Jumat, 18 Agustus 2017

ILMU KALAM: JABARIYAH DAN QADARIYAH, SERTA PENJELASAN QADHA-QADAR

Mengenal Ragam Muktazilah (1)
oleh: Rendra Fahrurrozie
STIT SIROJUL FALAH BOGOR

Allah SWT adalah Pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan. Allah SWT Maha Kuasa atas segala sesuatu yang mempunyai kehendak yang bersifat mutlak terhadap ciptaanNya.

Dari sifat Allah SWT yang berkehendak dan berkekuasaan mutlak ini, mulailah timbul berbagai pertanyaan dan persoalan dikalangan cendikiawan Islam (kaum mutakallimin) pada masa ahir abad ke 2 Hijriyah.

Pada masa itu banyak hal baru mulai ditemukan, termasuk usaha-usaha menerjemahkan paham-paham di luar Islam seperti filsafat Yunani. Kaum muslimin tergerak untuk mendalami filsafat Yunani untuk membantah masalah-masalah yang dilontarkan pihak Nasrani, terutama dalam bidang kebebasan bertindak (free will).

Beberapa aliran/pandangan yang muncul dikalangan kaum muslimin terhadap permasalahan ini. Salah satunya menjadi bahan makalah ini, yaitu Jabariyah dan Qodariyah.

JABARIYAH

Jabariyah adalah sebuah paham dan kelompok menyimpang (bid’ah) di dalam akidah yang muncul pada abad akhir ke-2 Hijriah di Khurasan, Iran. Atau pada masa generasi sahabat dan tabi’in.

Kata Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa dan mengharuskan melakukan sesuatu. Dalam bahasa Inggris, Jabariyah disebut fatalism atau predestination yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Tuhan.

Latar Belakang Kemunculan         

Awal kemunculan paham ini tidak ada literatur yang kuat yang dapat menjadi pijakan sejarah. Misalnya ada pendapat menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan.

Ada juga pendapat yang menuturkan bahwa paham ini diduga telah muncul sebelum Islam datang ke masyarakat Arab. Dengan kiasan kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka.

Dalam situasi demikian masyarakat arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Sehingga menyebabkan mereka jatuh kepada paham fatalisme.

Ada pendapat bahwa paham Jabariyah yang muncul pada generasi Sahabat karena ada benih-benih itu terlihat dalam 2 peristiwa sejarah berikut ini:
a.       Khalifah Umar bin Khattab pernah menangkap seseorang yang ketahuan mencuri. Ketika diintrogasi, Pencuri itu berkata, ”Tuhan telah menentukan aku mencuri.” Kalimat inilah yang menjadi persoalan.

b.   Pada pemerintahan Bani Umayyah, pandangan tentang Jabariyah semakin mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas r.a, melalui suratnya memberikan reaksi kertas kepada penduduk Syria yang diduga berpaham Jabariyah.
Berkaitan dengan kemunculan paham Jabariyah, ada yang mengatakan bahwa kemunculannya oleh pengaruh pemikiran asing yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Nasrani bermazhab Yacobit. Jadi, intinya masih ada perbedaan pendapat dari beberapa tokoh sejarah.

Paham ini disebarkan oleh Jahm bin Shafwan (124 H/745 M), sehingga juga dikenal dengan nama Jahmiyah. Ia berkata bahwa manusia itu tidak memiliki kekuasaan untuk memilih. Manusia melakukan apapun sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. 

Dalam hal ini manusia itu dianggap tidak lain melainkan bulu di udara dibawa angin menurut arah yang diinginkanNya atau bagaikan kayu ditengah-tengah gelombang yang terobang ambing yang ditentukan oleh lautan yang membawanya.

Adapun ayat Al Qur’an yang menjadi sumber rujukan/dalil pemahaman Jabariyah adalah sebagai berikut:
 بَلۡ جَآءَ بِٱلۡحَقِّ وَصَدَّقَ ٱلۡمُرۡسَلِينَ ٣٧
Padahal Allahlah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. (TQS. Ash-Shaaffaat [37]: 96)
وَمَا رَمَيۡتَ إِذۡ رَمَيۡتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ رَمَىٰ ١٧
Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar. (TQS. Al-Anfal [8]: 17)

 وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٢٩
Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah. (TQS. At-Takwir [81]: 29)
    
Mereka mena’wilkan ayat-ayat yang menunjukkan tentang keinginan (iradah) seorang hamba (manusia) dan penciptaannya terhadap perbuatan-perbuatannya. Adalah hasil dari perbuatan hamba berupa khasiat segala sesuatu (seperti rasa lezat, lapar, berani, kemampuan untuk memotong dan membakar, dan lain-lain) adalah dari Allah bukan perbuatan manusia.

Karna manusia seperti boneka/wayang (dalam keadaan dipaksa berbuat sesuatu) dalam pemahaman mereka. Yang berbuat segala itu adalah Alloh karna kehendakNya.

Dan masih ada beberapa ayat Al Qur’an yang menjadi rujukan paham ini, tetapi dari 3 ayat tersebut sudah menunjukkan arah pemahaman Jabariyah ini terhadap perbuatan manusia dan kehendak Allah SWT.

1.               Dokrin-Dokrin Pokok         

Dokrin (asas/dasar suatu aliran politik, keagamaan) Jabariyah disaat ini masih berkembang dalam bentuk pemahaman individu. Pemahaman ini bertolak belakang dari paham Qadariyah bahwa manusia tidak memiliki daya dan upaya kehendak maupun pilihan dalam setiap tindakannya.

Segala gerak dan perbuatan yang dilakukan manusia pada hakikatnya adalah dari Allah semata. Meskipun demikian, manusia tetap mendapatkan pahala atau siksa karena perbuatan baik atau jahat yang dilakukannya. Paham bahwa perbuatan yang dilakukan manusia adalah sebenarnya perbuatan Allah SWT tidak menafikan adanya pahala dan siksa.

Para penganut paham ini ada yang ekstrim, ada pula yang bersikap moderat. Jahm bin Shafwan termasuk orang yang ekstrim, sedangkan yang moderat antara lain adalah : Husain bin Najjar, Dhirar bin Amru, dan Hafaz al Fardi yang mengambil jalan tengah antara Jabariyah dan Qadariyah.

Berikut beberapa paham yang dikembangkan para ulama Jabariyah diantaranya:
1.  Manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Bahwa segala perbuatan manusia merupakan paksaan dari Allah SWT dan merupakan kehendakNya yang tidak bisa ditolak oleh manusia. Manusia tidak punya kehendak dan pilihan. Ajaran ini dikemukakan oleh Jahm bin Shofwan.
2.   Surga dan neraka tidak kekal, begitu pun dengan yang lainnya, hanya Allah SWT yang kekal.
3.    Iman adalah ma’rifat dalam hati dengan hanya membenarkan dalam hati. Artinya bahwa manusia tetap dikatakan beriman meskipun ia meninggalkan fardhu dan melakukan dosa besar. Tetap dikatakan beriman walaupun tanpa amal.
4.  Kalam Allah (Al Qur’an) adalah makhluk. Allah SWT Mahasuci dari segala sifat keserupaan dengan makhluk-Nya, maka Allah tidak dapat dilihat meskipun di akhirat kelak, oleh karena itu Al-Qur’an sebagai makhluk adalah baru dan terpisah dari Allah, tidak dapat disifatkan kepada Allah SWT.
5.  Allah SWT tidak mempunyai sifat serupa makhluk seperti berbicara, melihat, dan mendengar.
6.  Allah SWT menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia berperan dalam mewujudkan perbuatan itu. Teori ini dikemukakan oleh Al-Asy’ari yang disebut teori kasab, sementara An-Najjar mengaplikasikannya dengan ide bahwa manusia tidak lagi seperti wayang yang digerakkan, sebab tenaga yang diciptakan Allah SWT dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya.

2.               Tokoh-Tokoh dan Dokrinnya

Ada 3 jenis tokoh dalam penyebaran Jabariyah ini, ada sebagai pencetus, penyebar dan moderat (jalan tengah). Masing-masing dibahas dalam tiap tokohnya yakni sebagai berikut:
1.      Ja’ad bin Dirham
Ia adalah pencetus paham Jabariyah, Jahmu bin Shafwan pernah mendalami paham ini bersama Ja’ad bin Dirham.

Ibnu Taimiyah menukil dari Imam Ahmad: Dikabarkan bahwa ia (Ja’d) berasal dari penduduk Harran. Darinyalah, Jahm bin Shafwan mereguk madzhab orang-orang yang menafikan sifat Allah. Disana, terdapat para tokoh Shabiah (agama samawi kuno), filosof, dan sisa orang-orang yang menganut paganisme, yang menafikan sifat Allah dan perbuatan-perbuatannya.

Ibnu Katsir berpendapat, asal usul Ja’d bin Dirham ialah dari Khurasan, Persia. Kelahirannya tidak diketahui. Kalau bukan karena bid’ah yang diusungnya, sudah tentu ia tidak menjadi populer. Sejak kecil, tokoh kesesatan ini tumbuh dalam komunitas yang buruk, yaitu Jazirah Furat. Dalam hal ini, Al Harawi mengatakan: “Adapun Ja’d, ia orang Jazari tulen. Penisbatan ini mengacu kepada daerah nama Jazirah, yang terletak antara sungai Dajlah (Trigis) dan Furat (Eufrat), tepatnya di distrik Harran.

Ia seorang maula (bukan Arab asli, mantan budak). As Sam’ani, Az Zabidi dan Ibnu Atsir secara jelas menyatakan bahwa ia adalah maula Suwaid bin Ghafiah bin Ausajah Al Ju’fi.

Ia wafat karna dihukum pancung oleh Gubernur Kufah yaitu Khalid bin Abdullah Al Qasri. Pada waktu itu yang berkuasa ialah Khalifah Hisyam bin Abdul Malik yang terkenal dengan ketegasannya terhadap ahli bid’ah.

Dokrin-dokrinnya adalah :
·     Allah SWT tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat, dan mendengar.
·      Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.        

2.      Jahm bin Shafwan
Ia berasal dari Kurasan, Persia dan meninggal tahun 131 H dalam suatu peperangan dengan Bani Ummayah dan dia dibunuh.
Pendapat-pendapatnya:
·       Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
·         Surga dan neraka tidak kekal.
·    Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan konsep iman yang diajukan kaum Murji’ah.
·   Allah Maha Suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak dapat dilihat dengan indera mata di akhirat kelak.

Imam Sa’duddin At Taftazany menyebutkan golongan ini berpendapat bahwa manusia sekai-kali tidak menguasai dirinya dalam setiap perbuatan, apakah baik atau jahat. Ia tidak mempunyai kebebasan berkehendak (hurriyatul iradah) dan tidak memiliki kekuasaan untuk berbuat sesuatu.

3.      Husain bin Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najar (wafat 230 H ) pengikutnya disebut An-Najariyah atau Al-Husainiyah.

Di antara pendapat-pendapatnya adalah:
·     Allah SWT menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori Al-Asy’ari. Dengan demikian, manusia dalam pandangan An-Najar tidak lagi seperti wayang yang gerakannya tergantung pada dalang, sebab tenaga yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
·      Allah SWT tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.

4.      Dhirar bin Amru
Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan An-Najjar, yakni bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya.

Secara tegas, Dirrar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.

Mengenai ru’yat Allah SWT di akhirat, Dirrar mengatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat melalui indera keenam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah ijtihad. Hadis ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.

QADARIYAH

Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Dalam bahasa Inggris free will yaitu kemauan bebas.

Adapun menurut pengertian Istilah, Qadariyah dalah suatu paham yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak dipaksakan oleh Allah SWT tetapi manusia memiliki kemampuan (qadar) untuk berusaha sendiri. Itulah sebabnya akhirnya golongan ini disebut dengan “Qadariyah”.

Paham ini merasuk ke pemikiran dunia Islam yang menyebabkan banyaknya orang yang terselewengkan, hanyut oleh pikiran melayang yang akhirnya jatuh ke jurang kesesatan, bahkan pemikiran ini telah mengganggu persatuan umat.

Nama lain Qadariyah adalah Muktazilah yakni golongan yang bergerak dalam tiga fungsi, yaitu agama, filsafat dan politik. Akan tetapi kata penamaan Qadariyah lebih identik dengan kelompok yang bertikai dalam masalah takdir dan perbuatan manusia.

1. Latar Belakang Kemunculan

Mazhab Qadariyah muncul sekitar tahun 70 H (689 M). Ajaran-ajaran paham ini banyak persamaannya dengan ajaran Mu’tazilah. Mereka berpendapat sama misalnya, manusia mampu mewujudkan tindakan atau perbuatannya, Allah SWT tidak campur tangan dalam perbuatan manusia itu, dan mereka menolak segala sesuatu terjadi karena qadha dan qadar Allah SWT.

Tokoh utama Qadariyah ialah Ma’bad al Juhani Al Bisri  dan Ghailan al Dimasyqi, pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (687-705 M) kedua tokoh inilah yang pertama kali mempersoalkan tentang Qadar. Semasa hidupnya, Ma’bad al Juhani berguru pada Hasan Al Basri, sebagaimana Washil bin Atha’ tokoh pendiri Mu’tazilah.

Latar belakang kemunculan kelompok ini juga akibat konstalasi politik kaum muslimin sebagai isyarat penentangan kebijaksanaan politik Bani Umayyah yang kejam dan dzalim. Apabila Jabariyah berpendapat bahwa khalifah Bani Umayyah membunuh orang, hal itu karena sudah ditakdirkan Allah dan hal ini berarti merupakan ‘legitimasi’ kekejaman Bani Umayyah, maka firqoh Qadariyah mau membatasi masalah takdir tersebut.

Sejarah kemunculanya juga berawal dari majelis Imam Hasan al-Bashri yakni salah seorang muridnya yang bernama Washil bin Atha dalam perdebatan mengenai pelaku dosa besar apakah kafir atau mukmin, Washil mengemukakan pendapat lain yang berbeda dari gurunya sehingga ia di usir dari majelis itu, sehingga pengikut konsep Washil bin Atha dikenal dengan istilah Mu’tazilah, artinya memisahakan diri dari kajian gurunya.  

Keterkaitan antara Washil bin Atha dan Mu’tazilah dengan masalah takdir dan perbuatan manusia adalah salah satu konsepnya yang mengatakan bahwa manusia bebas dengan perbuatanya (qadariyah).

Sehingga mereka berpendapat bahwa keadilan Allah tidak memiliki makna kecuali dengan menyatakan bahwa manusia itu bebas berkehendak (free will).

Paham ini seperti yang dipahami oleh para filosof Yunani dengan konsep Filsafat Epicurisme atau Free Will. Atau di era modern ini sejalan dengan konsep Deisme di Barat. Dimana perbuatan manusia adalah bebas tanpa kehendak Tuhan.

Mereka berdalil dengan firman Allah Swt:

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمۡۗ ١١
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (TQS. ar-Ra’d [13]: 11)

مَن يَعۡمَلۡ سُوٓءٗا يُجۡزَ بِهِۦ وَلَا يَجِدۡ لَهُۥ ١٢٣
Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu. (TQS. an-Nisa [4]: 123)

ٱلۡيَوۡمَ تُجۡزَىٰ كُلُّ نَفۡسِۢ بِمَا كَسَبَت ١٧
Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. (TQS. al-Ghafir[40]: 17)

Contoh dari ketiga ayat Al Qur’an tersebut Qodariyah menakwilkan Al Qur’an dan mengakhirinya berdasarkan pendapat yang mereka anut, lalu mereka dakwahkan.

Begitulah, mereka terus menerus mencari dalil dalam topik-topik yang bersifat mantiq (logika) sesuai dengan pendapat mereka, kemudian menyudahinya dengan dalil-dalil naqli. Mereka mengambil dalil atas pendapat-pendapat mereka dengan sejumlah ayat Al Qur’an.

2. Dokrin-Dokrin Pokok

Didalam kitab Ulama banyak membahas tentang kekeliruan dokrin Qadariyah/Mu’tazilah ini. Berikut petikan dalam kitab terjemah As Syaksiyah Al Islamiyah Juz I hal. 89-90, adalah sebagai berikut:

·   Pendapat mereka yang terkenal adalah bahwa manusia memiliki hurrriyatul iradah (kebebasan berkehendak), baik untuk melakukan sesuatu ataupun meninggalkan sesuatu. Apabila ia melakukannya maka hal itu karena keinginannya sendiri. Dan jika ia meninggalkannya maka hal itu karena keinginannya sendiri juga.

·     Adapun masalah khalqul af’al (penciptaan perbuatan) qadariyah/mu’tazilah mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan hamba/manusia adalah diciptakan oleh mereka sendiri dan (berasal) dari perbuatan mereka sendiri, bukan dari perbuatan Allah. Jadi termasuk dalam kemampuan mereka untuk mengerjakan ataupun untuk meninggalkan suatu perbuatan tanpa adanya campur tangan kekuasaan Allah. (ikhtiyariyah wa idlthirariyah, keinginannya sendiri dan bukan atas keinginannya sendiri)

Aktivitas ikhtiyariyah dikuasai oleh manusia dan dialah yang menciptakan (mengadakan)nya. Sedangkan aktivitas idltirariyah maka manusia tidak ikut campur didalamnya. Tambahan lagi kalau manusia bukan pencipta atas perbuatannya maka taklif (pembebanan hukum syara’) tidak berguna.

·         Menciptakan khasiat yang terdapat pada sesuatu yang berasal dari perbuatannya. Tatkala Qadariyah/Mu’tazilah menyatakan bahwa perbuatan manusia adalah diciptakan oleh dirinya sendiri, lalu muncul pertanyaan yaitu bagaimana (pendapat) tentang perkara yang lahir akibat dari perbuatannya? Apakah hal itu juga dari ciptaannya ataukah dari ciptaan Allah? Contohnya seperti rasa sakit yang dirasakan oleh orang yang dipukul, dan perasaan lain yang dihasilkan dari perbuatan manusia.

Mereka mengatakan semua ini disebabkan perbuatan manusia karena manusia yang memunculkannya ketika melakukan suatu perbuatan. Hal itu adalah hasil dari perbuatan manusia. Berarti diciptakan oleh manusia.

KEDUDUKAN PERBUATAN MANUSIA TERHADAP QADHA DAN QADAR

Dikalangan Ulama Akidah, pembahasan ini sudah cukup masyhur. Dikarenakan sebagai kajian Ilmu untuk memperkuat akidah dan membentengi umat dari paham salah/keliru.

Pada saat kemunculan paham inipun sudah ada, ulama yang bereaksi terhadap pemahaman ini, sebagai contoh reaksi ulama sekaligus Sahabat dan Keluarga Rasulullah yaitu Abdullah Ibnu Abbas r.a terhadap paham Jabariyah di Syria.

Dan masih banyak lagi seperti Ibnu Taimiyah, Ahmad bin Hambal, Hasan Al Bashri, Abul Musa Al Asy’ari, Al Maturidi dan banyak lagi.

Diantaranya adalah madzhab dan paham ahli sunnah wa al-jamaah yang muncul untuk menolak pendapat-pendapat Jabariyah dan Qadariyah.

Ahli sunnah ini dipelopori oleh Abul Hasan Al Asy’ari dari Basrah Irak dan Mansur Al Maturidy dari Maturid, Uzbekistan.

Untuk membahas tentang Ahli sunnah akan dijelaskan pada bahasan yang lain. Berikut pendapat Ahli sunnah tentang perbuatan manusia dan qadha/qadar.

·         Ahli sunnah mengatakan bahwa perbuatan hamba seluruhnya berdasarkan iradah dan masyi-ah Allah (keinginan dan kehendakNya). Dalil yang dipakai untuk ini adalah:

فَقَضَىٰهُنَّ سَبۡعَ سَمَٰوَاتٖ ١٢
 Maka Dia menjadikannya tujuh langit. (TQS. Fushshilat [41]: 12)

۞وَقَضَىٰ رَبُّكَ ٢٣
Dan Tuhanmu telah memerintahkan. (TQS. al-Isra [17]: 23)

Yang dimaksud dengan qadla ialah al-maqdli (yang ditetapkan/dipenuhi). KetetapanNya merupakan ungkapan atas perbuatan serta bertambahnya ketentuan-ketentuan Allah.

·           Perbuatan hamba/manusia dengan takdir Allah adalah pembatasan setiap makhluk sesuai dengan batasannya.

·   Allah SWT adalah Pencipta segala sesuatu sedangkan hamba adalah orang yang mengerjakan (kasb). Jadi, perbuatan dikuasai oleh Allah SWT dari sisi penciptaan, dan dikuasai oleh hamba/manusia dari sisi pelaksanaan. Penggabungan ini disebut kasb.

Apabila kita meneliti masalah qadha dan qadar, akan kita dapati bahwa ketelitian pembahasannya menuntut kita untuk mengetahui terlebih dahulu dasar pembahasan masalah ini. Ternyata, inti masalahnya bukan menyangkut perbuatan manusia, dilihat dari apakah diciptakan Allah atau oleh dirinya sendiri.

Tidak terkait pula dengan Iradah Allah -sementara Iradah Allah dianggap berhubungan dengan perbuatan hamba- sehingga suatu perbuatan harus terjadi karena adanya Iradah tadi. Sesungguhnya, dasar pembahasan/permasalahan ini adalah pertanyaan:

“Apakah manusia itu dipaksa untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan (baik atau buruk), ataukah ia diberi kebebasan memilih?”

Inilah yang menjadi dasar pembahasan masalah qadha dan qadar, yaitu ‘perbuatan manusia’. Karena perbuatan manusia merupakan hal yang dapat diindera bahkan dapat dirasakan, maka dalil-dalilnya pun bersifat aqli.

Manusia itu hidup dan beraktivitas dalam dua jenis perbuatan, yaitu:
1.      Perbuatan yang berada dibawah kendali manusia, yang timbul karena semata-mata pilihan dan keinginannya sendiri. Ada hisab/pertanggung jawabannya.

2.   Perbuatan yang berada diluar kontrol dan keinginan manusia. Pada bagian ini manusia berbuat atau terkena perbuatan yang berada di luar kemampuan dan kehendaknya. Manusia dipaksa menerimanya. Tidak di-hisab/tanggung jawab.

Segala perbuatan dan kejadian yang berada di luar kontrol manusia tersebut inilah yang dinamakan qadha (keputusan) Allah. Manusia hanya diwajibkan untuk beriman akan adanya qadha, dan bahwasanya qadha itu datang dari Allah SWT, bukan dari yang lain.

Memahami Makna Qadar

Sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan benda-benda beserta khasiat-khasiat/karakteristik (sifat-sifat) tertentu pada benda-benda tersebut. Allah SWT telah menjadikan khasiat-khasiat itu tunduk sesuai dengan Sunnatullah yang tidak bisa dilanggar lagi. Seluruh khasiat yang diciptakan oleh Allah ini, baik yang terdapat pada benda-benda ataupun yang terdapat pada manusia, inilah yang dinamakan qadar (penetapan batasan/kadar).

Sebab hanya Allah sendiri yang menciptakan benda-benda, naluri-naluri serta kebutuhan jasmani tersebut, dan Ia menetapkan khasiat-khasiat di dalamnya.

KESIMPULAN
Sebagai penutup, ada kesimpulan yang kami sampaikan sebagai berikut ini sebagai pandangan kami terhadap Jabariyah dan Qadariyah dan apa yang menjadi persoalan dari lahirnya keduanya yakni perbuatan manusia dan qadha-qadar.

1.     Jabariyah memiliki pendapat, yang ringkasnya bahwa Allah menciptakan hamba beserta perbuatannya. Ia ‘dipaksa’ (musayyar) melakukan perbuatannya dan tidak bebas memilih. Ibaratnya seperti bulu yang diterbangkan angin kemana saja.
Ini adalah pendapat yang keliru menurut Jumhur Ulama terutama Ibnu Taimiyah rahimakumullah, dan sahabat Nabi SAW Ibnu Abbas r.a.

2.  Adapun Qadariyah mengatakan bahwa manusia bebas berkehendak, artinya manusia memiliki kemampuan (qadar) untuk berusaha sendiri. Manusia dihisab berdasarkan perbuatannya. Sebab, ia sendirilah yang menciptakannya.

Ini juga adalah paham yang keliru/salah karena Jumhur Ulama pun menentangnya, termasul Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Hasan Al Bashri rahimakumullah.
Apalagi sampai mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluk dari sisi kajian yang Ilmu Tauhid oleh paham Mu’tazilah/Qadariyah ini, sungguh ini kesesatan dan dapat memecah persatuan umat Islam.

3.    Menanggapi Ahlu Sunnah sebagai madzhab yang menentang Jabariyah dan Qadariyah, adalah suatu sikap amar ma’ruf nahi munkar yang patut menjadi tauladan kita karena Ahlu Sunnah telah menyelamatkan umat Islam dari paham yang salah dan keliru menuju persatuan umat (al jamaah).

Tetapi dari sisi telah menjawab persoalan kedudukan perbuatan manusia dan qadha-qadar, maka ini belum terselesaikan oleh jawaban mereka. Jawaban yang dikemukakan justru mengkompromikan jawaban Jabariyah dan Qadariyah.

4.  Untuk mendudukkan masalah persoalan perbuatan manusia dan qadha-qadar, maka perbuatan manusia adalah dimana manusia berjalan secara sukarela di atas peraturan yang dipilihnya, apakah itu syariat Allah atau syariat lainnya (mukhayyar, diberi pilihan/dapat memilih). Karena itu, seluruh perbuatan manusia yang dilakukan didalam area ini akan ditanya dan diminta pertanggungjawaban.

Adapun Qadha dan Qadar (masalah Taqdir, Iradah, Ilmu Allah, Lauhil Mahfudz) itu adalah ‘perbuatannya’ Allah SWT. Manusia tidak dimintai pertanggung jawaban. Dan memperbincangkannya, mendiskusikannya lebih baik ditinggalkan, cukup diimani akan keMaha KuasaNya Allah SWT.

Berikut perkataan para Ulama tentang keterbatasan akal manusia, yang tidak mampu menjangkau DzatNya Allah SWT dan ‘perbuatanNya’ karna hasilnya hanya akan menghasilkan dugaan (dzan).

·       Ketika kepada Imam Malik ditanyakan tentang makna ‘persemayamanNya’ (istiwaa’), beliau lama tertunduk dan bahkan mengeluarkan keringat. Setelah itu Imam Malik mengangkat kepala lalu berkata :

Persemayaman itu bukan sesuatu yang dapat diketahui. Juga kafiyah (cara)nya bukanlah hal yang dapat dipahamkan. Sedangkan mengimaninya adalah wajib, tetapi menanyakan hal tersebut adalah bid’ah / salah.
(Fathul Baari’, jilid XII, halaman 915)

·         Rasulullah bersabda :
Berfikirlah kamu tentang makhluk Allah tetapi jangan kamu fikirkan tentang Dzat Allah. Sebab, kamu tidak akan sanggup mengira-ngira tentang hakikatnya yang sebenarnya.”
(HR Abu Nu’im dalam “Al Hidayah” ; sifatnya marfu’, sanadnya dhoif tetapi isinya shahih)

·         Imam Ibnul Qoyyim berkata :
Para sahabat berbeda pendapat dalam beberapa masalah. Padahal mereka itu adalah ummat yang dijamin sempurna imannya. Tetapi alhamdulillah, mereaka tidak pernah terlibat bertentangan paham satu sama lainnya dalam menghadapi asma Allah, perbuatan-perbuatan Allah, dan sifat-sifat-Nya. Mereka menetapkan apa yang diutarakan Al-Qur’an dengan suara bulat. Mereka tidak menta’wilkannya, juga tidak memalingkan pengertiannya.” (I’llamul Muwaaqi’in, jilid 1, halaman 5)

Demikianlah bahasan dan kesimpulan yang kami berikan pada makalah ini. Akhirukalam, wallahu a’lam  bish-shawab.

DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’an Al Karim

Iskandar, Arief B. 2009. Materi Dasar Islam: Islam mulai akar daunnya. Al Azhar Press. Bogor
An-Nabhani, Taqiyuddin. 2013. Judul Asli: Nizham Al-Islam. Buku Terjemah: Peraturan Hidup dalam Islam. Tim HTI-Press. Jakarta

An-Nabhani, Taqiyuddin. 2007. Judul Asli: Al-Syakhshiyah al-Islamiyah. Buku Terjemah: Syakhshiyah Islam. Tim HTI Press. Jakarta.
https://id.wikipedia.org/wiki/Jabariyah. 10/25/2016. Jabariyah Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

http://muslehalhaifa.blogspot.co.id/2013/01/awalmunculnyajabariyahsampai.html. 10/25/2016. Awal Munculnya Jabariyah Sampai Perkembngannya. Belajar Menjadi Insan Yang Kaffah.

http://www.slideshare.net/kismawadi/qadariahdanjabariah. 10/25/2016. Qadariah dan Jabariah.

http://abasawatawalla01.blogspot.co.id/2013/06/sejarahdanpemikiranaliran-jabariyah.html. 10/25/2016. Sejarah dan Pemikiran Aliran Jabariyah dan Qadariyah

https://ratusanmakalah.wordpress.com/2012/07/20/anekaragammakalah/. 10/26/2016. Makalah sejarah pemikiran asy’ari dan almaturidi | MEMBAGI ILMU PENDIDIKAN

https://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Mansur_Al_Maturidi. 10/26/2016. Abu Mansur Al Maturidi Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

https://id.wikipedia.org/wiki/Abu_alHasan_alAsy%27ari. 10/26/2016. Abu alHasan alAsy'ari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Previous Post
Next Post

Man 'Arofa Nafsihi 'Arofa Robbuhu | #IslamSelamatkanNegeri

0 komentar: