Oleh: Rendra Fahrurrozie | STIT SIROJUL FALAH BOGOR
Al Qur’an adalah kitab suci yang
Allah turunkan kepada Nabi dan Rasul-Nya Muhammad SAW Tiada yang meragukan bahwa AlQur’an sebagai
pedoman hidup umat Islam, diturunkan kepada manusia pilihan Nabi Muhammad SAW sebagai mukjizat yang
diberikan Allah. Tentunya sejarah mengenai kodifikasi (penghimpunan) dan
penulisan Al Qur’an menjadi sangat penting dipelajari oleh umat Islam.
Wahyu Allah ini diturunkan untuk dijadikan sebuah tuntunan dalam kehidupan manusia. Malaikat Jibril a.s sebagai perantara yang terpercaya menyampaikan wahyu-wahyu Allah ke dunia secara bertahap Al Qur’an diturunkan, selama 22 tahun 6 bulan 23 hari, merupakan waktu yang tidak sebentar. Sebutan nama-nama lain seperti Al Huda, Al Furqan, Al Kitab, Adz Dzikru, As Syifa, dan banyak yang lainnya, menambah keistimewaan Al Qur’an.
Al Qur’an yang diturunkan dalam bahasa Arab ini telah ditulis dengan sangat hati-hati agar terpelihara secara ketat untuk mencegah kemungkinan terjadinya manipulasi isi didasarkan pada sanad (rangkaian kabar) yang mutawatir (kabarnya pasti).
Masa Rasulullah صلى الله عليه وسلم Al Qur’an belum menjadi satu kesatuan dalam bentuk mushaf. Dari Zaid bin Tsabit yang mengatakan, “Di kediaman Rasulullah kami dahulu menyusun ayat-ayat al-Qur'an yang tercatat pada riqa’ ” (Al Bukhari dan Muslim). Riqa’ diartikan sebagai lembaran kulit, lembaran daun atau lembaran kain. Kodifikasi Al Qur'an pun diteruskan oleh para Sahabat, Abu Bakar Ash-Shidiq dan Utsman bin Affan adalah Sahabat yang masyhur mengenai perjalanan alQur’an hingga menjadi sebuah mushaf.
Sebagai bagian dari kaum muslim, sudah seharusnya kita mengetahui kodifikasi dan penulisan Al Qur’an dari waktu ke waktu. Oleh karnanya, “Sejarah Penulisan dan Kodifikasi Al Qur’an” ini penting sekali. Untuk mebuktikan bahwasanya Al Qur’an yang ada pada saat ini merupakan Al Qur’an yang sama diturunkan oleh Allah SWT.
Pengertian
Penghimpunan (Kodifikasi) Al Qur’an
Kodifikasi Al Qur’an mempunyai dua pengertian,
kedua-duanya disebut dalam nash.
Dalam Al Qur’an Allah telah berfirman:
Dalam Al Qur’an Allah telah berfirman:
إِنَّ
عَلَيۡنَا جَمۡعَهُۥ وَقُرۡءَانَهُۥ ١٧
“Sesungguhnya
atas tanggungan Kamilah penghimpunannya (di dalam dadamu) dan (membuatmu
pandai) membacanya.” [QS. Al Qiyamah : 17]
Ayat di atas
kita mengetahui bahwa arti penghimpunan bermakna “penghafalan”. Bahwa
Allah SWT telah memberikan karuniaNya kepada Nabi Muhammad ﷺ sebagai penghafal Al Qur’an yang pertama tertanam dalam dada
atau qalbu. Beliau ﷺ dikenal
sebagai Sayyidul Huffadz dan AwwalulJumma’, manusia pertama
penghafal alQur’an tak ada bandingannya.
Arti lain dari penghimpunannya (jam’ahu)
ialah “penulisan” yakni, penulisan seluruh Al Qur’an yang memisahkan
masingmasing ayat dan surah; atau hanya mengatur susunan ayat-ayat Al Quran
saja dan susunan tiap surah shahifah tersendiri. Sebagaimana terdapat
dalam Al Qur’an Allah berfirman:
وَلَوۡ
نَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ كِتَٰبٗا فِي قِرۡطَاسٖ فَلَمَسُوهُ بِأَيۡدِيهِمۡ لَقَالَ ٱلَّذِينَ
كَفَرُوٓاْ إِنۡ هَٰذَآ إِلَّا سِحۡرٞ مُّبِينٞ ٧
“Dan kalau kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas,
lalu mereka dapat menyentuhnya dengan tangan mereka sendiri, tentulah
orang-orang kafir itu berkata:’Ini tidak lain hanyalah sihir belaka’.” [QS. AlAn’am :
7]
Ayat tersebut
menerangkan bahwa Al Qur’an tidak ditulis dalam sebuah kertas dengan arti lain
belum dibukukan. Dengan demikian arti penghimpunan bermakna “penulisan” jelas
adanya. Bahwa proses penulisan terjadi karena kehendak manusia.
Menurut Al Zarkani bahwa kodifikasi Al
Qur’an ada dua media. Pertama, penghafalan dan penjagaan dalam
dada dengan medianya ialah hati dan dada. Kedua, penulisan secara
keseluruhan, huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat dalam shahifah-shahifah
dan lembaranlembarannya.
Dengan demikian
bahwa penghimpunan atau kodifikasi Al Qur’an merupakan suatu cara agar Al Qur’an
itu mejadi satu-kesatuan wahyu Allah dalam sebuah mushaf. Adapun caranya
yaitu melalui penghafalan dan penulisan yang penukilannya yakni memindahkan
materi yang sama dari sumber asli ke dalam mushaf.
Penghimpunan
Al Quran Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Rasulullah ﷺ mempunyai beberapa orang pencatat wahyu.
Diantarannya, empat orang sahabat yang kemudian menjadi para Khalifah Rasyidin (Abu
Bakar, Umar, Utsman dan Ali) Mu’awiyah, Zaid bin Tsabit, Khalid bin Al Walid, Ubay
bin Ka’ab dan Tsabit bin Qais. Beliau menyuruh mereka mencatat setiap wahyu
yang turun, sehingga Al Qur’an yang terhimpun di dalam dada menjadi kenyataan
tertulis.
Semasa Nabi Muhammad ﷺ pengumpulan Al Qur’an dilakukan dengan dua
cara, yakni dengan hafalan dan penulisan dalam lembaran (shuhuf). Al Qur’an
secara lisan telah dinukil melalui hafalan dari Nabi Muhammad ﷺ kepada para sahabat. Dalam Al Qur’an Allah berfirman :
فَإِذَا قَرَأۡنَٰهُ فَٱتَّبِعۡ قُرۡءَانَهُۥ ١٨
ثُمَّ إِنَّ عَلَيۡنَا بَيَانَهُۥ ١٩
“Apabila kami
telah selesai memebacakannya maka ikutilah bacaan itu kemudian sesungguhnya
atas tanggungan kami penjelasannya”. [QS. Al Qiyamah : 18-19]
Ketika Rasul ﷺ menyampaikan wahyu, beliau meminta
sahabatnya agar dihafalkan dan juga meminta para penulis wahyu kuttab al
wahy untuk menulisnya.
Jumlah penulis
wahyu menurut Al Katani adalah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib adalah
penulis wahyu Rasulullah ﷺ. Jika keduanya tidak
ada maka Ubay bin Kaab dan Zaid bin Tsabit yang menulis. Ubay adalah salah satu
penulis wahyu sebelum Zaid, sedangkan Zaid adalah orang yang menugaskan para
sahabat untuk menulis wahyu. Jika Ubay tidak hadir, Rasulullah ﷺ akan memanggil Zaid bin Tsabit. Jika salah
seorang diantara mereka tidak hadir wahyu akan ditulis oleh siapapun yang hadir
diantara mereka, seperti Muawiyah, Jabir bin Said bin Al Ash, Iban bin Said, Al
‘Ala Al Hadhrami, Handlalah bin Arrabi.
Namun ketika penulisan Al Qur’an ini
dilakukan oleh para penulis wahyu ketika itu orang Arab belum mengenal kertas. Istilah
waraq pada zaman itu digunakan untuk menyebut daun kayu, sedangkan qirthas
digunakan untuk bendabenda untuk menulis, seperti kulit binatang, batu tipis,
pelepah kurma, tulang belulang, dan lain-lain. Setelah itu materi yang ditulis
tadi disimpan pada rumah Rasulullah ﷺ.
Semua itu telah terkumpul dalam bentuk lembaran-lembaran.
Allah telah
berfirman di dalam Al Qur’an:
رَسُولٞ مِّنَ ٱللَّهِ يَتۡلُواْ صُحُفٗا
مُّطَهَّرَةٗ ٢ فِيهَا كُتُبٞ قَيِّمَةٞ ٣
“Yaitu seorang
Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaranlebaran yang disucikan (Al
Qur’an) didalamnya terdapat (isi) kitabkitab yang lurus.” [QS. Al
Bayyinah: 2-3]
Mengenai penulisan
rasm dan susunan ayat-ayat dan susunan ayat-ayat dalam surat Al Qur’an semuanya
telah diatur oleh Allah SWT. Utsman menuturkan:
“Suatu ketika
sebuah surah yang panjang telah turun kepada Rasul ﷺ
jika telah turun sesuatu beliau memanggil sebagian orang yang biasa menulis
(wahyu) lalu beliau akan bersabda: letakkanlah ayatayat itu dalam surat yang
menyatakan begini dan begini jika satu ayat turun kepada beliau maka beliau
bersabda : letakkan ayat ini di tengah surat yang menyatakan begini-begini...’’
Zakarsyi
berpendapat bahwa pada masa Rasulullah, Al Qur’an tidak tertulis pada mushaf
untuk mencegah kemungkinan terjadinya perubahan sewaktuwaktu. Karena
itulah penulisannya ditangguhkan hingga Al Qur’an turun selengkapnya pada saat Rasulullah
ﷺ telah wafat.
Dengan demikian pada masa Rasulullah
ﷺ penghimpunan (kodifikasi) Al Qur’an telah
dilaksanakan baik dihafalkan secara lisan maupun dikumpulan dalam bentuk tulisan
secara material (diatas kulit, lempeng batu, kulit kayu) dan penyusunan Al Qur’an
tidak dihimpun dalam mushaf. Penghimpunan (kodifikasi) memang belum
dibutuhkan karena wahyu belum secara tuntas diturunkan kepada Rasulullah sampai
beliau wafat, dan para sahabat menghafal Al Qur’an di dalam dada sesuai
petunjuk Rasul ﷺ.
Setiap ayat yang dicatat dan
disimpan di rumah Rasulullah SAW, sedangkan para pencacat membawa salinannya untuk
mereka sendiri, sehingga terjadinya saling kontrol pada naskah yang berada
ditangan para pencatat wahyu itu dan suhuf (lembaran tulisan/wahyu) yang berada di rumah
Rasulullah.
Di samping itu
ada kontrol lain dari para Sahabat yang menghafal Al Qur’an, baik yang buta huruf
maupun tidak. Keadaan itulah yang menjamin Al Qur’an tetap terjaga dan terpelihara
keasliannya, sebagai mana ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al Quran:
إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا
ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ ٩
“Kamilah yang menurunkan alQur’an dan kami jugalah yang
menjaganya”. [QS. Al Hijr : 9]
Kodifikasi
Al Quran Pada Masa Abu Bakar Ash Shiddiq
Setelah
wafatnya Rasulullah ﷺ para sahabat belum
merasa perlu agar Al Qur’an dikumpulkan dalam satu kitab, hingga terbunuhnya sejumlah
penghafal Al Qur’an.
Yang pertama kali
yang menghimpun Al Qur’an adalah Abu Bakar Ash Shiddiq, atas usulan Umar bin Khaththab.
Pada masa tersebut terjadi perang Riddah pada tahun 10 H (632 M) dan perang
Yamamah pada tahun 11 H (633 M). Dalam peperangan tersebut sejumlah penghafal
dan qurra’ (pembaca Al Qur’an) telah terbunuh ada yang mengatakan 70
orang dan ada yang mengatakan 500 orang.
Kondisi ini
sempat mencemaskan Umar bin Khaththab yang dikhawatirkan akan berdampak pada
hilangnya sebagian suhuf, lalu mengajukan hal ini kepada Abu Bakar untuk
mengumpulkan Al Qur’an. Akan tetapi, Abu Bakar menolak usulan ini dan keberatan
melakukan apa yang tidak dilakukan Rasulullah ﷺ.
Namun Umar bin Khaththab tetap membujuknya, sehingga Allah membukakan hati Abu
Bakar untuk menerima usulan tersebut.
Kemudian Abu Bakar memerintahkan Zaid
bin Tsabit, mengingat kedudukannya dalam masalah qira’at, hafalan,
penulisan pemahaman dan kecerdasannya serta kehadirannya pada pembacaan yang
terakhir kali. Abu Bakar menceritakan kepadanya kekhawatiran dan usulan Umar.
Pada awalnya Zaid menolak seperti halnya Abu Bakar pada waktu itu.
Keduaanya lalu bertukar pendapat sampai akhirnya Zaid menerima dengan lapang dada perintah penulisan mushaf Al Qur’an itu. Pengumpulan yang dilakukan yaitu memindahkan semua tulisan yang semula terdapat dalam riqa’ kemudian dikumpulkan dalam satu mushaf. Karena kekhawatiran beliau akan hilangnya Al Qur’an setelah para penghafal Al Qur’an wafat dalam peperangan.
Keduaanya lalu bertukar pendapat sampai akhirnya Zaid menerima dengan lapang dada perintah penulisan mushaf Al Qur’an itu. Pengumpulan yang dilakukan yaitu memindahkan semua tulisan yang semula terdapat dalam riqa’ kemudian dikumpulkan dalam satu mushaf. Karena kekhawatiran beliau akan hilangnya Al Qur’an setelah para penghafal Al Qur’an wafat dalam peperangan.
Cara Zaid bin
Tsabit mengumpulksan al Qur’an pada masa Abu Bakar sebagaimana yang dinyatakan
dalam kitab Shahih Al Bukhari:
“Maka aku
melakukannya, kemudian aku meneliti Al Quran, aku mengumpulkannya dari
lempengan tulang binatang, pelepah qurma, batu tipis dan dada (hafalan)
tokohtokoh penghafalnya hingga aku menemukan dua ayat dari surat at Taubah
pada Huzaymah Al Anshari yang tidak aku temukan pada yang lain: hingga akhir,
lembaranlembaran yang didalamnya Al Quran telah dikumpulkan itu ada pada Abu Bakar
hingga Allah mewafatkan beliau kemudian di tangan Umar hingga Allah mewafatkan
beliau kemudian berpindah ketangan Hafsah bin Umar.”
Keterangan ini
menjelaskan metode Zaid bin Tsabit dalam mengumpulkan alQu’ran bahwa pengumpulan
tersebut berpijak dalam 2 (dua) hal :
- Hafalan yang tersimpan pada dada sahabat.
- Materi yang tertulis di depan Rosul. Materi tersebut tidak dapat diterima, kecuali dengan kesaksian dua orang yang adil.
Perintah kodifikasi alQur’an oleh Abu Bakar selesai dilaksanakan
dalam waktu satu tahun. Zaid menerima perintah beberapa saat setelah
berakhirnya perang Yamamah pada tahun 11 H dan selesai beberapa waktu menjelang
wafatnya Abu Bakar.
Kita ingat akan kalimat yang diucapkan Ali bin Abi Thalib, “Semoga
Allah melimpahkan rahmatnya kepada Abu Bakar, orang pertama yang menghimpun
Kitabullah di antara lauh mahfudz dan mushaf.” Adapun Umar bin Khatab,
dalam sejarah ia tercatat sebagai pemilik gagasan kodifikasi Al Qur’an, sedangkan
Zaid bin Tsabit tercatat sebagai pelaksana teknis.
Al Qur’an hasil
kodifikasi Zaid bin Tsabit berada ditangan Abu Bakar sampai beliau wafat.
Kemudian berpindah tangan kepada Umar bin Khatab sebagai khalifah kedua dan
beliau pun wafat. Setelah khalifah Umar wafat mushaf disimpan oleh Hafshah
binti Umar dan bukan kepada tangan Utsman bin Affan.
Lalu jika ada pertanyaan, kenapa mushaf tersebut tidak diberikan
kepada Utsman bin Affan sebagai yang berhak (khalifah)?
Karena Hafshah adalah isteri Rasululullah ﷺ
putri dari Umar bin Khatab, Ummul ‘Muminin. Seorang wanita penghafal Al Qur’an,
pandai baca tulis. Pada saat itu belum ada pengganti Umar sebagai Khalifah,
sedangkan Utsman bin Affan belum menjadi Khalifah.
Penamaan Al Qur’an
dengan mushaf timbul pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Al Qur’an
dikodifikasi dan ditulis pada kertas, Abu Bakar memerintahkan kepada para
sahabat untuk mencarikan namanya. Ketika itu ada yang mengusulkan nama As Sifr,
namun Abu Bakar tidak setuju karena nama tersebut biasa dipakai orangorang Yahudi.
Lalu ada yang mengusulkan nama Al Mushaf, Akhirnya semuannya sepakat
menamai al Qur’an yang telah dikodifikasi dengan nama Al Mushaf.
Mushaf Abu Bakar,
seluruh isinya dan kebenaran ke-mutawatir-annya didukung bulat oleh seluruh
umat Islam. Banyak ulama berpendapat bahwa cara penulisannya menggunakan “tujuh
buah huruf” sebagaimana yang berlaku pada turunnya Al Qur’an. Dilihat dari segi
itu maka mushaf Abu Bakar Ash Shiddiq serupa dengan ayat-ayat pertama yang dihimpun
pada masa Rasulullah ﷺ masih hidup.
Kodifikasi
Al Quran Pada Masa Utsman bin Affan
Jika motif Abu Bakar Ash Shidiq bersama para sahabat pada masanya
untuk mengumpulkan Al Qur’an dalam mushaf karena khawatir akan hilangnya
materi tertulis, sebagai akibat dari banyaknya penulis dan penghafal
alQur’an pada masa Rasulullah telah meninggal dunia. Adapun
motif atau tujuan Khalifah Utsman bin Affan untuk mengumpulkan alQur’an
dalam mushaf, yaitu karena takut akan terjadinya perbedaan yang meruncing
mengenai ragam bacaan.
Pengumpulannya
dilakukan dengan menyalinnya dalam satu mushaf yang bersumber
pada mushaf induk Abu Bakar, menggunakan satu huruf di antara
ketujuh huruf itu. Karena banyaknya perbedaan dalam hal qira’at
pembacaan al Qur’an yang terjadi di daerah-daerah kekuasaan Islam, yang
puncaknya saling menyalahkan satu sama lain.
Sebagaimana Hudzaifah Al Yaman dalam riwayat Al Bukhori, yang
menuturkan :
“Jagalah umat ini, sebelum mereka memperselisihkan Al Qur’an ini
sebagaimana perselisihan orang Yahudi dan Nasrani. Maka, Utsman menulis
surat kepada Hafsah : ‘Kirimkanlah kepadaku lembaranlembaran itu. Kami akan
menggandakannya menjadi sejumlah mushaf, kemudian kami akan mengembalikannya
kepada anda (Hafshah)’. Hafshah pun mengirimkannya kepada Utsman.
Beliau lalu memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id
bin ‘Ash, Abdurrahman bin AlHarits bin Hisyam. Merekan kemudian
menggandakannya menjadi beberapa mushaf. Utsman berkata kepada tiga kelompok
orang Quraisy tersebut: ‘Jika kalian berbeda dengan Zaid bin Tsabit
terhadap alQur’an, maka tulislah menggunakan bahasa mereka.’ Mereka pun
melakukannya, hingga mereka selesai menggandakan lembaranlembaran tersebut
menjadi sejumlah mushaf. Utsman pun mengembalikan lembaranlembaran tersebut
kepada Hafshah dan setiap penjuru dikirim satu mushaf yang telah mereka
gandakan. Beliau juga memerintahkan lembaran atau mushaf alQur’an yang lain untuk
ditukar.”
Berdasarkan riwayat di atas dapat disimpulkan bahwa pengumpulan Al Qur’an
yang terjadi pada masa Utsman bin Affan tersebut dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
1. Menggandakan tulisan yang sama yang
telah dikumpulkan oleh Zaid bin Tsabit pada masa Abu Bakar, dimana kumpulan
tulisan yang berbentuk shuhuf itu telah disimpan secara berturut-turut,
masing-masing di sisi Abu Bakar, Umar dan Hafshah. Dari tangan Hafshah-lah,
Utsman memperoleh naskah asli atau mushaf Al Qur’an untuk digandakan menjadi
beberapa eksemplar mushaf.
2. Orang yang ditunjuk Utsman bin Affan
sama dengan yang dipilih oleh Abu Bakar, yaitu Zaid bin Tsabit.
3. Kasus pembakaran mushaf lain,
selain yang ada pada Hafshah dan duplikatnya, bertujuan untuk menyamakan mushaf
dan meninggalkan syadz (keraguan) serta tafsir-tafsir tambahan lain.
Khalifah Utsman
mengirimkan salinan mushaf itu ke daerah-daerah. Adapun mushaf-mushaf lain selain
mushaf Hafshah yang paling terkenal luas adalah mushaf yang pencatatannya
dilakukan oleh Ubay bin Ka’ab dan Abdullah bin Mas’ud.
Mushaf-mushaf inilah yang memunculkan pertengkaran dan
perselilisahan. Mushaf-mushaf itu tidak sampai ke tangan kita semua. Kita
mengetahui hal itu hanya dari riwayat-riwayat tentang penyusunan surah-surah Al
Qur’an dan tentang beberapa macam bacaannya.
Mushaf Al Qur’an Utsman bin Affan mencakup seluruhnya yaitu :
- Ada 114 surat
- Ditulis tanpa titik tanpa syakal (harokat) sehingga penulisannya hanya berupa huruf yang dapat dibaca lebih dari satu cara.
- Tanpa nama surah.
- Tanpa tanda-tanda pemisah, persis mengikuti jejak penulisan mushaf Abu Bakar.
- Tidak pula mencantumkan uraian atau tafsir.
Contoh
pada firman Allah Q.S AlB aqarah : 10 yakni,
فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٞ
فَزَادَهُمُ ٱللَّهُ مَرَضٗاۖ وَلَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمُۢ بِمَا كَانُواْ
يَكۡذِبُونَ ١٠
Pada qiro’at yang lain untuk ayat yang sama dibaca,
.
Hal itu tidak
ada hubungan dengan kabilah dan lahjah (dialek/logat), kata yakdzibuuna
adalah fi`il mudhari` yang mana fi’il madhinya kadzaba sedangkan kata yukadzdzibuuna adalah fi`il mudhari`
yang mana fi`il madhinya kadzdzba. Kata كذَبdengan takhfif
berarti “jika berkata, ia berdusta.” Adapun kata كذّب
dengan tasydid memiliki makna “ia
berkata kepada orang lain: engkau dusta.” Yang satu maksudnya “berdusta”;
yang satu lagi maksudnya “mendustakan.”
Maka Allah memberitahu kita bahwa mereka adalah kaum yang berkata dusta
sekaligus juga jika para Rasul datang, mereka mendustakannya. Dengan demikian
kedua qiro’at pada nash yang sama ini serupa dengan dua ayat
masing-masing mengabarkan makna yang berbeda satu sama lain, akan tetapi tidak
bertolak belakang ataupun paradoks antara dua makna tersebut.
Misalnya, Zaid bin
Tsabit dikirim untuk membacakan mushaf gaya Madinah, Abdullah bin Sa’ib
membacakan mushaf gaya Mekkah, AlMughirah bin Syihab gaya Syam, Abu
Abdurrahman AsSilmi gaya Kufah dan Amir bin Abdulqueis gaya Bashrah.
Salinan mushaf Utsman yang tidak ber syakal dan tidak
bertitik itu membuka kemungkinan
terjadinya berbagai macam bacaan di berbagai daerah yang mempunyai adat
tersendiri sesuai dengan kebiasaan-kebiasaannya.
Maka dari itu,
Abul Aswad AdDuali dikenal sebagai orang yang pertama kali meletakkan kaidah
tata bahasa Arab atas perintah Khalifah Ali bin Abi Thalib. Kemudian penemuan
cara penulisan Al Qur’an dengan huruf-huruf bertitik kelanjutan dari kegiatan
Abul Aswad AdDuali.
Adapun pemberian syakal merupakan bagian dari proses penyempurnaan
penulisan atau kodifikasi Al Qur’an. Hal itu dilaksanakan demi kesatuan yang
murni dalam mempelajari Al Qur’an sebagai wahyu Allah SWT.
Karena itulah,
maka Al Qur’an yang ada di tangan kaum muslim saat ini adalah qath’i (pasti) bersumber
dari Allah, tanpa sedikit pun perubahan maupun modifikasi.
Bahwa kitab Allah ini merupakan mukjizat yang diberikan kepada Nabi
Muhammad SAW tanpa mengandung kebatilan sedikit pun, kitab suci yang diturunkan
Allah Yang Maha Bijaksana Maha Terpuji. Pengakuan ini bukan hanya diakui oleh
kaum muslim, tetapi juga oleh para orientalis (orang barat yang meneliti Timur)
.
Makna Tujuh Huruf dalam Kodifikasi Al Qur’an
Orang Arab
mempunyai keberagamn lahjah (dialek) dalam langgam, suara dan
huruf-huruf. Apabila orang Arab berbeda dialek dalam mengungkapkan sesuatu
makna dengan perbedaan tertentu, maka Al Qur’an yang diwahyukan Allah kepada
RasulNya, menyempurnakan makna kemukjizatannya karena ia mencakup semua huruf
dan ragam qira’ah di antara lahjahlahjah itu.
Ini menjadi salah satu sebab memudahkan mereka untuk membaca,
menghafal dan memahaminya.
Penggunaan
tujuh huruf dalam kodifikasi Al Qur’an yang dimaksud, Ibnu Abbas RA berkata,
Rasulullah ﷺ bersabda :
“Jibril membacakan alQur’an kepadaku dengan satu huruf. Kemudian
berulang kali aku meminta agar huruf itu ditambah, Ia pun menambahnya sampai
tujuh huruf (sab’atu ahruf ).”
Sehingga Ibnu Hayyan mengatakan, “Ahli Ilmu berbeda pendapat
tentang arti kata tujuh huruf menjadi tiga puluh lima pendapat.”
Adapun makna tujuh buah huruf dari beberapa pendapat para ulama
yang dapat ditafsirkan mendekati maknanya, yaitu :
1. Pertama, Sebagian besar
ulama, tujuh huruf itu adalah tujuh macam bahasa dari bahasabahasa Arab
mengenai satu makna. Adapun ketujuh bahasa itu Quraisy, Hudzail, Saqif,
Hawazin, Kinanah Tamim dan Yaman. Menurut Abu Hatim AsSijistani, alQur’an
diturunkan dalam bahasa Quraisy, Hudzail, Tamim, Azad, Rabiah, Hawazin dan Sa’ad
bin Abi Bakar.
2. Kedua, yang dimaksud
tujuh huruf itu ialah tujuh macam bahasa dari bahasabahasa Arab yang ada,
tujuh huruf yang bertebaran di berbagai surat alQur’an, bukan tujuh bahasa
yang berbeda dalam kata tetapi sama dalam makna.
3. Ketiga, dalam tujuh
segi amr (perintah), nahyu (larangan), wa’d (ancaman), qashash (cerita), jadal
(perdebatan) dan matsal (perumpamaan). Atau amr, nahyu, halal, haram, muhkam, mutasyabih
dan amtsal.
4. Keempat, tujuh macam
hal yang didalamnya terdapat ikhtilaf (perbedaan), yaitu : Ikhtilaf Asma,
I’rab, tashrif, taqdim, ibdal, sebab adanya penambahan dan pengurangan, lahjah
pembacaan, tidak bisa diartikan secara harfiah dan sebagai qira’at sab’ah.
Pendapat yang terkuat dari keempat pendapat tersebut yaitu pendapat
pertama, yang menyebutkan bahwa tujuh huruf yang dimaksud adalah tujuh macam
bahasa dari dialek bahasabahasa Arab dalam mengungkapkan makna yang sama.
Seperti, Sufyan bin Uyainah, Ibnu Jarir, Ibnu Wahab dan lainnya serta Hadist
yang mendukung pendapat ini.
Berkata Ibnu Abdil Barr, “Ketujuh huruf itu mempunyai makna yang
sama dengan pengertiannya, tetapi berbeda bunyi ucapannya. Dan tidak satu pun
di antaranya yang mempunyai makna atau sisisisi saling berlawanan, seperti
rahmat merupakan lawan dari adzab.”
Hikmah yang terdapat pada makna tujuh huruf tersebut, yaitu:
a.
Untuk memudahkan bacaan dan hafalan
bagi bangsa ummi
b.
Bukti kemukjizatan alQur’an bagi naluri
kebahasaan orang Arab
c. Kemukjizatan alQur’an dalam aspek
makna dan hukum-hukumnya. Hal inilah yang membuat alQur’an relevan dalam
setiap masa.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Hafidz. Ulumul Quran Praktis. Bogor : Pustaka Utama.
2003.
http://anharululum.blogspot.co.id/2013/02/penulisandankodifikasialquran.html.
11/29/2016. Penulisan
Dan Kodifikasi AlQur`an
https://wanssihabuddin.wordpress.com/2013/05/22/sejarahturunpenulisandankodifikasialquran.
11/29/2016. SEJARAH TURUN, PENULISAN DAN KODIFIKASI ALQUR’AN. kawani media
0 komentar: