fi’il madhinya kadzaba sedangkan kata yukadzdzibuuna adalah fi`il mudhari` yang mana fi`il madhi­nya kadzdzba. Kata  كذَبdengan takhfif berarti “jika berkata, ia berdusta.” Adapun kata  كذّب dengan tasydid memiliki makna “ia berkata kepada orang lain: engkau dusta.” Yang satu maksudnya “berdusta”; yang satu lagi maksudnya “mendustakan.”

Maka Allah memberitahu kita bahwa mereka adalah kaum yang berkata dusta sekaligus juga jika para Rasul datang, mereka mendustakannya. Dengan demikian kedua qiro’at pada nash yang sama ini serupa dengan dua ayat masing­-masing mengabarkan makna yang berbeda satu sama lain, akan tetapi tidak bertolak belakang ataupun paradoks antara dua makna tersebut.

Misalnya, Zaid bin Tsabit dikirim untuk membacakan mushaf gaya Madinah, Abdullah bin Sa’ib membacakan mushaf gaya Mekkah, Al­Mughirah bin Syihab gaya Syam, Abu Abdurrahman As­Silmi gaya Kufah dan Amir bin Abdulqueis gaya Bashrah.

Salinan mushaf Utsman yang tidak ber syakal dan tidak bertitik  itu membuka kemungkinan terjadinya berbagai macam bacaan di berbagai daerah yang mempunyai adat tersendiri sesuai dengan kebiasaan-­kebiasaannya.

Maka dari itu, Abul Aswad Ad­Duali dikenal sebagai orang yang pertama kali meletakkan kaidah tata bahasa Arab atas perintah Khalifah Ali bin Abi Thalib. Kemudian penemuan cara penulisan Al Qur’an dengan huruf-­huruf bertitik kelanjutan dari kegiatan Abul Aswad Ad­Duali.

Adapun pemberian syakal merupakan bagian dari proses penyempurnaan penulisan atau kodifikasi Al Qur’an. Hal itu dilaksanakan demi kesatuan yang murni dalam mempelajari Al Qur’an sebagai wahyu Allah SWT.

Karena itulah, maka Al Qur’an yang ada di tangan kaum muslim saat ini adalah qath’i (pasti) bersumber dari Allah, tanpa sedikit pun perubahan maupun modifikasi.

Bahwa kitab Allah ini merupakan mukjizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW tanpa mengandung kebatilan sedikit pun, kitab suci yang diturunkan Allah Yang Maha Bijaksana Maha Terpuji. Pengakuan ini bukan hanya diakui oleh kaum muslim, tetapi juga oleh para orientalis (orang barat yang meneliti Timur) . 


Makna Tujuh Huruf dalam Kodifikasi Al­ Qur’an

Orang Arab mempunyai keberagamn lahjah (dialek) dalam langgam, suara dan huruf­-huruf. Apabila orang Arab berbeda dialek dalam mengungkapkan sesuatu makna dengan perbedaan tertentu, maka Al Qur’an yang diwahyukan Allah kepada RasulNya, menyempurnakan makna kemukjizatannya karena ia mencakup semua huruf dan ragam qira’ah di antara lahjah­lahjah itu.
Ini menjadi salah satu sebab memudahkan mereka untuk membaca, menghafal dan memahaminya.             
Penggunaan tujuh huruf dalam kodifikasi Al Qur’an yang dimaksud, Ibnu Abbas RA berkata, Rasulullah bersabda :
“Jibril membacakan al­Qur’an kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku meminta agar huruf itu ditambah, Ia pun menambahnya sampai tujuh huruf (sab’atu ahruf ).”

Sehingga Ibnu Hayyan mengatakan, “Ahli Ilmu berbeda pendapat tentang arti kata tujuh huruf menjadi tiga puluh lima pendapat.”
Adapun makna tujuh buah huruf dari beberapa pendapat para ulama yang dapat ditafsirkan mendekati maknanya, yaitu :
1.    Pertama, Sebagian besar ulama, tujuh huruf itu adalah tujuh macam bahasa dari bahasa­bahasa Arab mengenai satu makna. Adapun ketujuh bahasa itu Quraisy, Hudzail, Saqif, Hawazin, Kinanah Tamim dan Yaman. Menurut Abu Hatim As­Sijistani, al­Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy, Hudzail, Tamim, Azad, Rabiah, Hawazin dan Sa’ad bin Abi Bakar.
2.   Kedua, yang dimaksud tujuh huruf itu ialah tujuh macam bahasa dari bahasa­bahasa Arab yang ada, tujuh huruf yang bertebaran di berbagai surat al­Qur’an, bukan tujuh bahasa yang berbeda dalam kata tetapi sama dalam makna.
3.     Ketiga, dalam tujuh segi amr (perintah), nahyu (larangan), wa’d (ancaman), qashash (cerita), jadal (perdebatan) dan matsal (perumpamaan). Atau amr, nahyu, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal.
4.    Keempat, tujuh macam hal yang didalamnya terdapat ikhtilaf (perbedaan), yaitu : Ikhtilaf Asma, I’rab, tashrif, taqdim, ibdal, sebab adanya penambahan dan pengurangan, lahjah pembacaan, tidak bisa diartikan secara harfiah dan sebagai qira’at sab’ah.

Pendapat yang terkuat dari keempat pendapat tersebut yaitu pendapat pertama, yang menyebutkan bahwa tujuh huruf yang dimaksud adalah tujuh macam bahasa dari dialek bahasa­bahasa Arab dalam mengungkapkan makna yang sama. Seperti, Sufyan bin Uyainah, Ibnu Jarir, Ibnu Wahab dan lainnya serta Hadist yang mendukung pendapat ini.

Berkata Ibnu Abdil Barr, “Ketujuh huruf itu mempunyai makna yang sama dengan pengertiannya, tetapi berbeda bunyi ucapannya. Dan tidak satu pun di antaranya yang mempunyai makna atau sisi­sisi saling berlawanan, seperti rahmat merupakan lawan dari adzab.”

Hikmah yang terdapat pada makna tujuh huruf tersebut, yaitu:
a.       Untuk memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa ummi
b.      Bukti kemukjizatan al­Qur’an bagi naluri kebahasaan orang Arab

c.  Kemukjizatan al­Qur’an dalam aspek makna dan hukum-hukumnya. Hal inilah yang membuat al­Qur’an relevan dalam setiap masa.



DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Hafidz. Ulumul Quran Praktis. Bogor : Pustaka Utama. 2003.

http://anharululum.blogspot.co.id/2013/02/penulisan­dan­kodifikasi­al­quran.html. 11/29/2016. Penulisan Dan Kodifikasi Al­Qur`an

https://wanssihabuddin.wordpress.com/2013/05/22/sejarah­turun­penulisan­dan­kodifikasi­al­quran. 11/29/2016. SEJARAH TURUN, PENULISAN DAN KODIFIKASI AL­QUR’AN. kawani media







Previous Post
Next Post

Man 'Arofa Nafsihi 'Arofa Robbuhu | #IslamSelamatkanNegeri

0 komentar: