Rabu, 16 Agustus 2017

SYARA’ MAN QOBLANA (SYARIAT SEBELUM KITA)


Hasil gambar untuk nabi musa

 Oleh: Rendra Fahrurrozie
STIT SIROJUL FALAH BOGOR

Telah dibahas sebelum ini, telah dibahas juga mengenai dalil-dalil syar’i yang mu’tabar (kuat) pada materi Ushul Fiqh beberapa waktu yang lalu. Yakni, Al Qur`an, As Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Lalu bagaimana dengan dalil-dalil syar’i lainnya, yang salah satunya adalah syara’ man qoblana (syariat sebelum kita)?

Ada dua prinsip pandangan terpenting mengenai hal tersebut.[1]
1.      Pertama, dalil-dalil syar’i yang lain, seperti Syara’ Man Qablana, Madzhab Shahabat, Istihsan, dan Mashalih Mursalah, tidak dianggap dalil syar’i yang mu’tabar (dianggap kuat).

Sebab dalil-dalil syar’i yang lain tersebut, ke-hujjah-annya hanya didasarkan pada dalil zhanni (ada keraguan), bukan dalil qath’i (pasti/definitif).

2.      Kedua, hukum syara’ yang di-istinbath (digali) berdasarkan dalil-dalil syar’i yang lain itu, tetap dianggap hukum syara’.
Sebab mempunyai syubhatud dalil.

Syubhatud dalil adalah dalil yang marjuh (lemah secara tarjih), baik syubhatud dalil itu berupa dalil ijmali (sumber hukum) maupun dalil tafshili (ayat/hadits tertentu).

Untuk mengetahui lebih lanjutnya tentang syara’ man qoblana masih berlaku atau tidak pada masa sekarang, maka kami akan menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan syara’ man qoblana, pendapat para ulama terhadap syara’ man qoblana dan bagaimana ketetapan syara’ man qoblana dalam penetapan hukum pada zaman sekarang?

PENGERTIAN SYARA’ MAN QABLANA

® شرع من قبلنا هو الأحكام التي شرعها الله تعالى لمن سبقنا من الأمم و الأقوام و أنزلها على أنبيائه ورسله لتبليغهم لهم كشريعة إبراهيم وموسى وعيسى عليهم السلام

Syara’ man Qablana (syariat sebelum kita) adalah hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT bagi berbagai umat dan kaum yang mendahului kita (sebelum Nabi Muhammad SAW) yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul-Nya agar mereka menyampaikan kepada kaumnya, contohnya seperti syariat Nabi Ibrahim, Musa, dan Isa AS.[2]

Rasulullah adalah seorang utusan Allah yang telah berlalu sebelumnya para Nabi dan Rasul yang banyak sekali.[3] Setiap Rasul mempunyai syariatnya sendiri untuk disampaikan kepada kaumnya, sedangkan Nabi menyampaikan syariah Rasul lain (rasul sebelumnya).[4] Misal, Nabi Musa as adalah Nabi sekaligus Rasul, tetapi Nabi Harun as hanyalah Nabi.

Dari definisi syara’ man qoblana diatas, sangat jelas sekali bahwa Allah  memberikan aturan/hukum kepada umat terdahulu untuk beribadah dan berinteraksi sesama manusia (muamalah dan uqubat) atau terhadap makhluk lainnya misalnya hewan. 

Para ulama berbeda pendapat tentang syara’ man qoblana. Sebab, dalil-dalil hukum itu ke-hujjah-annya ditetapkan berdasarkan dalil yang qath’i (pasti/definitif) yakni Al Qur’an, as Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas. Bukan dalil yang zhanni, apalagi untuk berijtihad dengan ijtihad yang kuat.

Adapun syara’ man qoblana, termasuk ke dalam dalil yang dibangun di atas dalil-dalil yang zhanni (terdapat keraguan didalammnya).[5] Disinilah letak perbedaan ulama usul Fiqh dalam menentukan masuk tidaknya syara’ man qoblana dalam ber-istidlal (ber-hujjah).

Contoh syara’ man qoblana di dalam Al Qur’an.[6]
a.   Dalam syari’at Nabi Sulaiman AS, kalau binatang seperti burung berbuat kerusakan, maka binatang tersebut dijatuhi sanksi. (QS An Naml : 20-21).
b.      Dalam syariat Nabi Zakaria AS, disyariatkan puasa bicara selama 3 hari. (QS Maryam : 10).
c.       Dalam syariat Nabi Musa AS, haram hukumnya binatang yang berkuku, juga lemak dari sapi dan domba (QS Al An’am : 146).
d.    Dalam syariat Nabi Yusuf AS, hukuman untuk pencuri adalah dijadikan budak (QS Yusuf : 75).
e.       Dalam syariat Nabi Ya’kub AS, makanan yang diharamkan oleh Nabi Ya’kub adalah haram bagi kaumnya (Bani Israil) (QS Ali ‘Imran : 93).

Dan masih banyak contoh di dalam Al Qur’an yang dijelaskan dalam kisah-kisah umat terdahulu yang ada sebagian di-nasakh (diganti/dihapus) oleh syariat Nabi Muhammad dan sebagian ada yang diperbaharui oleh syariat Islam, seperti syariat shalat 5 waktu yang menjadi kewajiban umat Islam sekarang tentunya berbeda dari umat terdahulu, baik dari gerakannya dan waktu shalalatnya.

MACAM-MACAM SYARA’ MAN QOBLANA

1.      Di-nasakh syariat kita (Syariat Islam). Syari’at hukum terdahulu yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun hadist Nabi  dan penjelasannya disyari’atkan untuk umat sebelum Nabi Muhammd ﷺ yang demikian telah di-nasakh dan tidak berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad ﷺ.  

Firman Allah dalam Al Quran.
وَعَلَى ٱلَّذِينَ هَادُواْ حَرَّمۡنَا كُلَّ ذِي ظُفُرٖۖ وَمِنَ ٱلۡبَقَرِ وَٱلۡغَنَمِ حَرَّمۡنَا عَلَيۡهِمۡ شُحُومَهُمَآ إِلَّا مَا حَمَلَتۡ ظُهُورُهُمَآ أَوِ ٱلۡحَوَايَآ أَوۡ مَا ٱخۡتَلَطَ بِعَظۡمٖۚ ذَٰلِكَ جَزَيۡنَٰهُم بِبَغۡيِهِمۡۖ وَإِنَّا لَصَٰدِقُونَ ١٤٦

“Kami haraman atas orang-orang yahudi setiap (binatang) yang punya kuku, dan dari sapi dan kambing kami haramkan pada mereka lemaknya.” (QS. Al An ‘am: 146)

Contoh : Pada syari’at Nabi Musa a.s, pakaian yang terkena najis tidak suci kecuali dipotong apa yang kena najis itu.

2.      Dianggap syariat kita melalui al­Qur’an dan aS­Sunnah. Syari’at hukum terdahulu yang dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun hadist Nabi, disyari’atkan untuk umat sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi Muhammad dan selanjutnya.

Hanya saja, ada syariat yang diperbaharui oleh syariat Islam, seperti syariat berpuasa pada bulan Ramadhan dengan batasan waktu dari terbit fajar sampai terbenam matahari dan adanya sahur. Atau tentang gerakan shalat misalnya.

Firman Allah dalam surat Al Qur’an:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٨٣

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
(Q.S. Al Baqarah: 183)

Contoh : Perintah menjalankan puasa yang juga disyariatkan bagi sebelum umat Muhammad , hanya saja kalau kita lihat kelanjutan ayat diatas dengan dipertegas lagi bahwa berpuasanya di bulan Ramadhan (QS. Al Baqarah: 185). Tidak hanya perintah puasa saja, tapi tentang rukhsoh (keringanan) terhadap orang-orang yang diringankan berpuasa (QS. Al Baqarah: 184). Berarti ada pembaharuan dalam tatacara pelaksanaanya atau lama pelaksanaanya (30 hari) dalam syariat Nabi Muhammad .

Ada juga syariat yang diperselisihkan karna belum ada penggantinya/nasakh-nya, sebagai contoh tentang qishash. Sebagaimana dijelaskan di dalam poin ke 3.

3.     Tidak ada penegasan dari syariat kita apakah di-nasakh atau dianggap sebagai syariat kita (umat Islam). Syari’at hukum yang dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun hadist Nabi , berlaku untuk umat sebelum Nabi Muhammad .
Namun secara jelas tidak dinyatakan berlaku untuk kita, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah di-nasakh.

Firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 45 :

وَكَتَبۡنَا عَلَيۡهِمۡ فِيهَآ أَنَّ ٱلنَّفۡسَ بِٱلنَّفۡسِ وَٱلۡعَيۡنَ بِٱلۡعَيۡنِ وَٱلۡأَنفَ بِٱلۡأَنفِ وَٱلۡأُذُنَ بِٱلۡأُذُنِ وَٱلسِّنَّ بِٱلسِّنِّ وَٱلۡجُرُوحَ قِصَاصٞۚ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِۦ فَهُوَ كَفَّارَةٞ لَّهُۥۚ وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ٤٥ 

Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishas-nya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (Q.S.Al Maidah: 45)

Hukum qishas pada syariat Nabi Musa as dalam kitab Taurat, masih berlaku pada saat ini sebagai hukum peradilan Islam untuk pelaku tindak kriminal pembunuhan dan pencederaan terhadap sesama manusia, baik yang merdeka maupun sebagai budak.

Sebagaimana pernah dijalankan pada masa Rasul , Khulafur Rasyidin maupun pada masa Khilafahan Islam setelahnya (Umayyah, Abasiyah dan Utsmaniyah).

Pendapat yang ketiga inilah yang menjadi pembahasan pada makalah ini, karena para ulama Ushul Fiqh memperselisihkannya. Apakah ini bisa dijadikan dalil ataukah ditinggalkan? Cukup dengan Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’ dan Qiyas saja?


PANDANGANULAMA TERHADAP SYARA’ MAN QABLANA

Berikut beberapa pandangan dari ulama Usul Fiqh.[7]

1.      Menurut mayoritas ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah, juga sebagian ulama Safi’iyyah, dan menurut Imam Ahmad dalam salah satu riwayat darinya, bahwa Syara’ Man Qablana adalah syariat bagi kita (umat Islam), selama terdapat dalam Syariat kita (syariat Islam) tanpa dukungan atau pengingkaran.

Dalil pendapat mereka adalah:

أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ هَدَى ٱللَّهُۖ فَبِهُدَىٰهُمُ ٱقۡتَدِهۡۗ قُل لَّآ أَسۡ‍َٔلُكُمۡ عَلَيۡهِ أَجۡرًاۖ إِنۡ هُوَ إِلَّا ذِكۡرَىٰ لِلۡعَٰلَمِينَ ٩٠

Artinya: “Mereka Itulah orang­orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al­Quran)." Al­Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat.”
(QS. Al An’am : 90)

Dan dalam QS. As Syuura : 13.

۞شَرَعَ لَكُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحٗا وَٱلَّذِيٓ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ وَمَا وَصَّيۡنَا بِهِۦٓ إِبۡرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰٓۖ أَنۡ أَقِيمُواْ ٱلدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُواْ فِيهِۚ كَبُرَ عَلَى ٱلۡمُشۡرِكِينَ مَا تَدۡعُوهُمۡ إِلَيۡهِۚ ٱللَّهُ يَجۡتَبِيٓ إِلَيۡهِ مَن يَشَآءُ وَيَهۡدِيٓ إِلَيۡهِ مَن يُنِيبُ ١٣

Artinya: “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya...”.

2.      Menurut ulama al Asyaa’irah (penganut Al Asy’ari), Mu’tazilah, Syi’ah, Imam Ahmad dalam riwayatnya yang lain, Imam Ibnu Hazm, sebagian ulama Hanafiyyah,  dan mayoritas ulama Syafi’iyyah (spt Imam Ghazali, Amidi, Razi), syara’ man qablana bukanlah syariat untuk kita (umat Muhammad ) meskipun terdapat dalam Al Qur`an.

Dalil mereka adalah.

وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ مُصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَمُهَيۡمِنًا عَلَيۡهِۖ  

Artinya: “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya), dan penghapus (muhaimin) terhadap kitab-kitab yang yang lain itu..”
[QS. Al Maidah : 48]

KETETAPAN SYARA’ MAN QOBLANA

Untuk menelaah lebih baik tentang syara’ man qoblana yang digunakan oleh sebagian masyarakat saat ini, misalnya perbuatan Nabi Yusuf a.s yang memutuskan beberapa kasus dengan syari’ah (hukum) kerajaan Mesir, yakni selain hukum yang Allah turunkan, maka cara berdalil seperti ini bukan pada tempatnya. 

Sebab, kita diperintah agar mengikuti Islam, dan apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad melalui wahyu dari Allah  


Kita tidak diperintahkan agar mengikuti syariah Nabi Yusuf a.s atau para Nabi yang lain. Mengingat, syariat syariat sebelum kita bukan syariat bagi kita. Syariat sebelum kita telah di-nasakh (dihapus dan digantikan) dengan Islam.

Berikut ke-hujjah-nya dalam Al Qur’an, bahwa Allah berfirman:

وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ مُصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَمُهَيۡمِنًا عَلَيۡهِۖ  


“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya), dan sebagai standar/penghapus (muhaimin) terhadap kitab-kitab yang yang lain itu..”
[QS. Al Maidah : 48]

Makna “muhaimin[an]” adalah “nasikh[an]”, yakni penghapus. Dengan demikian, Islam telah menghapus syariah kitab-kitab sebelumnya.

Sebab, kita-kitab terdahulu tidak mengandung mu’jizat untuk setiap manusia (hanya bagi kaum tertentu) dan Nabi yang membawanya tidak menjadikan kitab tersebut sebagai bukti kenabiannya, lain halnya dengan Al Qur’an yang menjadi mu’jizat bagi seluruh manusia dan bukti Ke-rasul-an Muhammad sebagai utusan Allah SWT untuk manusia seluruhnya.

Oleh karna itu munculah kaidah Ushul Fiqh, syariat sebelum kita bukan syariat kita (syar’u man qoblana laisa syar’a lana). [8]
     
Namun, kita diperintahkan dengan apa yang ada dalam syariah-syariah kita untuk berhukum dengan apa yang diturunkan Allah SWT , yang jelas ada dalam Islam.

Sehingga ulama ushul fiqh yang terpercaya, baik yang mengatakan bahwa “syariat sebelum kita bukan syariat kita”, atau ulama yang mengatakan bahwa “syariat sebelum kita adalah syariat kita selama belum dihapus”, maka semua mewajibkan berhukum dengan apa yang diturunkan Allah .[9]

Kemudian, bagaimana dengan ulama dan muqollid-nya (pengikutnya) yang menggunakan dalil syara’ man qoblana sebagai salah satu dalil?

“Hanya saja, berdalil (ber-istidlal) dengan selain dari keempat dalil ini (al-Qur'an, asSunnah, ijma' shahabat, dan qiyas), di antara sesuatu yang termasuk syubhatut dalil (dalil yang masih diperselisihkan) dianggap berdalil dengan syara'. Namun bagi yang tidak menganggapnya sebagai dalil, maka baginya tidak termasuk hukum syara', tetapi dalam pandangannya itu merupakan hukum syara', sebab masih ada syubhatut dalil.”[10]

Tetap dianggap berdalil dengan hukum syara’, tetapi dengan dalil yang zhanni (terdapat keraguan).

Wallahu’alam bishowab.

File Presentasi, download di:

DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’an Al Karim.

Iskandar, Arief B. (2010). Materi Dasar Islam. Bogor: Al Azhar Press.

Muhsin Rodhi, Muhammad. (September 2008). Hizb at-Tahrir, Tsaqofatuhu wa Manhajuhu fi Iqomah Daulah al-Khilafah al-Islamiyyah, Terjemah: Tsaqofah Dan Metode Hizbut Tahrir Dalam Mendirikan Negara Khilafah Islamiyah. Bagil, Yogyakarta: Al-Izzah.

Purnawan Jati , Sigit. (Desember 2012)  Presentasi: DALIL SYAR’I (3) SYARA’ MAN QABLANA & MAZHAB SHAHABAT. Yogyakarta: STEI Hamfara.

Tahrir Indonesia, Hizbut. (12 Oktober 2014). Min aqwali amir Hizbut Tahrir : Syariah Sebelum Kita Bukan Syariat Bagi Kita. (7 Januari 2017): https://hizbut­tahrir.or.id/2014/10/12/syariat­sebelum­kita­bukan­syariat­bagi­kita

Fauziah, Siti. (Jumat, 23 Januari 2015). Syar'u Man Qablana. (7 Januari 2017): http://fauziah­95.blogspot.co.id/2015/01/syaru­man­qablana.html







[1]       Taqiyuddin An Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/404; M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 135; Atha bin Khalil, Taisir Al Wushul Ilal Ushul, hlm. 112.
[2]       M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 206.
[3]       Dalam suatu hadis riwayat Imam Ahmad bin Hambal dalam kitab Musnad-nya, dikatakan bahwa jumlah Nabi ada lebih kurang 124.000 dan Rasul ada 315, yang menjadi cacatan hadis ini tidak sampai derajad mutawatir. Yang mutawatir di dalam Al Qur’an berjumlah 25 Nabi/Rasul.
[4]       Asy Syafi’i, Fiqh Akbar, hlm 42 ; Arief B. iskandar, Materi dasar Islam hlm 44.
[5]       M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 206.
[6]       Ibid.
[7]       Sigit Purnawan Jati, Presentasi ; DALIL SYAR’I (3) SYARA’ MAN QABLANA & MAZHAB SHAHABAT ; STEI Hamfara Yogyakarta Desember 2012
[8]       Taqiyuddin An Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/408.
[9]       Atho' Kholil Abu Rusythah ; https://hizbut­tahrir.or.id/2014/10/12/syariat­sebelum­kita­bukan­syariat­bagi­kita
[10]     Muhammad Muhsin Rodhi, Hizb at-Tahrir, Tsaqofatuhu wa Manhajuhu fi Iqomah Daulah al-Khilafah al-Islamiyyah, Terjemah hal. 341
Previous Post
Next Post

Man 'Arofa Nafsihi 'Arofa Robbuhu | #IslamSelamatkanNegeri

0 komentar: