
oleh: Rendra Fahrurrozie
STIT SIROJUL FALAH BOGOR
STIT SIROJUL FALAH BOGOR
Allah SWT adalah Pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan. Allah
SWT Maha Kuasa atas segala sesuatu yang mempunyai kehendak yang bersifat mutlak
terhadap ciptaanNya.
Dari sifat Allah SWT yang berkehendak dan berkekuasaan mutlak ini,
mulailah timbul berbagai pertanyaan dan persoalan dikalangan cendikiawan Islam
(kaum mutakallimin) pada masa ahir abad ke 2 Hijriyah.
Pada masa itu banyak hal baru mulai
ditemukan, termasuk usaha-usaha menerjemahkan paham-paham di luar Islam seperti
filsafat Yunani. Kaum muslimin tergerak untuk mendalami filsafat Yunani untuk
membantah masalah-masalah yang dilontarkan pihak Nasrani, terutama dalam bidang
kebebasan bertindak (free will).
Beberapa aliran/pandangan yang muncul dikalangan kaum
muslimin terhadap permasalahan ini. Salah satunya menjadi bahan makalah ini,
yaitu Jabariyah dan Qodariyah.
JABARIYAH
Jabariyah adalah sebuah paham
dan kelompok menyimpang (bid’ah) di dalam akidah yang muncul pada abad akhir
ke-2 Hijriah di Khurasan, Iran. Atau pada masa generasi sahabat dan tabi’in.
Kata Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti
memaksa dan mengharuskan melakukan sesuatu. Dalam bahasa Inggris, Jabariyah disebut fatalism atau
predestination yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia
telah ditentukan dari semula oleh Tuhan.
Latar Belakang Kemunculan
Awal kemunculan paham ini tidak ada literatur yang kuat yang dapat
menjadi pijakan sejarah. Misalnya ada pendapat menuturkan bahwa paham ini
muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama
membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika
berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan.
Ada juga pendapat yang menuturkan bahwa paham ini diduga telah
muncul sebelum Islam datang ke masyarakat Arab. Dengan kiasan kehidupan bangsa
Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar
dalam cara hidup mereka.
Dalam situasi demikian masyarakat arab tidak melihat jalan untuk
mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Sehingga
menyebabkan mereka jatuh kepada paham fatalisme.
Ada pendapat bahwa paham Jabariyah yang muncul pada generasi
Sahabat karena ada benih-benih itu terlihat dalam 2 peristiwa sejarah berikut
ini:
a.
Khalifah
Umar bin Khattab pernah menangkap seseorang yang ketahuan mencuri. Ketika diintrogasi,
Pencuri itu berkata, ”Tuhan telah menentukan aku mencuri.” Kalimat inilah yang
menjadi persoalan.
b. Pada
pemerintahan Bani Umayyah, pandangan tentang Jabariyah semakin mencuat
ke permukaan. Abdullah bin Abbas r.a, melalui suratnya memberikan reaksi kertas
kepada penduduk Syria yang diduga berpaham Jabariyah.
Berkaitan
dengan kemunculan paham Jabariyah, ada yang mengatakan bahwa
kemunculannya oleh pengaruh pemikiran asing yaitu pengaruh agama Yahudi
bermazhab Qurra dan agama Nasrani bermazhab Yacobit. Jadi, intinya masih ada
perbedaan pendapat dari beberapa tokoh sejarah.
Paham ini disebarkan oleh Jahm bin Shafwan (124 H/745 M),
sehingga juga dikenal dengan nama Jahmiyah. Ia berkata bahwa manusia itu
tidak memiliki kekuasaan untuk memilih. Manusia melakukan apapun sesuai dengan
apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Dalam hal ini manusia itu dianggap
tidak lain melainkan bulu di udara dibawa angin menurut arah yang diinginkanNya
atau bagaikan kayu ditengah-tengah gelombang yang terobang ambing yang
ditentukan oleh lautan yang membawanya.
Adapun ayat Al Qur’an yang menjadi sumber rujukan/dalil
pemahaman Jabariyah adalah sebagai berikut:
بَلۡ
جَآءَ بِٱلۡحَقِّ وَصَدَّقَ ٱلۡمُرۡسَلِينَ ٣٧
Padahal
Allahlah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. (TQS. Ash-Shaaffaat [37]: 96)
وَمَا
رَمَيۡتَ إِذۡ رَمَيۡتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ رَمَىٰ ١٧
Dan
bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar. (TQS. Al-Anfal [8]: 17)
وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ
رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٢٩
Dan
kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki
Allah. (TQS. At-Takwir [81]: 29)
Mereka mena’wilkan ayat-ayat yang menunjukkan tentang keinginan (iradah)
seorang hamba (manusia) dan penciptaannya terhadap perbuatan-perbuatannya. Adalah
hasil dari perbuatan hamba berupa khasiat segala sesuatu (seperti rasa lezat,
lapar, berani, kemampuan untuk memotong dan membakar, dan lain-lain) adalah
dari Allah bukan perbuatan manusia.
Karna manusia seperti boneka/wayang (dalam keadaan dipaksa berbuat
sesuatu) dalam pemahaman mereka. Yang berbuat segala itu adalah Alloh karna
kehendakNya.
Dan masih ada beberapa ayat Al Qur’an yang menjadi rujukan paham
ini, tetapi dari 3 ayat tersebut sudah menunjukkan arah pemahaman Jabariyah
ini terhadap perbuatan manusia dan kehendak Allah SWT.
1. Dokrin-Dokrin Pokok
Dokrin (asas/dasar suatu aliran politik, keagamaan) Jabariyah disaat
ini masih berkembang dalam bentuk pemahaman individu. Pemahaman ini bertolak
belakang dari paham Qadariyah bahwa manusia tidak memiliki daya dan
upaya kehendak maupun pilihan dalam setiap tindakannya.
Segala gerak dan perbuatan yang dilakukan manusia pada hakikatnya
adalah dari Allah semata. Meskipun demikian, manusia tetap mendapatkan pahala
atau siksa karena perbuatan baik atau jahat yang dilakukannya. Paham bahwa
perbuatan yang dilakukan manusia adalah sebenarnya perbuatan Allah SWT tidak
menafikan adanya pahala dan siksa.
Para penganut paham ini ada yang ekstrim, ada pula yang bersikap
moderat. Jahm bin Shafwan termasuk orang yang ekstrim, sedangkan yang moderat
antara lain adalah : Husain bin Najjar, Dhirar bin Amru, dan Hafaz al Fardi
yang mengambil jalan tengah antara Jabariyah dan Qadariyah.
Berikut beberapa paham yang dikembangkan para ulama Jabariyah
diantaranya:
1. Manusia
tidak mampu berbuat apa-apa. Bahwa segala perbuatan manusia merupakan paksaan
dari Allah SWT dan merupakan kehendakNya yang tidak bisa ditolak oleh manusia.
Manusia tidak punya kehendak dan pilihan. Ajaran ini dikemukakan oleh Jahm bin
Shofwan.
2. Surga
dan neraka tidak kekal, begitu pun dengan yang lainnya, hanya Allah SWT yang
kekal.
3. Iman
adalah ma’rifat dalam hati dengan hanya membenarkan dalam hati. Artinya
bahwa manusia tetap dikatakan beriman meskipun ia meninggalkan fardhu
dan melakukan dosa besar. Tetap dikatakan beriman walaupun tanpa amal.
4. Kalam
Allah (Al Qur’an) adalah makhluk. Allah SWT Mahasuci dari segala sifat
keserupaan dengan makhluk-Nya, maka Allah tidak dapat dilihat meskipun di
akhirat kelak, oleh karena itu Al-Qur’an sebagai makhluk adalah baru dan
terpisah dari Allah, tidak dapat disifatkan kepada Allah SWT.
5. Allah
SWT tidak mempunyai sifat serupa makhluk seperti berbicara, melihat, dan
mendengar.
6. Allah
SWT menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia berperan dalam
mewujudkan perbuatan itu. Teori ini dikemukakan oleh Al-Asy’ari yang disebut
teori kasab, sementara An-Najjar mengaplikasikannya dengan ide bahwa
manusia tidak lagi seperti wayang yang digerakkan, sebab tenaga yang diciptakan
Allah SWT dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya.
2. Tokoh-Tokoh dan Dokrinnya
Ada 3 jenis tokoh dalam penyebaran Jabariyah ini, ada
sebagai pencetus, penyebar dan moderat (jalan tengah). Masing-masing dibahas
dalam tiap tokohnya yakni sebagai berikut:
1.
Ja’ad bin Dirham
Ia adalah pencetus paham Jabariyah, Jahmu bin Shafwan pernah
mendalami paham ini bersama Ja’ad bin Dirham.
Ibnu Taimiyah menukil dari Imam Ahmad: Dikabarkan bahwa ia (Ja’d)
berasal dari penduduk Harran. Darinyalah, Jahm bin Shafwan mereguk madzhab
orang-orang yang menafikan sifat Allah. Disana, terdapat para tokoh Shabiah
(agama samawi kuno), filosof, dan sisa orang-orang yang menganut paganisme,
yang menafikan sifat Allah dan perbuatan-perbuatannya.
Ibnu Katsir berpendapat, asal usul Ja’d bin Dirham ialah dari
Khurasan, Persia. Kelahirannya tidak diketahui. Kalau bukan karena bid’ah
yang diusungnya, sudah tentu ia tidak menjadi populer. Sejak kecil, tokoh
kesesatan ini tumbuh dalam komunitas yang buruk, yaitu Jazirah Furat. Dalam hal
ini, Al Harawi mengatakan: “Adapun Ja’d, ia orang Jazari tulen. Penisbatan ini
mengacu kepada daerah nama Jazirah, yang terletak antara sungai Dajlah (Trigis)
dan Furat (Eufrat), tepatnya di distrik Harran.
Ia seorang maula (bukan Arab asli, mantan budak). As
Sam’ani, Az Zabidi dan Ibnu Atsir secara jelas menyatakan bahwa ia adalah maula
Suwaid bin Ghafiah bin Ausajah Al Ju’fi.
Ia wafat karna dihukum pancung oleh Gubernur Kufah yaitu Khalid bin
Abdullah Al Qasri. Pada waktu itu yang berkuasa ialah Khalifah Hisyam bin Abdul
Malik yang terkenal dengan ketegasannya terhadap ahli bid’ah.
Dokrin-dokrinnya adalah :
· Allah
SWT tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara,
melihat, dan mendengar.
· Manusia
terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
2.
Jahm bin Shafwan
Ia berasal dari Kurasan, Persia dan meninggal tahun 131 H dalam
suatu peperangan dengan Bani Ummayah dan dia dibunuh.
Pendapat-pendapatnya:
· Manusia
tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai
kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
·
Surga
dan neraka tidak kekal.
· Iman
adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama
dengan konsep iman yang diajukan kaum Murji’ah.
· Allah
Maha Suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara,
mendengar dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak dapat dilihat dengan indera mata
di akhirat kelak.
Imam
Sa’duddin At Taftazany menyebutkan golongan ini berpendapat bahwa
manusia sekai-kali tidak menguasai dirinya dalam setiap perbuatan, apakah baik
atau jahat. Ia tidak mempunyai kebebasan berkehendak (hurriyatul iradah)
dan tidak memiliki kekuasaan untuk berbuat sesuatu.
3.
Husain bin Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najar (wafat 230 H )
pengikutnya disebut An-Najariyah atau Al-Husainiyah.
Di antara pendapat-pendapatnya adalah:
· Allah
SWT menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia bagian atau peran
dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori
Al-Asy’ari. Dengan demikian, manusia dalam pandangan An-Najar tidak lagi
seperti wayang yang gerakannya tergantung pada dalang, sebab tenaga yang
diciptakan Tuhan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan
perbuatan-perbuatannya.
· Allah
SWT tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa
Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga
manusia dapat melihat Tuhan.
4.
Dhirar bin Amru
Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan An-Najjar, yakni
bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakan dalang. Manusia
mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa
dalam melakukan perbuatannya.
Secara tegas, Dirrar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat
ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak
hanya berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Mengenai ru’yat Allah SWT di akhirat, Dirrar mengatakan
bahwa Allah dapat dilihat di akhirat melalui indera keenam. Ia juga berpendapat
bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah ijtihad. Hadis ahad tidak
dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.
QADARIYAH
Qadariyah berasal dari
bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan.
Dalam bahasa Inggris free will yaitu kemauan bebas.
Adapun menurut pengertian Istilah, Qadariyah dalah suatu paham
yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak dipaksakan oleh Allah SWT tetapi
manusia memiliki kemampuan (qadar) untuk berusaha sendiri. Itulah
sebabnya akhirnya golongan ini disebut dengan “Qadariyah”.
Paham ini merasuk ke pemikiran dunia Islam yang menyebabkan
banyaknya orang yang terselewengkan, hanyut oleh pikiran melayang yang akhirnya
jatuh ke jurang kesesatan, bahkan pemikiran ini telah mengganggu persatuan
umat.
Nama lain Qadariyah adalah Muktazilah yakni golongan
yang bergerak dalam tiga fungsi, yaitu agama, filsafat dan politik. Akan tetapi
kata penamaan Qadariyah lebih identik dengan kelompok yang bertikai
dalam masalah takdir dan perbuatan manusia.
1. Latar Belakang Kemunculan
Mazhab Qadariyah muncul sekitar tahun 70 H (689 M). Ajaran-ajaran paham
ini banyak persamaannya dengan ajaran Mu’tazilah. Mereka berpendapat
sama misalnya, manusia mampu mewujudkan tindakan atau perbuatannya, Allah SWT
tidak campur tangan dalam perbuatan manusia itu, dan mereka menolak segala
sesuatu terjadi karena qadha dan qadar Allah SWT.
Tokoh utama Qadariyah ialah Ma’bad al Juhani Al Bisri dan Ghailan al Dimasyqi, pada masa
pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (687-705 M) kedua tokoh inilah
yang pertama kali mempersoalkan tentang Qadar. Semasa hidupnya, Ma’bad
al Juhani berguru pada Hasan Al Basri, sebagaimana Washil bin Atha’ tokoh
pendiri Mu’tazilah.
Latar belakang kemunculan kelompok ini juga akibat konstalasi
politik kaum muslimin sebagai isyarat penentangan kebijaksanaan politik Bani
Umayyah yang kejam dan dzalim. Apabila Jabariyah berpendapat bahwa
khalifah Bani Umayyah membunuh orang, hal itu karena sudah ditakdirkan Allah
dan hal ini berarti merupakan ‘legitimasi’ kekejaman Bani Umayyah, maka firqoh Qadariyah
mau membatasi masalah takdir tersebut.
Sejarah kemunculanya juga berawal dari majelis Imam Hasan
al-Bashri yakni salah seorang muridnya yang bernama Washil bin Atha
dalam perdebatan mengenai pelaku dosa besar apakah kafir atau mukmin, Washil
mengemukakan pendapat lain yang berbeda dari gurunya sehingga ia di usir dari
majelis itu, sehingga pengikut konsep Washil bin Atha dikenal dengan istilah Mu’tazilah,
artinya memisahakan diri dari kajian gurunya.
Keterkaitan antara Washil bin Atha dan Mu’tazilah dengan
masalah takdir dan perbuatan manusia adalah salah satu konsepnya yang
mengatakan bahwa manusia bebas dengan perbuatanya (qadariyah).
Sehingga mereka berpendapat bahwa keadilan Allah tidak memiliki
makna kecuali dengan menyatakan bahwa manusia itu bebas berkehendak (free
will).
Paham ini seperti yang dipahami oleh para filosof Yunani dengan
konsep Filsafat Epicurisme atau Free Will. Atau di era modern ini
sejalan dengan konsep Deisme di Barat. Dimana perbuatan manusia adalah
bebas tanpa kehendak Tuhan.
Mereka berdalil dengan firman Allah Swt:
إِنَّ
ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمۡۗ ١١
Sesungguhnya
Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri. (TQS.
ar-Ra’d [13]: 11)
مَن
يَعۡمَلۡ سُوٓءٗا يُجۡزَ بِهِۦ وَلَا يَجِدۡ لَهُۥ ١٢٣
Barangsiapa
yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan
itu. (TQS. an-Nisa [4]: 123)
ٱلۡيَوۡمَ
تُجۡزَىٰ كُلُّ نَفۡسِۢ بِمَا كَسَبَت ١٧
Pada
hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. (TQS. al-Ghafir[40]: 17)
Contoh dari ketiga ayat Al Qur’an tersebut Qodariyah menakwilkan
Al Qur’an dan mengakhirinya berdasarkan pendapat yang mereka anut, lalu mereka
dakwahkan.
Begitulah, mereka terus menerus mencari dalil dalam topik-topik
yang bersifat mantiq (logika) sesuai dengan pendapat mereka, kemudian menyudahinya
dengan dalil-dalil naqli. Mereka mengambil dalil atas pendapat-pendapat
mereka dengan sejumlah ayat Al Qur’an.
2. Dokrin-Dokrin Pokok
Didalam kitab Ulama banyak membahas tentang kekeliruan dokrin Qadariyah/Mu’tazilah
ini. Berikut petikan dalam kitab terjemah As Syaksiyah Al Islamiyah Juz
I hal. 89-90, adalah sebagai berikut:
· Pendapat
mereka yang terkenal adalah bahwa manusia memiliki hurrriyatul iradah
(kebebasan berkehendak), baik untuk melakukan sesuatu ataupun meninggalkan sesuatu.
Apabila ia melakukannya maka hal itu karena keinginannya sendiri. Dan jika ia
meninggalkannya maka hal itu karena keinginannya sendiri juga.
· Adapun
masalah khalqul af’al (penciptaan perbuatan) qadariyah/mu’tazilah
mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan hamba/manusia adalah diciptakan oleh
mereka sendiri dan (berasal) dari perbuatan mereka sendiri, bukan dari
perbuatan Allah. Jadi termasuk dalam kemampuan mereka untuk mengerjakan ataupun
untuk meninggalkan suatu perbuatan tanpa adanya campur tangan kekuasaan Allah.
(ikhtiyariyah wa idlthirariyah, keinginannya sendiri dan bukan atas
keinginannya sendiri)
Aktivitas
ikhtiyariyah dikuasai oleh manusia dan dialah yang menciptakan (mengadakan)nya.
Sedangkan aktivitas idltirariyah maka manusia tidak ikut campur
didalamnya. Tambahan lagi kalau manusia bukan pencipta atas perbuatannya maka taklif
(pembebanan hukum syara’) tidak berguna.
·
Menciptakan
khasiat yang terdapat pada sesuatu yang berasal dari perbuatannya. Tatkala
Qadariyah/Mu’tazilah menyatakan bahwa perbuatan manusia adalah
diciptakan oleh dirinya sendiri, lalu muncul pertanyaan yaitu bagaimana
(pendapat) tentang perkara yang lahir akibat dari perbuatannya? Apakah hal itu
juga dari ciptaannya ataukah dari ciptaan Allah? Contohnya seperti rasa sakit
yang dirasakan oleh orang yang dipukul, dan perasaan lain yang dihasilkan dari
perbuatan manusia.
Mereka
mengatakan semua ini disebabkan perbuatan manusia karena manusia yang memunculkannya
ketika melakukan suatu perbuatan. Hal itu adalah hasil dari perbuatan manusia.
Berarti diciptakan oleh manusia.
KEDUDUKAN PERBUATAN MANUSIA TERHADAP QADHA DAN QADAR
Dikalangan Ulama Akidah, pembahasan ini sudah cukup masyhur.
Dikarenakan sebagai kajian Ilmu untuk memperkuat akidah dan membentengi umat
dari paham salah/keliru.
Pada saat kemunculan paham inipun sudah ada, ulama yang bereaksi
terhadap pemahaman ini, sebagai contoh reaksi ulama sekaligus Sahabat dan Keluarga
Rasulullah ﷺ yaitu
Abdullah Ibnu Abbas r.a terhadap paham Jabariyah di Syria.
Dan masih banyak lagi seperti Ibnu Taimiyah, Ahmad bin Hambal,
Hasan Al Bashri, Abul Musa Al Asy’ari, Al Maturidi dan banyak lagi.
Diantaranya adalah madzhab dan paham ahli sunnah wa
al-jamaah yang muncul untuk menolak pendapat-pendapat Jabariyah dan Qadariyah.
Ahli
sunnah ini dipelopori oleh Abul Hasan Al
Asy’ari dari Basrah Irak dan Mansur Al Maturidy dari Maturid,
Uzbekistan.
Untuk membahas tentang Ahli sunnah akan dijelaskan pada
bahasan yang lain. Berikut pendapat Ahli sunnah tentang perbuatan
manusia dan qadha/qadar.
·
Ahli
sunnah mengatakan bahwa perbuatan hamba
seluruhnya berdasarkan iradah dan masyi-ah Allah (keinginan dan
kehendakNya). Dalil yang dipakai untuk ini adalah:
فَقَضَىٰهُنَّ
سَبۡعَ سَمَٰوَاتٖ ١٢
۞وَقَضَىٰ رَبُّكَ ٢٣
Dan Tuhanmu
telah memerintahkan. (TQS. al-Isra
[17]: 23)
Yang dimaksud dengan qadla ialah al-maqdli (yang
ditetapkan/dipenuhi). KetetapanNya merupakan ungkapan atas perbuatan serta
bertambahnya ketentuan-ketentuan Allah.
·
Perbuatan
hamba/manusia dengan takdir Allah adalah pembatasan setiap makhluk
sesuai dengan batasannya.
· Allah SWT adalah Pencipta segala sesuatu sedangkan hamba adalah
orang yang mengerjakan (kasb). Jadi, perbuatan dikuasai oleh Allah SWT
dari sisi penciptaan, dan dikuasai oleh hamba/manusia dari sisi pelaksanaan. Penggabungan
ini disebut kasb.
Apabila kita meneliti masalah qadha dan qadar, akan kita
dapati bahwa ketelitian pembahasannya menuntut kita untuk mengetahui terlebih
dahulu dasar pembahasan masalah ini. Ternyata, inti masalahnya bukan menyangkut
perbuatan manusia, dilihat dari apakah diciptakan Allah atau oleh dirinya
sendiri.
Tidak terkait pula dengan Iradah Allah -sementara Iradah
Allah dianggap berhubungan dengan perbuatan hamba- sehingga suatu perbuatan
harus terjadi karena adanya Iradah tadi. Sesungguhnya, dasar
pembahasan/permasalahan ini adalah pertanyaan:
“Apakah
manusia itu dipaksa untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan (baik
atau buruk), ataukah ia diberi kebebasan memilih?”
Inilah yang menjadi dasar pembahasan masalah qadha dan qadar,
yaitu ‘perbuatan manusia’. Karena perbuatan manusia merupakan hal yang
dapat diindera bahkan dapat dirasakan, maka dalil-dalilnya pun bersifat aqli.
Manusia itu hidup dan beraktivitas
dalam dua jenis perbuatan, yaitu:
1.
Perbuatan
yang berada dibawah kendali manusia, yang timbul karena semata-mata pilihan dan
keinginannya sendiri. Ada hisab/pertanggung jawabannya.
2. Perbuatan
yang berada diluar kontrol dan keinginan manusia. Pada bagian ini manusia berbuat
atau terkena perbuatan yang berada di luar kemampuan dan kehendaknya. Manusia
dipaksa menerimanya. Tidak di-hisab/tanggung jawab.
Segala
perbuatan dan kejadian yang berada di luar kontrol manusia tersebut inilah yang
dinamakan qadha (keputusan) Allah. Manusia hanya diwajibkan untuk
beriman akan adanya qadha, dan bahwasanya qadha itu datang dari Allah
SWT, bukan dari yang lain.
Memahami Makna Qadar
Sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan benda-benda beserta khasiat-khasiat/karakteristik
(sifat-sifat) tertentu pada benda-benda tersebut. Allah SWT telah menjadikan
khasiat-khasiat itu tunduk sesuai dengan Sunnatullah yang tidak bisa
dilanggar lagi. Seluruh khasiat yang diciptakan oleh Allah ini, baik yang
terdapat pada benda-benda ataupun yang terdapat pada manusia, inilah yang dinamakan
qadar (penetapan batasan/kadar).
Sebab hanya Allah sendiri yang menciptakan benda-benda,
naluri-naluri serta kebutuhan jasmani tersebut, dan Ia menetapkan
khasiat-khasiat di dalamnya.
KESIMPULAN
Sebagai penutup, ada kesimpulan yang kami sampaikan sebagai berikut
ini sebagai pandangan kami terhadap Jabariyah dan Qadariyah dan
apa yang menjadi persoalan dari lahirnya keduanya yakni perbuatan manusia dan qadha-qadar.
1. Jabariyah
memiliki pendapat, yang ringkasnya bahwa Allah
menciptakan hamba beserta perbuatannya. Ia ‘dipaksa’ (musayyar)
melakukan perbuatannya dan tidak bebas memilih. Ibaratnya seperti bulu yang
diterbangkan angin kemana saja.
Ini
adalah pendapat yang keliru menurut Jumhur Ulama terutama Ibnu Taimiyah rahimakumullah,
dan sahabat Nabi SAW Ibnu Abbas r.a.
2. Adapun
Qadariyah mengatakan bahwa manusia bebas berkehendak, artinya manusia
memiliki kemampuan (qadar) untuk berusaha sendiri. Manusia dihisab berdasarkan
perbuatannya. Sebab, ia sendirilah yang menciptakannya.
Ini
juga adalah paham yang keliru/salah karena Jumhur Ulama pun menentangnya,
termasul Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Hasan Al Bashri rahimakumullah.
Apalagi
sampai mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluk dari sisi kajian yang Ilmu
Tauhid oleh paham Mu’tazilah/Qadariyah ini, sungguh ini kesesatan
dan dapat memecah persatuan umat Islam.
3. Menanggapi
Ahlu Sunnah sebagai madzhab yang menentang Jabariyah dan Qadariyah,
adalah suatu sikap amar ma’ruf nahi munkar yang patut menjadi
tauladan kita karena Ahlu Sunnah telah menyelamatkan umat Islam dari
paham yang salah dan keliru menuju persatuan umat (al jamaah).
Tetapi
dari sisi telah menjawab persoalan kedudukan perbuatan manusia dan qadha-qadar,
maka ini belum terselesaikan oleh jawaban mereka. Jawaban yang dikemukakan
justru mengkompromikan jawaban Jabariyah dan Qadariyah.
4. Untuk
mendudukkan masalah persoalan perbuatan manusia dan qadha-qadar,
maka perbuatan manusia adalah dimana manusia berjalan secara sukarela di atas peraturan
yang dipilihnya, apakah itu syariat Allah atau syariat lainnya (mukhayyar,
diberi pilihan/dapat memilih). Karena
itu, seluruh perbuatan manusia yang dilakukan didalam area ini akan ditanya dan
diminta pertanggungjawaban.
Adapun
Qadha dan Qadar (masalah Taqdir, Iradah, Ilmu Allah, Lauhil
Mahfudz) itu adalah ‘perbuatannya’ Allah SWT. Manusia tidak dimintai
pertanggung jawaban. Dan memperbincangkannya, mendiskusikannya lebih baik
ditinggalkan, cukup diimani akan keMaha KuasaNya Allah SWT.
Berikut
perkataan para Ulama tentang keterbatasan akal manusia, yang tidak mampu
menjangkau DzatNya Allah SWT dan ‘perbuatanNya’ karna hasilnya hanya akan
menghasilkan dugaan (dzan).
· Ketika
kepada Imam Malik ditanyakan tentang makna ‘persemayamanNya’ (istiwaa’),
beliau lama tertunduk dan bahkan mengeluarkan keringat. Setelah itu Imam Malik
mengangkat kepala lalu berkata :
“Persemayaman
itu bukan sesuatu yang dapat diketahui. Juga kafiyah (cara)nya bukanlah hal
yang dapat dipahamkan. Sedangkan mengimaninya adalah wajib, tetapi menanyakan
hal tersebut adalah bid’ah / salah.”
(Fathul
Baari’, jilid XII, halaman 915)
·
Rasulullah
bersabda :
“Berfikirlah
kamu tentang makhluk Allah tetapi jangan kamu fikirkan tentang Dzat Allah.
Sebab, kamu tidak akan sanggup mengira-ngira tentang hakikatnya yang
sebenarnya.”
(HR Abu Nu’im
dalam “Al Hidayah” ; sifatnya marfu’, sanadnya dhoif tetapi isinya shahih)
·
Imam
Ibnul Qoyyim berkata :
“Para
sahabat berbeda pendapat dalam beberapa masalah. Padahal mereka itu adalah
ummat yang dijamin sempurna imannya. Tetapi alhamdulillah, mereaka tidak pernah
terlibat bertentangan paham satu sama lainnya dalam menghadapi asma Allah,
perbuatan-perbuatan Allah, dan sifat-sifat-Nya. Mereka menetapkan apa yang
diutarakan Al-Qur’an dengan suara bulat. Mereka tidak menta’wilkannya, juga
tidak memalingkan pengertiannya.” (I’llamul Muwaaqi’in, jilid 1,
halaman 5)
Demikianlah bahasan dan kesimpulan yang kami berikan pada makalah ini. Akhirukalam, wallahu a’lam bish-shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an Al Karim
Iskandar, Arief B. 2009. Materi
Dasar Islam: Islam mulai akar daunnya. Al Azhar Press. Bogor
An-Nabhani, Taqiyuddin. 2013. Judul Asli: Nizham Al-Islam.
Buku Terjemah: Peraturan Hidup dalam Islam. Tim HTI-Press. Jakarta
An-Nabhani, Taqiyuddin. 2007. Judul Asli: Al-Syakhshiyah
al-Islamiyah. Buku Terjemah: Syakhshiyah Islam. Tim HTI Press. Jakarta.
https://id.wikipedia.org/wiki/Jabariyah. 10/25/2016. Jabariyah ‐ Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
http://muslehalhaifa.blogspot.co.id/2013/01/awal‐munculnya‐jabariyah‐sampai.html. 10/25/2016. Awal Munculnya Jabariyah Sampai
Perkembngannya. Belajar Menjadi Insan Yang Kaffah.
http://www.slideshare.net/kismawadi/qadariah‐dan‐jabariah. 10/25/2016. Qadariah dan Jabariah.
http://abasawatawalla01.blogspot.co.id/2013/06/sejarah‐dan‐pemikiran‐aliran-jabariyah.html. 10/25/2016. Sejarah dan Pemikiran Aliran Jabariyah dan Qadariyah
https://ratusanmakalah.wordpress.com/2012/07/20/aneka‐ragam‐makalah/.
10/26/2016. Makalah sejarah pemikiran asy’ari dan al‐maturidi
| MEMBAGI ILMU PENDIDIKAN
https://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Mansur_Al_Maturidi. 10/26/2016. Abu Mansur Al Maturidi ‐ Wikipedia
bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
https://id.wikipedia.org/wiki/Abu_al‐Hasan_al‐Asy%27ari. 10/26/2016. Abu al‐Hasan al‐Asy'ari ‐ Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
0 komentar: